Selasa 26 May 2015 15:00 WIB

Menyebarkan Islam di Pedalaman Kalimantan

Red:

Jalan damai menjadi pilihan Khadimul Ma'had Assalam Arya Kemuning, Barong Tongkok, Kutai Barat, Kalimantan Timur, KH Arief Heri Setiawan dalam berdakwah. Kiai asal Kediri, Jawa Timur, ini mendekati suku Dayak yang masih menganut animisme dan dinamisme tanpa tendensi mengafirkan. "Alhamdulillah. Sejak berdakwah di sini sekitar Agustus 1991, sudah 1.000 lebih warga asli sini yang masuk Islam dengan bimbingan saya dan para dai Assalam," cetus sang kiai, sepekan lalu, saat ditemui di ponpesnya yang terletak di Jalan Hasanuddin, Simpang Raya Barong Tongkok.

Kiai Arief masih ingat pengalaman dakwah pertamanya di Kutai. Dia harus menyusuri Sungai Mahakam dari Banjarmasin menuju Kutai dengan perahu sampan selama dua hari dua malam. Setibanya di lokasi, ia masih menempuh perjalanan darat di tengah hutan lebat. Saat itu, dia membawa amanah dari Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur untuk menjadi salah satu dai pembimbing akidah para transmigran di Kutai. "Panggilan hidup saya memang berdakwah. Meski sempat mengajar di madrasah sampai 1985, kemudian saya yakin jalan saya ingin mengemban misi dakwah," tegas Kiai Arief.

Pertama kali tiba di Kutai, Kiai Arief tinggal di sebuah rumah kuno peninggalan zaman Belanda yang tidak terawat. Kiai Arief pun mendekati para transmigran di puluhan titik area dengan menumpang kendaraan pengangkut tanaman ataupun ternak. "Para dai belum ada yang masuk. Kemusliman didominasi transmigran yang datang sejak 1965. Jadi, pemahaman keislamam masih minim dan saya termasuk mengawali dakwah keliling di sekitar 50 titik transmigran," urainya.

Sebuah perjuangan tidaklah lengkap tanpa tantangan. Kiai Arief sempat mengalami pengusiran dari oknum Danramil yang beragama non-Muslim dengan alasan tidak masuk akal. Sehingga, dia sempat berpindah lokasi dakwah. Namun, perlahan tapi pasti, eksistensi dakwah keliling Kiai Arief merasuk ke dalam sanubari para transmigran maupun warga suku Dayak. Salah satu buktinya, transmigran asal Kuningan, Jawa Barat, mewakafkan sekitar 60 hektare area berupa hutan agar dimanfaatkan sang kiai untuk membangun pesantren.

Bersama para transmigran dan warga suku Dayak yang bergabung dengan pengajiannya, Kiai Arief mulai menebangi dan mencari kayu bulat untuk bahan fondasi dan tiang. Mereka juga menganyam dedaunan untuk bahan atap dan dindingnya. "Gubuk monumental itu dipasang tiang pancangnya pada Maret 1992 saat Ramadhan," kenang Kiai Arief.

Pria berusia 49 tahun ini pun mengingat, santri pertama yang tinggal di ponpes yang diberi nama Assalam Arya Kemuning itu adalah tiga anak lelaki asal Purwodadi, Jawa Tengah. Nama Arya Kemuning untuk mengingatkan bahwa lahan tersebut berasal dari para transmigran area Kuningan. Kiai Arief pun tidak hanya membekali santrinya dengan ilmu agama. Dia juga mengajak para santrinya mengelola sekitar 25 hektare tanah dengan menanami karet. Mereka juga memanfaatkan lahan sekitar ponpes untuk peternakan sapi, kambing, hingga perikanan. Kiai Arief ingin para santrinya mempunyai jiwa kewirausahaan mandiri.

Secara bertahap, Kiai Arief juga mendirikan enam lembaga pendidikan, mulai dari playgroup, taman kanak-kanak, sekolah dasar, madrasah ibtidaiyah, SMP, madrasah tsanawiyah, hingga madrasah aliyah. Di bidang sosial kemasyarakatan, ia masih bersafari dakwah bina mualaf. Berbagai kegiatan cuma-Cuma, seperti nikah massal, khitanan massal, pembagian daging kurban, santunan Idul Fitri, dan pengobatan gratis pun dilakukan. "Kami ingin tinggal di sebuah komunitas madani, mandiri, dan amanah," tegasnya.

Saat ini, santri Kiai Arief telah mencapai 750 orang lebih yang tersebar di keenam lembaga pendidikan tersebut. Ribuan kader dan mitra Yayasan Assalam pun tersebar di dalam negeri dan luar negeri. Pembinaan para dai Assalam pun terus berlanjut dengan pemberian beasiswa studi ke Gontor, Tazkiyah Bogor, Madura, Yogyakarta, beberapa ponpes di Jawa Tengah, Pakistan, hingga Qatar bagi para santri berprestasi. "Delapan puluh persen pengajar Ponpes Assalam adalah murid-murid saya. Jejaring dakwah kami pun insya Allah makin meluas dengan kader-kader dan mitra yang tulus membantu perjuangan dakwah Assalam," jelas kiai yang memiliki lima putri dan seorang putra ini.

 

Selain lewat jalur pendidikan dan pembinaan akidah anak, Kiai Arief juga mengoptimalkan pendekatan pada tetua adat dan warga Dayak dengan mengutus lima orang hingga 15 dai Assalam ke sekitar 50 titik area. Satu dai membina tiga kampung dalam dua-tiga titik area tadi. Mereka dibekali makanan untuk dibagikan bagi para mualaf. Sedangkan, pemberian materi agama dilakukan di rumah-rumah penduduk maupun beberapa tempat yang difasilitasi lembaga mitra Assalam.

Pengajaran akidah dan saling menghormati kultur setempat juga dirasakan oleh para santri Assalam. Seperti yang dikemukakan oleh salah satu ketua santri perempuan, Nur Hayati (17 tahun). Nur yang masuk ponpes sejak 2013 dan baru lulus madrasah aliyah ini mengaku beruntung bisa berinteraksi dengan sesama teman dari berbagai etnis. "Banyak anak-anak suku Dayak yang diislamkan di sini, lalu mondok beberapa bulan, setahun, sampai ada yang terlama 10 tahun di sini. Walaupun mereka terbilang baru mengenal Islam, mereka mau belajar dan membaur dengan cepat," ungkap Nur.

Gadis asal daerah Tering, Kutai Barat, ini sendiri mengakui, wilayah sekitar Kutai Barat masih dipenuhi para pemuda dengan gaya hidup tradisional alias suka berjudi dan mabuk. Sehingga, dengan yakin ia mengutarakan ingin tinggal di Ponpes Assalam agar tak terpengaruh.

Berbekal ilmu agama, kemandirian, konsep pembauran, serta toleransi dari Assalam, Nur pun mantap ingin meneruskan pendidikannya di Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien di Sumenep, Jawa Timur, demi mewujudkan cita-citanya sebagai seorang guru agama.n ed: m akbar wijaya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement