Kamis 29 Jan 2015 13:00 WIB

Raudlatul Mukfufin Majelis Taklim Khusus Tunanetra (Akhir): Demi Kemampuan Mengaji yang Baik

Red:

Ahmad Joni tidak memungkiri karena cacat mata itulah dia bersama penyadang lainnya agak kesulitan untuk bisa mengaji Alquran. Joni mengaku sangat kesulitan jika mengikuti pengajian untuk orang normal. Dia bersama kawannya tidak bisa mendapatkan kemampuan yang baik dalam memperoleh ilmu agama, terutama kemampuan mengaji. "Kita cuma bisa mendengarkan," ujar Joni mengenakan kacamata hitam yang menutupi matanya itu, pekan lalu.

Tanggal 26 November 1983 merupakan saat yang tidak terlupakan bagi laki-laki baya ini. Sebab, hari tersebut merupakan saat pertama kalinya majelis taklim yang selama itu dia bina bersama delapan kawannya, termasuk R Halim Saleh, resmi diakui oleh pemerintah.

Majelis yang telah mereka jalani sejak 1980 itu pada akhirnya berubah menjadi Yayasan Tunanetra Raudlatul Mukfufin. "Dan tahun 1983, majelis kami akhirnya bisa berbadan hukum," ujarnya.

Pendirian yayasan dengan membawa nama "tunanetra" ini hadir bukan tanpa alasan. Alasan utama, Joni mengakui sebagian besar perintisnya termasuk dia dan R Halim Saleh merupakan penderita tunanetra. Oleh sebab itu, dengan menghadirkan pengajian khusus tunanetra tersebut menjadi bagian penting bagi mereka demi mengasah kemampuan mengaji yang lebih baik.

Saat itu, di wilayah Jakarta memang belum ada majelis atau pembinaan khusus untuk para penyandang tunanetra. Ketua Dewan Pembina Raudlatul Makfufin ini menyatakan, ketika itu hanya daerah Yogyakarta saja yang memiliki pembinaan khusus untuk para tunantera.

Dia bersama kawannya berusaha untuk merintis pusat pembinaan tunanetra di Jakarta. Bahkan, mereka bercita-cita untuk bisa memproduksi Alquran blaire sendiri. Joni bersama kawan seperjuangannya benar-benar berusaha untuk bisa memajukan yayasan tunanetra tersebut.

Pada 1990-an Joni menyatakan yayasan yang dia bina itu berhasil menyusun software untuk memproduksi Alquran blaire. Penyusunan ini tentu tidak mudah. Akhirnya, cita-cita Joni dan kawannya itu pun berhasil. Mereka berhasil menggapai target mereka, yakni memproduksi Alquran blaire. Produksi ini diharapkan bisa membantu para tunanetra yang berada di wilayah Jakarta.

Untuk jamaah sendiri, Joni mengaku sudah memiliki sekitar 50 hingga 60 jamaah dari wilayah Jakarta dan sekitarnya. Para jamaah ini, Joni mengungkapkan, ada yang berasal dari Serang, Bekasi, dan Depok.

Joni mengaku semangat para jamaah untuk mengaji begitu besar. Meski memiliki kecacatan dalam tubuhnya, mereka tak khawatir untuk bepergian jauh demi memperoleh ilmu agama. Sebagai wujud apresiasi, Joni menyatakan selalu memberikan uang transpor dan makan siang bagi para jamaah.

Menurutnya, yayasan memberikan uang sekitar Rp 30 ribu per orang dan makan siang. "Inilah yang membuat yayasan kami agak berbeda dengan lainnya. Sebab yayasan mana lagi yang memberikan uang transpor bagi jamaahnya?" kata Joni seraya tersenyum.

Pengurus Yayasan Tunantera Abdurrahman menyatakan, hasil produksi Alquran blaire memang menjadi salah satu sumber dana bagi keberlangsungan yayasan. Harga penjualan satu set Alquran blaire sekitar Rp 1,5 juta. Untuk satu set, Rahman melanjutkan, terdiri atas 30 buku yang merujuk pada jumlah juz dalam Alquran.

Menurut Rahman, dalam sehari jika tidak ada halangan, yayasan bisa memproduksi sekitar tiga hingga lima buku dalam sehari. Buku ini sendiri mereka jual di berbagai daerah. "Pekerja Alquran ini sendiri yang mengajarkan dua orang normal," ujar laki-laki yang mengalami cacat mata sejak lahir itu.

Rahman menyatakan, untuk jamaah yayasan tunanetra tersebut, mereka tidak harus membayar untuk memiliki Alquran. Menurutnya, yayasan ingin mewakafkan Alquran ini kepada para jamaah itu. "Saya berharap yayasan bisa berkembang pesat dan membuka pesantren khusus untuk tunanetra serta membuka cabang," kata Rahman.  c13 ed: Muhammad Fakhruddin

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement