Selasa 06 Jan 2015 14:00 WIB

Islam Gili Trawangan Terusik Turis Mancanegara

Red:

Suara azan maghrib berkumandang luas di Masjid Agung Baiturahman, Gili Trawangan. Orang-orang berjalan ke rumah masing-masing, menyucikan tubuh, lantas mempersiapkan diri untuk beribadah di tempat tersebut.

Di sudut gang jalan menuju masjid, perempuan tua memakai jilbab putih bergegas menuju masjid swadaya masyarakat itu. Tepat di belakangnya, anak-anak kecil memakai peci dan sarung berlarian menuju rumah peribadatan itu. Sementara, di dalam masjid, lelaki paruh baya dan remaja sudah duduk dengan khusyuk untuk shalat maghrib.

Suasana beribadah di Masjid Agung Baiturahman, Gili (Pulau) Trawangan, begitu lekat. Sama seperti tempat lain yang kental dengan nilai-nilai agama Islam. Meski, Gili Trawangan, tempat wisata yang banyak didatangi oleh wisatawan asing dari berbagai negara, namun masyarakat lokal  tetap memegang teguh ajaran dan nilai-nilai Islam. "95 persen masyarakat di Trawangan, orang Islam. Alhamdulillah, di Trawangan tidak terpengaruh dengan adanya wisatawan asing. Boleh mereka datang, tapi kita tidak terbawa oleh arus mereka," ujar Jafarudin, Ketua Masjid Agung Baiturahman Gili Trawangan kepada Republika, Selasa (30/12).

Ditemani Bendahara Masjid Agung, Suryamin, Jafarudin menceritakan keberadaan wisatawan asing di Gili Trawangan yang menjadi tantangan bagi masyarakat di sana. Tidak sedikit, masyarakat mengeluhkan adanya wisatawan asing tersebut. Sebab, mereka memiliki kebudayaan yang berbeda dengan warga setempat, seperti cara berpakaian.

Bagi dirinya dan sebagian masyarakat lain, kekhawatiran besar dalam proses syiar Islam di Gili Trawangan ialah tidak adanya generasi penerus yang aktif di bidang keagamaan dan masjid. Itu dikarenakan, banyak remaja yang terpengaruh budaya-budaya yang dibawa oleh wisatawan asing.

Itu terjadi, manakala remaja Gili Trawangan banyak mengikuti kebudayaan wisman, seperti minum-minuman keras, memakai anting, dan berpakaian layaknya wisatawan asing yang memperlihatkan bagian-bagian tubuh. "Pengaruh negatif pasti ada, terutama bagi remaja. Contohnya seperti turis, senang minuman keras. Sementara minuman keras bagi Muslim itu haram. Tapi anak muda ada yang ikut-ikutan karena belum dibekali dengan ilmu agama," ujar Suryamin menambahkan.

Bahkan, ia menuturkan, temannya yang merupakan alumni pesantren. Saat kembali ke Trawangan terjerumus ikut meminum minuman keras.  Baginya, berada di Gili Trawangan, tidak menjamin seseorang yang pernah mengenyam pendidikan pesantren tidak akan terjerumus. Meski begitu, membentengi anak-anak dengan ilmu agama mutlak harus dilakukan.

Dengan jujur, Suryamin mengatakan perilaku remaja yang banyak mengikuti kebudayaan asing bukan menjadi kesalahan anak-anak semata. Akan tetapi, orang tua bahkan masyarakat di sekitar yang kurang memperhatikan anak-anak mereka.

"Tapi bukan salah mereka, tapi salah orang tua, salah kita semua mungkin. Kita sibuk sendiri, mereka sibuk sendiri. Maka harus dicari solusi agar mereka yang sudah terlibat bisa disadarkan kembali bahwa apa yang dilakukan itu tidak benar dalam agama Islam," ungkapnya.

Menurutnya, meski hubungan secara sosial baik antar masyarakat. Namun, dirinya mengaku khawatir jika mengajak teman-temannya untuk tidak minuman keras atau ke masjid. Dikarenakan, orang yang diajak dikhawatirkan akan tersinggung.

Ia pun berharap anak-anak muda di Gili Trawangan bisa menjadi generasi penerus agama Islam di Gili Trawangan. Serta membuat Masjid lebih makmur. Oleh karena itu, dirinya tidak berputus asa untuk tetap memberikan pencerahan, pengarahan kepada masyarakat dan remaja, tentang apa yang dilarang oleh agama. "Mudah-mudahan mereka ke depan lebih baik," ujarnya.

Jafarudin menambahkan, kekhawatiran yang ada membuat antisipasi yang dilakukan orang tua di Gili Trawangan adalah dengan mengirimkan anak-anak mereka ke pondok pesantren. Selain itu, pengajian rutin terus dilakukan dan mendatangkan tuan guru.

Bagi Suryamin sendiri, upaya membentengi diri dari kebudayaan negatif yang dibawa wisatawan asing adalah dengan tekun ke Masjid dan mendengarkan pencerahan dari tuan guru.

Bagi Mulyadi, warga Kecamatan Pemenang, Lombok Utara, nilai-nilai Islam yang dijalankan masyarakat setempat di sana terbilang masih kuat. Meski, banyak juga remaja-remaja yang terpengaruh oleh kebudayaan negatif yang dibawa oleh wisatawan asing. Seperti cara berpakaian, main ke diskotek, dan minum-minuman keras.

Keberadaan sesepuh di Gili Trawangan pun menjadi pegangan yang kuat sehingga nilai-nilai Islam yang dijalankan masyarakat tetap kuat dan lekat. "Kalau penduduk asli sih biasa-biasa saja. Tapi, di sini kan banyak pendatang," ungkapnya. c75 ed: muhammad fakhruddin

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement