Rabu 11 Jan 2017 16:00 WIB

Menkominfo Minta Maaf Blokir Situs Islam

Red:

JAKARTA --Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyatakan, tidak ada niat darinya untuk memblokir situs Islam. Namun, pemblokiran situs yang dilakukan kementeriannya hanya fokus kepada konten yang dianggap tidak layak.

Bahkan, yang diblokir oleh Kemkominfo bukan hanya situs, melainkan juga akun media sosial. Karena itu, ia menegaskan, pemblokiran itu bukan berbicara mengenai agama tertentu, melainkan murni karena konten yang dianggap Kemkominfo bermasalah.

''Staf saya baru, tapi kejebak dengan framing ini. Saya Islam, pengurus masjid juga. Saya mohon maaf kepada orang yang beragama Islam, tidak ada maksud seperti itu,'' ucap Rudiantara di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (10/1).

Rudiantara mengungkapkan, hampir 800 ribu situs yang telah diblokir. Tapi, ia menegaskan, hanya fokus dengan konten yang merujuk pada UU ITE. ''Kalau memang harus diblok, kami fokus bukan kepada siapa yang punya atau mengelola,'' ucap dia.

Rudiantara menegaskan permintaan maafnya ditujukan agar situasi tenang, teduh, dan pihaknya tidak ingin diadu. Rudiantara menyebut, dalam menertibkan situs, Kemkominfo memiliki Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang bersertifikasi dan dididik Kementerian Hukum dan HAM maupun penegak hukum.

Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan, pihaknya berkomitmen memerangi berita bohong dalam berbagai platform. Selain situs, Kemkominfo akan meminta platform media sosial melakukan pengawasan.

Samuel mengaku, pihaknya sudah menyurati Facebook dan Twitter untuk bertemu membahas penanganan berita palsu atau hoax. "Sudah disurati, sudah diterima, masih diatur, mereka juga waktunya masih diatur. Dalam waktu dekat, diharapkan akhir Januari atau awal Februari bisa bertemu," katanya.

Semuel mengatakan, kementerian terinspirasi dengan berita terkait upaya Jerman untuk menangani hoax di Facebook. Pemerintah Jerman mengumumkan akan memberikan denda sebesar 500 ribu euro kepada Facebook untuk setiap berita palsu yang beredar di platform tersebut.

Menurut dia, platform media sosial, seperti Facebook dan Twitter tetap harus bertanggung jawab terhadap penyebaran berita-berita palsu tersebut. Hal ini sesuai dengan UU ITE.

Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almarsyhari mendukung upaya Dewan Pers melakukan pembenahan situasi media daring melalui verifikasi ataupun uji kompetensi terhadap wartawan Indonesia.

"Maraknya situs media online saat ini membuat penyiaran berita menjadi kurang terkontrol karena ada situs media yang menyiarkan hoax," kata Abdul, Selasa (10/1)

Menurut Abdul Kharis, berita-berita "hoax" ini dapat meresahkan masyarakat ataupun Pemerintah. Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjelaskan, DPR RI sebelumnya telah menghasilkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

"Undang-Undang ITE ini merupakan landasan hukum yang tujuannya, antara lain untuk melindungi para pihak dari ujaran-ujaran kebencian," ujarnya.

Kalau saat ini Dewan Pers akan melakukan pembenahan situs media daring menyusul ramainya berita hoax, dia mendukung langkah Dewan Pers.

Abdul Kharis menambahkan, Dewan Pers juga telah melakukan uji kompetensi terhadap wartawan untuk mengklasifikasi wartawan kompeten dan tidak kompeten. "Wartawan profesional dapat menyampaikan berita-berita akurat yang menjadi harapan rakyat," kata dia.

Ironisnya, menurut dia, saat ini banyak orang yang menyukai berita hoax meskipun di sisi lain banyak juga yang risih dengan berita hoax.

Menurut dia, pada era 1980-an masyarakat percaya pada berita-berita dari media arus utama. Tetapi, sesuai dengan perkembangan media daring dan sosial, berita bohong atau hoax juga turut menjamur.     rep: Eko Supriyadi/antara, ed: Hafidz Muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement