Senin 04 May 2015 15:00 WIB

Muslim Melayu di Thailand Selatan

Red:

Selama ini banyak yang mengira Thailand adalah negara yang homogen dengan mayoritas penduduknya menganut agama Buddha. Sejatinya tidaklah demikian. Satu-satunya negara ASEAN yang tidak pernah mengalami penjajahan di zaman kolonial ini ternyata memiliki keragaman etnis dan agama.

Selain pemeluk Buddha, tak sedikit warga Thailand yang memeluk agama lain, seperti Islam, Kristen, Konghucu, Hindu, Yahudi, Singh, dan Tao. Patut dicatat, saat ini Thailand menjadi rumah bagi sekitar 64 juta umat Islam. Pemeluk agama Islam di Thailand berasal dari etnis Persia, Cham (Muslim Kamboja), Bengali, India, Pakistan, serta etnis Melayu dari Sumatra, Kalimantan, dan Malaysia.

Berbeda dengan umat Islam lainnya di Thailand yang menyebar ke banyak tempat, tidak demikian halnya dengan Muslim beretnis Melayu. Mereka cenderung hidup berkelompok dan bermukim di provinsi-provinsi bagian selatan Thailand, yaitu Provinsi Pattani, Yala, Naratiwat, Songkhla, dan Provinsi Satun yang berbatasan langsung dengan wilayah Malaysia.

Mengapa Muslim Melayu memilih hidup berkelompok? Hal ini karena mereka sulit berintegrasi dengan budaya Thailand yang identik dengan agama Buddha. Hal ini pula yang kemudian mendorong didirikannya Kesultanan Muslim di Thailand Selatan pada abad ke-18. Tujuan didirikannya kesultanan ini adalah untuk menaungi dan melindungi masyarakat Muslim Melayu di Negeri Gajah Putih.

Namun, Pemerintah Thailand langsung menudingnya sebagai kelompok separatis. Raja Thailand ingin menyatukan Muslim Melayu di bawah naungan Kerajaan Thailand. Namun, mereka menolak karena masyarakat Muslim Melayu saat itu ingin diintegrasikan dengan negara Melayu atau memerintah sendiri.

Berbagai upaya pun dilakukan Pemerintah Thailand untuk memberangus kesultanan ini. Akibatnya, pada abad ke-18 itu kerap terjadi bentrokan antara Kesultanan Muslim dengan Pemerintah Thailand.

Operasi militer besar-besaran pernah dilakukan pada 1940 ketika Thailand dikuasai partai nasionalis yang dipimpin Pibul Songkhram. Kala itu rezim Songkhram memaksa orang Melayu menanggalkan identitas mereka sebagai Melayu dan Muslim, selanjutnya bersatu di bawah  pemerintahan Thailand.

Tak hanya itu, Muslim Melayu juga dilarang mengenakan busana tradisional Melayu dengan ciri khasnya, seperti peci bagi kaum pria dan kerudung bagi wanita. Bahkan, mereka juga dilarang berbicara dengan bahasa Melayu.

Rezim Songkhram juga memaksa masyarakat Muslim Melayu untuk mengadopsi nama Thai. Akses mereka untuk belajar Agama Islam juga ditutup. Pemerintah juga menghapuskan pengadilan Islam untuk menangani urusan keluarga Muslim. Seluruh pelajar dan mahasiswa di Thailand pun meski bukan pemeluk agama Buddha diwajibkan memberi penghormatan kepada gambar Buddha di sekolah-sekolah umum. Bila ada yang menolak melaksanakan kebijakan ini, akan ditangkap dan dijatuhi hukuman, bahkan tak jarang berujung kepada penyiksaan.

Meskipun kemudian pemerintah melunak dengan mencabut segala aturan yang menyulitkan umat Islam, seperti dikatakan sejarawan Asia Tenggara asal Singapura Michael Vatikiotis, tetap saja hubungan Muslim Melayu dengan Bangkok tak pernah membaik.

Ketika Thailand dipimpin Perdana Menteri Thaksin Sinawatra, upaya berdamai dengan Muslim Melayu pun telah diupayakan tetapi tak pernah membuahkan hasil. Thaksin mencoba memfasilitasi pelajar dari wilayah selatan dalam bentuk beasiswa pendidikan. Namun, Muslim Melayu menampik hal itu. Mereka menganggap Thaksin sedang berinvestasi agar kelak keturunan mereka berutang budi kepada Pemerintah Thailand.

Di tengah upaya yang dilakukan Thaksin, Bangkok justru semakin mengembangkan prasangka dan stigma negatif kepada Muslim Melayu sebagai kelompok krimimal yang berlindung di balik agama. Stigma itulah yang dimanfaatkan tentara Thailand untuk menggelar operasi militer di wilayah selatan.

Di tengah ketertindasan ini, kalangan Muslim Melayu semakin gencar menuntut agar Pemerintah Thailand memberikan otonomi khusus sehingga mereka dapat memerintah dan membuat kebijakan untuk mengatur kehidupan mereka sendiri. Mereka yakin, dengan otonomi itu, Muslim Melayu dapat mengembangkan taraf hidup karena selama ini mereka merasa tidak memperoleh pengayoman dan perlakuan yang sama seperti penganut agama mayoritas di Thailand.

Menurut mereka, di negara yang heterogen ini, pemerintah sebagai pihak yang menaungi seluruh warga negara seharusnya mengembangkan budaya saling menghormati terhadap apa yang dianut dan dipercayai orang lain.

Mulai berubah

Belakangan, muncul upaya-upaya yang mencerahkan dari sejumlah kalangan pemuda dan mahasiswa Muslim Thailand. Mereka rupanya gusar dengan konflik berkepanjangan yang telah berlangsung ratusan tahun. Para mahasiswa yang aktif menggelar pertemuan untuk membahas masalah-masalah kebangsaan itu, mendesak kedua belah pihak untuk  segera merentangkan tali perdamaian.

Dalam wawancara dengan Reuters, salah seorang dari mahasiswa itu mengatakan, mereka kerap melakukan pertemuan di sebuah universitas di wilayah, selatan yakni Provinsi Pattani.

Desakan para mahasiswa ini mendapat dukungan dari Wali Kota Yala Pongsak Yingcharoen. Pongsak yang berbicara atas nama warganya menegaskan, rakyat Thailand sangat tidak menyukai konflik yang berujung kepada aksi kekerasan. "Mereka (para mahasiswa) berharap, warga memahami supaya proses perdamaian ini segera terwujud," katanya, seperti dilansir onislam.net.

Sedangkan, sejumlah pengamat melihat adanya indikasi Pemerintah Thailand berniat mengakhiri ketegangan dengan Muslim Melayu. Meski selama ini mereka menganggap tabu untuk mengakui wilayah selatan sebagai daerah yang memiliki otonomi khusus, kini mulai ada perubahan. Pemerintah menyadari, upaya pemaksaan, diskriminasi dan penindasan yang dilakukan selama ini terbukti tidak membuahkan hasil yang menguntungkan kedua belah pihak.

"Kata otonomi menjadi kata yang tabu buat pemerintah, tapi sekarang mereka mau mendiskusikannya secara terbuka," kata pengamat dari Asia Foundation, Thomas Park.  c08 ed: Wachidah Handasah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement