Senin 19 Sep 2016 14:00 WIB

Sejarah Dinomorduakan

Red:

JAKARTA — Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memprihatinkan pelajaran sejarah yang terkesan dinomorduakan. Pelajar lebih mementingkan pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional (UN).

Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, Hilmar Farid, mengatakan bahwa mendalami sejarah dikesampingkan demi mengejar nilai UN. Hal ini berdampak terhadap generasi muda yang tidak mengetahui asal-usulnya. "Kita harus berperan mengajarkan sejarah, agar generasi muda mengetahui karakter bangsa tempat asalnya," ujar Hilmar dalam Dialog Kebangsaan Peristiwa 19 September 1945, Massa Aksi dan Revolusi Pemuda di Museum Perumusan Proklamasi, Jakarta, Ahad (18/9).

Ia bersyukur, Mendikbud Muhadjir Effendy berencana memayungi sekolah dengan sejarah untuk menyukseskan pendidikan karakter. Dia menilai, mendalami sejarah menjadi bagian mengenal karakter bangsa. Tantangan saat ini adalah mengisi pendidikan karakter dengan informasi yang selama ini ada dalam sejarah.

Banyak kalangan muda kurang mengetahui tentang sejarah. Diskusi mengenai peristiwa Ikada (Ikatan Atletik Djakarta) merupakan forum untuk bicara tentang banyak aspek sejarah. Ia menjelaskan, diskusi tersebut bertujuan untuk penghargaan dari pemerintah kepada pahlawan. Banyak pahlawan yang cukup dikenal. Banyak juga yang kurang dikenal, tapi tidak sedikit yang tak dikenal sama sekali. Dia menginginkan soal kepahlawanan lebih mengemuka. Diskusi tersebut menyebutkan Tan Malaka dan Mufreni Mu'min sebagai pahlawan yang berkontribusi bagi kemerdekaan bangsa ini.

Hilmar menuturkan, Mufreni Mu'min merupakan sosok yang berperan penting dalam peristiwa 19 September atau rapat raksasa di Lapangan Ikada. Ia merupakan orang yang berperan dalam mengamankan jalannya rapat tersebut yang dilaksanakan pemuda di Jakarta.

Dia berencana menjadikan sejumlah pahlawan menjadi nama jalan. Menurut dia, panetapan nama jalan berhubungan dengan peristiwa yang menyejarah dan memengaruhi proses pembangunan bangsa. Ia mencontohkan jalan di Belanda yang memberikan dan mencantumkan informasi atas pemberian nama jalan di daerah itu. "Jalan di sana dilengkapi tahun lahir dan wafat dan sedikit informasi tentang dia," ujarnya.

Ia tidak ingin nama pahlawan seperti Tjipto Mangunkusumo hanya dikenal generasi sekarang sebagai tempat pemberhentian bus. Saat ini, perkembangan teknologi dan informasi bergitu pesat. Masyarakat, kata dia, dapat memanfaatkan perkembangan tersebut untuk mendalami sejarah mengenai pahlawan negeri ini.

Selama ini, ujar Hilmar, sudah banyak upaya direktoratnya mengenalkan sejarah kepada generasi muda. Salah satunya menerbitkan buku-buku. Namun, yang menjadi soal yakni, buku tersebut tidak boleh diperjualbelikan.

Direktur Sejarah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, Triana Wulandari mengusulkan 19 September diperingati sebagai hari nasional. Pada tanggal tersebut, pemuda Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan 1945 yang disebut peristiwa Ikada.

Ia menuturkan, peristiwa tersebut sangat singkat, tapi terpatri menjadi bagian sejarah bangsa Indonesia. Saat itu, terjadi aksi massa pemuda yang mengadakan rapat raksasa di lapangan Ikada yang sekarang disebut Monas. Rapat itu dipelopori Komite Van Aksi. Presiden Soekarno berpidato di sana untuk memperingati kemerdekaan. "Peristiwa ini melegitimasi pemerintahan Indonesia yang sah," ujar Triana.

Bersamaan dengan peristiwa Ikada, pemerintah pada saat itu juga menggelar sidang kabinet I untuk mengingatkan gaung kemerdekaan yang telah tersebar di seluruh Indonesia. Menurut dia, rapat Ikada membuktikan Indonesia sudah merdeka didukung rakyat dan pemuda.

Peristiwa tersebut, menurut dia, perlu selalu disuarakan. Hal itu bertujuan untuk menambah wacana dan wawasan ihwal rapat Ikada, menanamkan rasa patriotik pada bangsa, serta memperkuat cinta Tanah Air. Selain mengusulkan 19 September sebagai hari nasional, ia juga berharap para tokoh pemuda yang terlibat dalam peristiwa itu diusulkan menjadi pahlawan nasional.

Pendiri Tan Malaka Institute, Ben Ibratama Tanur, menyetujui 19 Sepember diperingati sebagai hari nasional. Menurut dia, 19 September harus dikenang, seperti banyak orang memperingati kemerdekaan pada 17 Agustus. Dia mengatakan, banyak tokoh dalam peristiwa Ikada tak dikenal. Profil mereka harus digali dan disebarluaskan agar dikenal banyak orang.

Pihaknya memprihatinkan anak bangsa saat ini yang banyak lupa bagaimana bangsa ini bisa berdiri seperti sekarang. Belum lagi kisah tentang pengorbanan para pahlawan demi berdirinya bangsa ini. Bahkan, kata dia, tidak jarang banyak anak bangsa yang lupa pengorbanan Soekarno, Mohammad Hatta, Tan Malaka, serta Agus Salim.

Bagian terpenting dalam sejarah yakni peristiwa proklamasi kemerdekaan. Namun, menurut dia, setelah gaung proklamasi, Indonesia belum menguasai pemerintahan, ekonomi, dan militer secara keseluruhan. Atas inisiatif pemuda dan mahasiswa Menteng serta Prapatan 10, Ben mengatakan, digelar rapat raksasa di lapangan Ikada atau Monas untuk memperjuangkan kelanjutan proklamasi Indonesia.

Dia berharap, peringatan peristiwa 19 September dapat menjadi agenda nasional Ditjen Kebudayaan Kemendikbud. "Kemudian menempatkan peristiwa ini sebagai agenda nasional. Perjuangan bangsa Indonesia untuk adil dan makmur bisa tercapai," ujar Ben.    rep: Umi Nur Fadhilah, ed: Erdy Nasrul

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement