Kamis 13 Nov 2014 12:00 WIB

Relasi Muslim-Yahudi tak Cukup Hanya Dialog

Red:

JAKARTA — Dialog antara imam Muslim dan rabbi Yahudi digelar di Universitas Paramadina, Jakarta, Selasa (11/11) malam. Diskusi tersebut membeberkan persamaan antara Yahudi dan Islam sebagai agama samawi.

Hanya, dialog teologis dan kultural itu dinilai tak cukup untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan Muslim-Yahudi. Dibutuhkan penyelesaian politis yang bermartabat untuk menghentikan adanya imperialisme Israel di tanah Arab.

Pemimpin spiritual Pusat Muslim Jamaika, Amerika Serikat, Imam Shamsi Ali mengurai penyebab konflik di Palestina tak kunjung tuntas. "Sebab, di dua agama ini sama-sama ada kelompok ekstrem yang dua-duanya punya keinginan absolut," kata dia seusai diskusi dan bedah buku bertajuk Anak-Anak Ibrahim yang ia tulis bersama tokoh Yahudi, Rabi Marc Schneier.

Masalah selanjutnya, kata dia, belum adanya sikap empati dari masing-masing penganut agama. Menurutnya, sudah terbangun prasangka buruk bahwa Muslim ditindas Yahudi dan Yahudi takut diserang Islam. Untuk itu, tuturnya, Muslim mesti ditanamkan rasa empati terhadap Yahudi, mempelajari kejiwaan mereka yang dalam sejarahnya telah disingkirkan oleh bangsa lain.

"Mereka ketakutan, makanya ketika ada sedikit saja serangan, mereka akan membuat sistem pertahanan diri dengan menyerang balik yang dinilai lebih ekstrem," ujarnya. Dia pun mengimbau kepada Muslim untuk mengkaji apa tujuan memeluk agama Islam. Apakah untuk menimbulkan solusi atau menambah permasalahan.

Maka, jika sejatinya Islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam, penganutnya perlu mendukung solusi perbaikan hubungan Muslim-Yahudi. Dengan membangun dialog terbuka dan jujur, ujarnya, akan terjadi saling memahami sehingga langkah penyelesaian konflik dapat diupayakan.

Rabi Marc Schneier menjelaskan, berlarutnya konflik antara Israel dan Palestina disebabkan adanya konflik dari berbagai kajian keagamaan sendiri. Pendiri Yayasan Pemahaman Etis dan Rabi Pembina Sinagoge Westhampton, New York, Amerika Serikat, tersebut menjelaskan, sering kali kesalahpahaman terjadi karena kekeliruan memahami ayat-ayat suci. Padahal, setiap kitab suci justru sangat menjunjung kemanusiaan. "Baik dalam agama Yahudi maupun Islam, sama-sama menyebutkan bahwa membunuh seorang manusia sama saja dengan membinasakan seluruh umat manusia."

 

Dia pun menyebut Holokaus, peristiwa pembantaian umat Yahudi pada masa lalu, menjadi penyebab mengambangnya hubungan Muslim-Yahudi. Bagi bangsa Yahudi, tragedi tersebut seperti hantu yang terus membayangi. Hingga saat ini, trauma akibat pemusnahan enam juta orang Yahudi kerap menjadi dasar keputusan yang dilakukan Israel terhadap pengancam eksistensinya.

Di dunia, lanjut dia, terdapat sekitar 14 juta umat Yahudi dan 1,4 miliar umat Islam. Perbandingan jumlah tersebut tidak menguntungkan bagi Yahudi. Karena itu, tuturnya, bangsa Yahudi tak ingin terus-menerus berkonflik dengan Muslim. Dengan dialog, dia optimistis konflik yang berlangsung selama ini akan pulih. "Pandangan yudaisme tradisional adalah membantu orang asing, bahkan mengasihi orang asing," tuturnya.

Peneliti utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mochtar Pabottinggi menilai, pemicu konflik tak sebatas adanya kalangan Yahudi ekstremis dan Islam ekstremis. Menurutnya, pemicu utama konflik disebabkan adanya kekuatan imperialisme dan kepentingan negara Barat. Karena itu, bagi Mochtar, adanya dialog keagamaan tak cukup menyelesaikan konflik antara dua umat tersebut.

Pernyataan tersebut, ujarnya, bukan sekadar anggapan konspirasi. Pembiayaan dan dukungan invasi Israel yang dicampuri Amerika Serikat dan Inggris membuktikannya. Pada awalnya, ujarnya, Israel menginginkan tanah di Palestina karena klaim agama. Mereka ingin mendapatkan "tanah yang dijanjikan" seperti tertera dalam Talmud. Hanya, imperialisme juga terlibat karena mereka juga mengincar sumber daya dunia Arab.

 

Meski demikian, dia sepakat perlunya kerja sama yang baik antara Yahudi dan Muslim dimulai dari dialog dan saling memahami. Meski ada kepentingan politik dalam konflik Israel-Palestina, dialog antarkedua agama pun bukannya tak berpengaruh. Menurutnya, hal tersebut berguna agar orang-orang Israel yang bertahan dengan kolonialisme menjadi malu dengan sikapnya. "Sebab, kenyataannya, hubungan umat Yahudi-Muslim harmonis," tuturnya. c78 ed: a syalaby ichsan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement