Kamis 30 Jul 2015 13:00 WIB

MUI Desak Sistem BPJS Kesehatan Syariah Kondisi darurat boleh jadi alasan ikut serta BPJS konvensional.

Red: operator
Pekerja membersihkan jalan didepan kantor Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) Ketenagakerjaan, Jakarta, Senin (6/7).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Pekerja membersihkan jalan didepan kantor Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) Ketenagakerjaan, Jakarta, Senin (6/7).

REPUBLIKA.CO.ID,

JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai, sistem Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tidak sesuai ketentuan Islam. MUI meminta pemerintah segera menggulirkan BPJS Syariah untuk mengakomodasi kebutuhan Muslim. “Ini statusnya darurat,” kata Ketua Dewan Syariah Nasional MUI KH Ma'ruf Amin kepada Republika, Rabu (29/7).

Pemerintah mestinya juga menyediakan sistem BPJS Kesehatan Syariah. Hal ini sebagai alternatif bagi masyarakat Muslim yang diwajibkan menjadi peserta BPJS Kesehatan oleh pemerintah. Ia menyatakan, umat tidak boleh berada dalam keadaan darurat terus menerus. "Pemerintah justru membuat situasi darurat baru," kata Ma'ruf.

Ma'ruf mengatakan, BPJS Kesehatan tidak bersifat darurat atau memaksa bagi Muslim. Sebab, menurutnya, saat ini sudah banyak institusi pengelola keuangan dan perlindungan kesehatan (asuransi) yang berbentuk syariah. “Bank sudah tidak darurat. Asuransi tidak darurat. Kok, BPJS malah tidak ada syariahnya,” kata Ma'ruf. 

Pernyataan Ma'ruf menegaskan, kembali hasil Ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI kelima di Tegal, Jawa Tengah, pada Juni lalu. Dalam fatwa mengenai masalah fikih kontemporer, MUI menyatakan, BPJS Kesehatan belum memenuhi prinsip syariah. Fatwa tersebut menyatakan, BPJS Kesehatan masih mengandung unsur ketidakpastian (gharar), judi (maisir), dan riba. "Harus segera ada revisi untuk itu (BPJS Syariah)," kata Ma'ruf.

Pemerintah memiliki dua pilihan untuk memenuhi kepentingan Muslim dalam hal BPJS Kesehatan. Pertama, kata Ma'ruf, dengan merumuskan ulang sistem BPJS Kesehatan yang masih nonsyariah menjadi syariah. Kedua, membentuk sistem BPJS Kesehatan Syariah sebagai alternatif bagi masyarakat. "BPJS itu bentuknya sangat konvensional. kalau tidak dibentuk dari awal maka hendaknya ada BPJS Syariah," kata Ma'ruf. 

Ma'ruf menyayangkan sistem nonsyariah yang berlaku di BPJS Kesehatan. Sebab, menurutnya, saat ini sistem syariah tengah berkembang pesat di Indonesia. “Ini aneh. Saat syariah berkembang, BPJS justru tidak ada syariahnya,” kata Ma'ruf. 

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Asman Abnur menilai, usulan  MUI agar pemerintah membentuk sistem BPJS Kesehatan syariah tidak bisa direalisasikan dalam waktu dekat. Asman mengatakan, perlu waktu untuk merealisasikan usulan itu. Sebab, pengubahan sistem BPJS Kesehatan sama artinya mengubah undang-undang BPJS yang saat ini berlaku. "Kalau dalam hitungan kerja, bisa satu hingga dua tahun," kata Asman.

Asman menyatakan, revisi UU BPJS membutuhkan proses panjang. Mulai dengan memasukkannya dalam program legislasi nasional (prolegnas), kemudian melakukan kajian akademik. “Lalu, masuk perencanaan UU di DPR kembali atau melakukan amandemen UU BPJS yang sudah ada," kata Asman.  

Meskipun, dinilai MUI tidak sesuai syariah, Asman mengatakan, UU BPJS yang ada sekarang tetap bisa berlaku. Sebab, menurutnya, fatwa MUI baru muncul setelah UU BPJS diberlakukan. "Sebelum ada solusi itu, tentu UU yang ada saat ini harus tetap berjalan," kata Asman.  

Asman pun mengimbau masyarakat untuk tetap taat pada undang-undang yang berlaku. Ia pun meyakinkan bahwa usulan MUI memungkinkan untuk diakomodasi.

Kepala Humas BPJS Kesehatan Irfan Humaidi mengatakan, banyak prinsip syariah Islam yang telah diadopsi lembaganya dalam melaksanakan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Prinsip itu, misalnya, adalah saling tolong menolong dan saling menanggung antarpeserta BPJS. “Esensinya sudah syariah hanya labelnya saja belum,” kata Irfan.

Irfan menjelaskan, prinsip tolong menolong dalam Islam dikenal dengan istila ta'awun. Sedangkan, saling menanggung beban dikenal dengan istilah takaful. Irfan mengatakan, dalam sistem BPJS peserta yang sehat diwajibkan membantu menanggung beban yang sakit. Sedangkan, mereka yang mampu diwajibkan membantu meringankan biaya yang miskin. “Prinsipnya, Islami hanya kita menyebutnya dengan istilah gotong royong,” ujar Irfan.

Irfan mengatakan, BPJS Kesehatan terbuka dengan kritik dan masukan yang disampaikan MUI. Namun, menurutnya, BPJS Kesehatan tidak berwenang mengubah sistem yang ada sekarang. Irfan menyatakan, pengubahan sistem merupakan wewenang pembuat regulasi yakni pemerintah dan DPR. “Kami hanya menyelenggarakan aturan yang ada. Kalau denda dibilang tidak syariah itu aturan UU. Kalau mau diubah, kami persilakan,” kata Irfan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement