Selasa 01 Sep 2015 15:00 WIB

Muslim Afrika Tengah, Murtad atau Mati!

Red:

Republik Afrika Tengah, negara di jantung benua Afrika, menyeruakkan nestapa Muslim yang ter tindas lagi teraniaya. Di-sweeping dan dikejar-kejar milisi yang menyandang Kalashnikov, membuat Muslim lari meninggalkan ru mahnya dan terlunta di pengungsian. Mus lim yang tetap tinggal, atau nekad kembali, dipaksa mem buat pilihan sulit: murtad atau mati. Sebuah 'inkuisisi' sedang berlangsung di sana.

Amnesty Internasional melaporkan setidaknya lima kota dan sejumlah desa di Afrika Tengah yang penduduknya telah pindah ke agama Kristen di bawah ancaman kematian atau paksaan dengan kekerasan.

"Jumlah mereka [yang dimurtadkan] kecil, hanya puluhan, bukan ratusan, tapi problem yang ditimbulkannya sangat serius. Sebab ini merupakan indikasi intoleransi yang sangat menyolok terhadap praktik keaga maan Islam," tulis Amnesty Internasional dalam laporan bertajuk Erased Identitiy: Muslims in Ethnically-Cleansed Areas of the Central African Republic, yang dirilis akhir Juli lalu.

Omaru F, seorang penambang berlian di Desa Bania, Prefektur Mambere Kadei, menceritakan bagaimana pemaksaan itu. Pada Februari 2014, Milisi Anti Balaka dari kawasan Carnot dan Bouar menyerang Bania, dan membunuh dua pemimpin Muslim desa tersebut. Penduduk desa kemudian berlarian ke hutan, bersembunyi dalam kelompok-kelompok kecil. Setelah beberapa pekan bersembunyi, kepala desa dan seorang pendeta protestan datang ke hutan memberi tahu bahwa jika mereka tak kembali, Anti balaka akan memburu dan membunuh mereka. Tapi, supaya bisa kembali, syaratnya harus pindah agama.

Ngeri diburu milisi Kristen dan animis tersebut, mereka pun pasrah, pulang dan dibaptis. Prosesi pembaptisan berlangsung di Gereja Apostolik, dihadiri kepala desa. Dan, mereka harus menunjukkan 'kartu baptis' kepada Anti Balaka, agar tidak dibunuh. Omaru termasuk yang dibaptis. Tapi, kepada Amnesty Internasional, dia mengaku tidak menerima agama Kristen di dalam hatinya. Tak tahan dengan pelecahan agama itu, beberapa bulan kemudian dia lari ke Berberati.

Hal yang sama terjadi di Guen, Prefektur Mambere-Kadei. Pada Februari 2014, Anti Balaka menyerang, membunuh banyak Mus lim, dan menguasai kawasan tersebut. Adum Y, seorang petani, mengatakan ada tekanan sangat besar untuk berpindah agama. Dia mengaku mengenal delapan orang yang telah murtad. Sebagian yang murtad adalah mualaf. Adum sendiri menga takan dengan tegas, "Hanya ada satu Tuhan, jadi saya tidak akan pindah agama: Saya adalah seorang Muslim dan akan tetap menjadi Muslim."

Moussa J, juga dari Guen, berasal dari keluarga campuran. Ayahnya mualaf, ibunya masih penganut Kristen. Mereka sekeluarga melarikan diri ketika Anti Balaka tiba. Namun, pelarian dan persembunyian mere ka selama dua pekan terhenti. Mereka di kejar dan diringkus. Dia mengatakan ketika Anti Balaka menyerang, sebanyak 70 orang tewas dibantai. Moussa bisa kembali ke kampungnya dengan selamat setelah se pupunya yang beragama Kristen berne gosiasi dengan milisi.

"Mereka tahu ibu saya adalah seorang Kristen dari etnis Gbaya. Mereka bilang 'kita tidak bisa membunuhnya'." Musa pun mem bayar 50 ribu CFA (sekitar Rp 1,2 juta) agar tidak dibunuh. Tapi, "Kami harus membayar lagi dan lagi. Akhirnya, kami tidak punya uang lagi."

Masih di Prefektur Mambere-Kadei, pemaksaan pindah agama juga dilaporkan terjadi di Desa Balego dan Desa Boyballe. Tapi, seperti yang terjadi dengan Moussa di Guen, jika ada uang, keislaman masih bisa dipertahankan, seperti dialami Hasan, 61 tahun, seorang warga Balego. "Jika Anda menolak dibaptis, Anda harus membayar denda," kata Hasan yang tetap tinggal di Balego, kepada Amnesty Internasional.

Mualaf yang akhirnya menyerah dan menanggalkan keislamannya adalah Jean- Bosco N, seorang petani di Zalingo, Prefektur Lobaye. Dia menjadi Muslim sejak 1978. Tapi, karena takut pada Anti Balaka yang telah membunuh warga desa dan menghancurkan dua masjid, dia pun akhirnya bersedia dibaptis. Meski demikian, menurut Amnesty, ada pula warga Zalingo yang tetap kukuh dengan keislamannya, seperti seorang perempuan yang suaminya telah terbunuh.

Di Subprefektur Bambio, Prefektur Sang ha-Mbaere, sebuah kawasan perda gangan, mulanya ada 120 Muslim. Ketika Anti Balaka menyerang, hampir seluruh Muslim hengkang, kecuali tujuh orang bersaudara berusia 15-23 tahun. Mereka lahir di Afrika Tengah, begitu pun ayahnya. Namun, kakeknya dari garis ayah berasal dari Chad. Mereka bisa tetap tinggal karena ibu mereka masih menganut Katolik, begitu pun dengan sepupu mereka. Meski demikian, mereka dipaksa pindah agama.

"Kami tak punya pilihan kecuali masuk Katolik. Milisi Anti Balaka bersumpah mem bunuh kami jika kami tak melakukannya," kata sulung dari tujuh bersaudara itu. Dan, untuk membuktikan bahwa mereka telah pindah keyakinan, mereka dipaksa ke gereja setiap minggu. "Kami harus mengonfirmasi bahwa kami benar-benar Katolik."

Minoritas

Di negara penghasil berlian, emas, mi nyak, uranium, Muslim memang mino ritas. Populasi Muslim hanya sekitar 750 ribu orang, atau sekitar 15 persen dari lima juta pen duduk Afrika Tengah. Menurut data state.gov, agama terbesar di sana adalah Pro testan, yang penganutnya mencapai 51 persen, disusul Katolik Roma sebanyak 29 persen. Muslim di sana adalah Sunni bermazhab Maliki.

Sejak konflik besar meletus akhir 2013 lalu, sebagian besar Muslim pengungsi.. Hanya sebagian kecil yang bertahan, antara lain di beberapa kantong pemukiman Muslim yang dijaga Pasukan Perdamaian PBB. Amnesty Internasional menyebut jumlah Muslim di kantong-kantong tersebut sekitar 30 ribu orang. Kantong-kantong ini berlokasi di Afrika Tengah bagian barat seperti Bangui (ibu kota Afrika Tengah), Boda, Yaloke, Carnot, Bouar, dan Dekoa.

Karena jumlah pasukan perdamaian terbatas, banyak kantong-kantong Muslim dan desa-desa yang dihuni Muslim tak mungkin dijaga, dan akhirnya tak dapat bertahan. "Banyak kota dan desa yang sebelumnya dihuni komunitas Muslim, sekarang kosong. Masjid-masjid ditinggal kan begitu saja dalam keadaan rusak parah atau telah hancur, dan panggilan adzan yang sebelumnya sangat akrab, kini tak terdengar lagi," tulis Amnesty Internasional.

Di mana pun di Afrika Tengah, tulis Amnesty, Muslim tidak dapat menjalankan agamanya, atau menunjukkan simbol-sim bol Islam, kecuali di kantong-kantong yang dijaga pasukan PBB. Di beberapa kawasan lain nya, kehadiran Muslim ditoleransi, de ngan syarat mereka tidak menunjukkan iden titas dan keyakinannya. "Ini berarti mereka tidak boleh shalat (kecuali secara ra hasia); tidak bisa mengenakan pakaian tra disional Muslim seperti djellabas (boubous), dan tidak bisa membangun kembali masjidmasjid yang telah rusak atau hancur."

Muslim yang masih ditoleransi kehadiran nya oleh Anti Balaka, bergantung pada etnik dan bangsa, serta hubungan kekerabatan dengan komunitas Kristen. Muslim pribumi dari etnik Gbaya, misalnya, termasuk di antara yang diizinkan tinggal. Muslim yang masih bisa bertahan di rumah dan desanya adalah orang-orang yang ibunya adalah penganut Kristen, sehingga tidak dianggap sebagai orang asing diban ding Muslim lain. Begitu pun dengan Muslim keturunan Mali dan Senegal, juga termasuk yang bisa diterima, karena dianggap netral dalam konflik.

Sementara, Muslim Afrika Tengah keturunan Chad atau Sudan, atau punya kakek-nenek dari sana, akan dipandang sebagai musuh. "Orang Arab [keturunan Chad dan Sudan] tidak akan pernah dibiar kan kembali," seorang Muslim menceritakan kepada Amnesty Internasional. "Bagi Milisi Anti Balaka, mereka punya hubungan dengan Seleka." Seleka adalah milisi Muslim yang merupakan lawan Milisi Anti Balaka.

Jumlah masjid yang dirusak dan dihan curkan sudah lebih dari 400 unit. Amnesti Internasional menyaksikan sendiri kerusa kan-kerusaan itu saat mengunjungi kota dan desa di Afrika Tengah, mulai dari Bangui, Yaloké, Bosemptélé, Boali, Boali Poste, Bos sembélé, Baoro, Bouar, Zawa, Mbaiki, Bo boua, Bomandoro, Boudjoula, Zalingo, Bogueré, Bambio, Mambélé, Balego, Bania, Yamando, Berberati, Carnot, Irmabaro, Zaorosongou, Guen and Gadzi. "Kebanyakan kota-kota memiliki lebih dari satu masjid yang dihancurkan. Pada November 2014 hingga Mei 2015, aktivis Amnesty menyaksikan 50 masjid dirusak atau dihancurkan."

Sejumlah masjid benar-benar rata dengan tanah, sehingga tak ada lagi tanda bahwa masjid pernah berdiri di sana, seperti di kawasan jalan utama Bimbo atau di pinggiran Bangui. "Tidak satu pun masjid di luar beberapa kantong yang dilindungi pasukan perdamaian PBB yang tak dijarah. Tidak ada lagi Alquran, berbagai peralatan ritual, karpet, dan pintu."

Kendati Muslim telah meninggalkan rumah, desa, dan pemukimannya, namun penghanuran masjid terus berlangsung. Masjid di Zaorosongou, di timur Carnot, misalnya, dihancurkan April 2015 lalu meski tak ada lagi Muslim di sana. Anti Balaka khawatir Muslim akan kembali, sehingga menghancurkan masjid itu, agar Muslim tak kembali lagi.

Utusan AS di PBB, Samantha Power, saat mengunjungi Afrika Tengah pada Maret lalu,menilai apa yang terjadi di sana sebagai 'gila' dan 'menakutkan'. Betapa tidak, hanya beberapa bulan, 417 masjid dihancurkan. Dia tidak membayangkan apa yang terjadi jika pasukan perdamaian PBB dan pasukan Perancis ditarik dari sana. Muslim yang tinggal di kantong-kantong yang dijaga pasukan PBB disebutnya sebagai komunitas yang terancam. "Wanita Muslim khawatir mengenakan kerudung saat meninggalkan komunitasnya. Saat melahirkan, mereka akhirnya memilih melahirkan di rumah daripada di rumah sakit," kata Samantha seperti dikutip Aljazeera. ¦

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement