Kamis 12 Jan 2017 14:00 WIB

Pemilu 2019 Diwacanakan Pakai e-Voting

Red:

JAKARTA -- Anggota Pansus Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu, Yandri Susanto, menegaskan sistem pemilihan umum secara elektronik atau e-Voting harus dipaksakan. Setidaknya pada Pemilu serentak 2019 mendatang harus sudah ada sebagian wilayah yang menerapkan sistem tersebut.

Itu dilakukan apabila sistem eletronik itu tidak bisa diterapkan sepenuhnya. Mengingat penyelenggara Pemilunya, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum siap dengan sistem elektronik tersebut.

"Kalau kesiapan pemilih, tentu masing-masing caleg atau partai anti akan berlomba-lomba menjelaskan kepada masyarakat bagaimana memilih dia melalui e-Voting. Intinya harus dimulai, apalagi dengan e-KTP implementasinya kan harus digunakan untuk yang sifatnya masif, seperti Pemilu," jelas dia, di Kompleks Parlemen, Rabu (11/1).

Lanjut Yandri, penerapan sistem elektronik pada Pemilu juga dapat menekan biaya Pemilu yang selama ini cukup besar.  Sebagai contoh pada Pemilu 2014, pemerintah mengeluarkan anggaran sebanyak Rp 16 triliun untuk melaksanakan seluruh tahapan.

Apabila dihitung dengan masa persiapan menuju pemilu, total dana APBN yang dikeluarkan bisa mencapai Rp24,1 triliyun. "Seperti dipaparkan tadi, penggunaan e-Voting bisa menekan biaya hingga 50 persen. Bahkan mesinnya pun dapat digunakan berkali-kali Pemilu," ucap dia.

Dirjen Aptika Kemkominfo, Semuel A. Pangerapan Aptika menyatakan Indonesia sebenarnya sudah siap melakukan Pemilu dengan cara e-Votting, maupun e-Counting. Kemudian pengamanan dan pertahanan teknologi juga siap, termasuk pengamanan Sumber Daya Manusia (SDM) juga sudah siap. "Infrastruktur juga siap. Dengan harapan penerapan Pemilu secara elektronik dapat menghemat biaya dan waktu," ujar Samuel.

DIM fraksi

Sementara itu Wakil Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Riza Patria mengungkapkan hingga kemarin baru empat fraksi yang mengumpulkan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Pemilu.

Riza mengharapkan fraksi lainnya untuk segera melengkapi DIM dan menyerahkan kepada pansus. "Akan diberi tenggat sampai Senin (16/1), karena Kamis kita akan raker dengan Kemendagri dan Kumham terkait pembahasan DIM tersebut. Yang paling penting adalah tidak hanya menyerahkan DIM tapi isu strategis bisa mengerucut,'' jelas politisi Gerindra ini di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (11/1).

Gerindra sendiri, papar dia, dalam DIM yang diserahkan tidak keberatan dengan usulan pemerintah soal Parliamentary Treshold sebesar 3,5 persen. Selain itu, mereka juga mengusulkan sistem Pemilu terbuka, bukan sistem tertutup seperti yang diusulkan pemerintah.

''Kalau sistem, Gerindra ingin terbuka. Bagi Gerindra adalah mengedepankan demokrasi. Indonesia bangsa luas. Ada pesan Prabowo, jangan mematikan partai yang ada. Kita penting memperkuat presidensial. Penyederhanaan partai bukan satu-satunya cara memperkuat sistem presidensial,'' kata Riza.

Menurutnya, partai -partai di parlemen tidak boleh kita tidak memberikan kesempatan terhadap partai baru. Ia menilai, partai baru perlu diberi kesempatan seluas-luasnya. Apalagi, Indonesia merupakan negara yang demokratis.  ''Oleh sebab itu Gerindra ingin Parlimentary Threshold diperkecil, Presidential Threshold diperkecil bahkan 0 persen,'' ucapnya.

Fraksi Golkar juga sudah resmi menuangkan pandangan dan sikapnya dalam DIM ke Pansus RUU Pemilu. Beberapa usulan Golkar adalah sistem Pemilu tertutup, dengan jumlah kursi per dapil 3-6 berlaku secara nasional, dengan mempertimbangkan aspek keadilan, proporsionalitas dan cakupan wilayah.

Selain itu, konversi suara ke kursi dengan metode Divisor D'Hond, Parliamentary Threshold 10 persen, dan Presidensial threshold ikuti usulan pemerintah. ''Fraksi Golkar siap memperjuangkan sikapnya dalam pembahasan,'' kata Hetifah .      rep: Eko Supriyadi, Ali Mansur, ed: Hafidz Muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement