Sabtu 04 Jul 2015 19:56 WIB

Membayar Puasa Orang Meninggal Dunia

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Assalamualaikum wr wb,

Saya pernah membaca sebuah hadis riwayat Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa meninggal dan ia mem - punyai tanggungan puasa, maka wali orang tersebut melakukan puasa untuknya." (HR al-Bukhari dan Muslim). Yang ingin saya ta nyakan, puasa apa yang dimaksud dalam hadis tersebut? Lalu siapakah wali yang dimaksud yang harus membayar puasanya? Ba gaimana juga cara membayar puasa orang yang telah meninggal tadi?

Waalaikumussalam wr wb,

Bismillahirrahmanirrahim. Selain hadis Aisyah yang dikutip penanya, terdapat pula hadis Ibn `Abbas yang bervariasi. Di antaranya ia berkata, "Seorang perempuan mendatangi Rasulullah SAW dan ber kata, `Wahai Rasulullah, ibu saya meninggal dan ia mempunyai tanggungan puasa nazar. Apakah saya bisa mengqadha puasa tersebut untuknya?' Rasulullah balik bertanya, `Bagaimana sekiranya ibumu mempunyai utang, bolehkah engkau membayarkannya?' Perempuan itu menjawab, `Ya' Lalu beliau menimpali, `Kalau begitu lakukan puasa untuk mengqadha utang puasa ibumu'" (HR al Bukhari dan Muslim)

Masih terdapat beberapa versi lain lagi mengenai hadis ini, di antaranya yang menyebutkan "utang puasa satu bulan." Yang dimaksud dengan puasa dalam hadis tersebut adalah puasa yang wajib dibayar, yaitu utang puasa Ramadhan dan utang puasa nazar, dan menurut Ibn Hazm juga utang puasa kifarat. Hanya, terdapat perbedaan pendapat tentang puasa yang mana dibayar dengan cara bagaimana.

Menurut al-Hasan, az-Zuhri, Qatadah, dan Mazhab Zahiri, utang puasa wajib itu dibayar dengan puasa yang dilakukan oleh wali dari yang berutang. Bahkan, Ibn Hazm, tokoh terkemuka Mazhab Zahiri, menegaskan wajib wali orang yang meninggal itu melakukan puasa untuk mengqadha utang puasa si mati tersebut.

Menurut Imam Ahmad, al-Lais, Ishaq Ibn Rahawaih dan Abu Ubaid, puasa yang dapat diqadha oleh wali hanyalah utang puasa nazar. Hal ini didasarkan pada prinsip penafsiran hamlul-mutlaq `ala al-muqayyad(menafsirkan pernyataan tanpa kualifikasi dengan pernyataan berkualifikasi).

Pernyataan tanpa kualifikasi "tanggungan puasa" dalam hadis Aisyah ditafsirkan dengan pernyataan berkualifikasi "tanggungan puasa nazar" dalam hadis Ibn `Abbas. Sedangkan, utang puasa Ramadhan dibayar dengan fidyah, yaitu memberi makan satu orang miskin.

Menurut jumhur (mayoritas) ulama, termasuk di dalamnya Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi`i dalam salah satu kaulnya, tidak ada utang puasa apa pun, baik nazar maupun lainnya yang dapat diqadha dengan puasa yang dilakukan oleh orang lain. Seseorang tidak dapat berpuasa untuk orang lain. Oleh karena itu, utang puasa orang yang sudah meninggal hanya dapat dibayar dengan fidyah.

Pendapat ini juga dianut oleh Ibn `Abbas dan `Aisyah yang meriwayatkan hadis di atas. Kedua sahabat ini mempraktikkan amalan yang berbeda dengan hadis yang mereka riwayatkan. Inilah yang membawa jumhur ulama berpendapat tidak ada puasa yang dilakukan oleh seseorang untuk orang lain.

Mengenai penafsiran wali ada dua pendapat. Pertama mengatakan bahwa wali di sini adalah kerabat. Pendapat lain mengatakan yang dimaksud dengan wali adalah ahli waris.

konsultasi ramadhan

Diasuh oleh Prof Dr H Syamsul Anwar MA Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah

Jika ada pertanyaan seputar puasa, silakan kirim pertanyaan Anda ke e-mail: [email protected]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement