Jumat 19 Dec 2014 13:55 WIB

iqra- Label Halal Palsu Marak

Red:

Banyak produk berlabel halal palsu berkeliaran di tengah masyarakat. Pantauan Republika di beberapa minimarket di Jakarta, Rabu (17/12), banyak produk minuman dan makanan ternyata memiliki sertifikat halal bodong. Produk tersebut hanya bertuliskan label halal tanpa ada logo dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Padahal, sertifikat halal asli hanya dikeluarkan MUI.

Produk halal bodong juga tersebar luas di kantin-kantin kampus. Bentuknya pun beragam, mulai roti, kue basah, kue kering, minuman berwarna, kopi, hingga susu. Tapi, banyak orang yang tidak sadar dan tidak memperhatikan keberadaan logo halal tersebut.

Mahasiswi salah satu universitas ternama di Jakarta, Febriyanti, salah satunya. Dia mengaku, tidak pernah memeriksa logo halal makanan atau minuman yang dibelinya. Dia hanya percaya dengan kehalalan produk di Indonesia yang memang mayoritas penduduknya Muslim. "Iya, karena saya percaya sudah pasti berlabel halal MUI. Kalau tidak, masa diizinkan beredar," ujarnya pada Republika, Rabu (17/12).

Ketua Gabungan Asosiasi Makanan dan Minuman Pengusaha Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman mengungkapkan, maraknya peredaran label halal palsu disebabkan kurangnya pengetahuan dari pengusaha, meski tindakan tersebut salah. Selain itu, pengusaha tidak siap untuk melalui tahapan memperoleh sertifikat halal, seperti kesiapan dokumen hingga produksinya. Dampaknya, mereka tak lolos saat audit.

Dia menjelaskan, banyak usaha kecil menengah (UKM), restoran, dan pengusaha katering mencantumkan label halal padahal tidak mengikuti prosedur memperoleh sertifikat halal dari LPPOM MUI. "UKM, misalnya, masih banyak mengalami kesulitan registrasi. Karena kesiapan untuk melakukan tidak mudah. Masalah lain keterbatasan waktu LPPOM MUI karena yang mendaftar banyak," ujar Adhi kepada Republika, Rabu (17/12).

Ia menjelaskan, masalah biaya seharusnya bukan menjadi kendala. Menurutnya, pemerintah sudah memfasilitasi biaya sertifikasi halal, khususnya untuk UKM. Menurutnya, kepemilikan sertifikat halal tergantung kesiapan pengusaha dalam menyiapkan dokumen yang dibutuhkan. Jika pengusaha siap maka proses memperoleh sertifikat halal akan cepat diselesaikan.

Untuk perbaikan ke depan, tuturnya, GAPMMI meminta pelaku usaha mengerti apa itu halal dan bagaimana proses sertifikasinya. Selain itu, pengusaha harus paham mencantumkan logo halal yang tidak sesuai aturan akan ditindak pidana. Menurutnya, semua itu menjadi tugas pemerintah untuk melakukan sosialisasi secara intensif, khusunya untuk UKM.

Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lukmanul Hakim mengamini fenomena tersebut. "Kasus label halal palsu banyak ditemukan pada pelaku usaha kecil dan mikro," ujarnya, beberapa waktu lalu. Meski demikian, Lukman tidak bisa menyebutkan angka pasti produk yang menggunakan label halal palsu. Menurutnya, LPPOM MUI belum melakukan riset untuk meneliti jumlah label halal palsu. Namun, ujarnya, ada ribuan produk berlabel halal bodong yang bisa ditemukan di hampir semua jenis produk, seperti makanan kering, basah, dan kuliner kaki lima.

Dia menjelaskan, sulit untuk membedakan label halal palsu dan asli dengan kasat mata. Menurutnya, teknologi percetakan sudah canggih sehingga mudah untuk mencetak label halal palsu menyerupai asli. Meski demikian, LPPOM MUI mencoba memfasilitasi lewat layanan SMS Tanya Halal. Warga dapat mengirim SMS dengan format Tanya Halal (spasi) nama produk kirim ke 98555. Layanan ini, ujarnya, untuk meyakinkan warga terkait kehalalan suatu produk yang dikonsumsi.

Menurutnya, maraknya peredaran label halal palsu di berbagai tempat menandakan produsen mulai merasakan keuntungan produk berlabel halal. Selain itu, konsumen sudah mulai pintar dalam mengonsumsi sesuatu, sehingga lebih memilih produk label hijau tersebut.

Dia pun membantah kasus label halal palsu disebabkan sistem sertifikasi halal LPPOM MUI berbelit dan menghabiskan biaya mahal. Menurutnya, ribuan industri kecil telah melakukan proses sertifikasi halal dan berhasil lolos. Itu artinya, alur untuk memperoleh label dan sertifikat halal tidak susah. Hanya saja, banyak industri kecil dan menengah kurang tahu karena kurangnya sosialsasi dan edukasi.

Dia mengungkapkan, pengusaha kecil dan mikro memang selama ini kurang mendapat sosialisasi dan edukasi mengenai pentingnya sertifikasi halal. Penyebabnya, tutur Lukman, keterbatasan biaya dan pengetahuan mereka. Upaya sosialisasi dan edukasi tersebut, menurut Lukman, sangat membutuhkan peran pemerintah karena memerlukan biaya besar. "Tidak mungkin MUI yang melakukan (sosialisasi dan edukasi), harusnya pemerintah dengan anggaran APBN."

Dia pun menyayangkan tidak adanya aturan tentang mekanisme pembiayaan dan regulasi sosialisasi dan edukasi sertifikasi halal pada UU Jaminan Produk Halal (JPH) No 33/2014 yang baru disahkan. Menurutnya, hal tersebut menjadi 'kebolongan' dalam UU JPH yang harus diperbaiki. "Regulasi sosialisasi dan edukasi disebutkan, tapi mekanisme, pembiayaan, dan aturan turunanannya belum ada," katanya.

N c83/ rep : aghia khumaesi ed: a syalaby ichsan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement