Jumat 06 Mar 2015 15:11 WIB

Yogyakarta Statemen Dorong Kerukunan Muslim-Buddha

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA - Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Bambang Cipto mengemukakan, Yogyakarta Statement yang dihasilkan dari “Summit of Buddhist and Muslim Leaders” di Yogyakarta dan Borobudur merupakan langkah besar bagi kerukunan Muslim dan Buddha. Tetapi, pertemuan ini harus ada tindak lanjutnya agar kerukunan kedua agama, Muslim dan Buddha, terus hangat. “Saya pikir ini merupakan langkah maju untuk menciptakan kerukunan beragama di antara Muslim dan Buddha yang diprakarsasi MUI dan Walub,” kata Bambang Cipto yang mengikuti pertemuan tersebut kepada Republika di Yogyakarta, Kamis (5/3).

Bambang mengatakan, Yogyakarta Statement mendorong negara-negara di dunia segera mengatasi konflik antara Buddha dan Muslim. Sehingga, konflik tidak berkepanjangan dan segara dapat dicari akar permasalahan untuk pemecahannya.

Sementara itu, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Din Syamsuddin mengatakan, kelompok ekstrem di dunia menguat tidak hanya kalangan Islam di Timur Tengah, tetapi juga di kalangan agama lain, Hindu di India dan Buddha di Myanmar. Hal ini menjadi fenomena sekaligus tantangan dunia. Menurut Din perlu dicari strategi tepat untuk mengatasi kelompok ekstrem tersebut, antara lain, dengan memberdayakan kaum moderat jalan tengah. “Kita harus mulai membuka hubungan dengan mereka,” katanya.

Sebelumnya, tokoh pemuka agama Islam dan Buddha dari 15 negera menggelar pertemuan puncak di Yogyakarta dan Kompleks Borobudur Magelang, Jawa Tengah, Selasa dan Rabu (3-4/3). Pertemuan diberi nama “Summit of Buddhist and Muslim Leaders” dengan tema “Overcoming Extremism and Advancing Peace with Justice”.

Pertemuan ini telah menghasilkan kesepakatan yang diberi nama Yogyakarta Statement. Di antaranya, berisi menolak penyalahgunaan agama untuk mendorong diskriminasi dan kekerasan serta menyerukan melawan interpretasi dan aksi keagamaan yang ekstrem.

Para pemuka kedua agama juga mendorong peran pemerintah agar menolak diskriminasi dan kekerasan atas nama agama. Selain itu, menyerukan kepada seluruh negara untuk memenuhi tanggung jawab mereka dalam melindungi seluruh warga negaranya dari kebencian berdasarkan agama dan suku. Juga menolak diskriminasi dan kekerasan atas nama agama.

Mereka menekankan umat beragama dapat hidup berdampingan dengan damai, kasih sayang, dan keadilan universal, hidup harmonis dengan lingkungan, martabat dan kehormatan kemanusiaan serta antikekerasan. Juga rencana aksi termasuk prakarsa intra dan antaragama untuk pendidikan dan advokasi serta mencegah konflik antaragama. Yaitu, memberikan reaksi cepat, melakukan kunjungan solidaritas, mencegah konflik, mengembangkan dan menyediakan perangkat serta materi untuk aksi bersama yang strategis, serta menggunakan media untuk pesan-pesan positif. antara ed: M Akbar Wijaya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement