Senin 30 May 2016 14:00 WIB

Solidaritas Alumni untuk Komaruzzaman

Red:

Sandal jepit berwarna hijau yang sudah terlihat kusam menapak di ruang aula SMA Negeri 31 Jakarta, Sabtu (29/5). Sandal itu dipakai oleh seorang pria renta yang terduduk  di kursi roda. Kulit wajahnya tak lagi sekencang seperti dua atau tiga dekade silam.

Penampilannya juga tak senecis seperti dahulu. Hanya berbalut baju batik dan celana bahan berwarna hijau yang menghiasi penampilannya. Kaki dan tangannya sudah tak sekokoh seperti dahulu kala. Tangan sebelah kanan tak bisa lagi digerakkan. Serangan stroke yang menyergap lima tahun silam, telah membuat sosok pria tua bernama Komaruzzaman ini hanya bisa menjalani sisa hidupnya melalui kursi roda.

Komaruzzaman adalah pensiunan guru dari SMA 31 Jakarta Timur. Kini, ia menjalani kehidupannya di sudut sempit di ujung Jakarta. Tepatnya di Srengseng, Jakarta Barat. Ia tinggal di deretan rumah petak nan pengap. Tak ada barang-barang mewah yang menghiasi rumahnya. Sungguh, ia hidup dalam kesederhaaan namun tetap bisa tersenyum dalam getir kepada setiap orang yang menyapanya. ''Saya masih bahagia,'' katanya dengan suara yang terdengar datar.

Komaruzzaman adalah adik kandung dari aktor kondang HM Damsyik. Ia anak bungsu dari delapan bersaudara. HM Damsyik adalah anak keempat dari pasangan Incik Dja'afar dan Hj Nyi Mas Maimunah. Jika HM Damsyik asik bergelut menjadi aktor di depan layar yang penuh keriuhan media, maka Komaruzzaman memilih tempat yang berbeda 180 derajat.

Komaruzzaman memilih hidup jauh dari kemilaunya pemberitaan media. Kehidupannya hanya akrab dengan kapur, papan tulis, meja, bangku dan murid-murid yang menyimpan beragam karakter perilaku. Kisah hidupnya sebagai guru telah dirintis sejak 1981, atau berselang tiga tahun sejak SMA 31 berdiri. Lalu pada 2001, 'nafas hidupnya' sebagai pendidik harus ditinggalkan dari kesehariannya alias waktu pensiun telah tiba.

Dari gaji pensiunan guru, dalam sebulan ia mendapat dana Rp 2 juta. ''Tapi saya hanya menerima Rp 700 ribu saja karena dipotong untuk membayar pinjaman ke bank BTPN. Pinjaman ini sampai 2017,'' katanya dengan tetap menyunggingkan senyuman meski deretan gigi sudah tak lagi terlihat.

Dalam sebulan, ia masih membutuhkan sederet biaya. Mulai dari biaya berobat stroke sampai membayar kontrakan di rumah petak yang sesungguhnya sangat tak layak buat seorang guru yang telah melahirkan banyak orang pintar di negeri ini. Tapi inilah ironi yang menyelip di negeri ini.

 

 Sebagai guru ekonomi, sesungguhnya Komaruzzaman sudah membekali para muridnya untuk belajar bagaimana menata ekonomi lebih baik, walau ia sendiri harus menghadapi kenyataan saat ini tertatih mengais ekonomi kehidupannya setiap hari.

Di kala sang anak didik sudah hidup tenang dalam beragam zona nyamannya, sosok Komaruzzaman telah memperlihatkan kepada kita bahwa ia adalah kisah nyata dari potret Guru Oemar Bakrie yang masih tersisa.

Berangkat dari kenyataan itulah, anak-anak didiknya yang tergabung dalam Yayasan Amal TIGASATU bergerak bersama. Sebuah ikhtiar untuk meringankan hidup sang guru dihajat melalui acara bertajuk 'Charity Peduli Guru Purnabakti dan Anak Yatim'. Komaruzzaman ini adalah satu dari empat guru purnabakti yang diberikan donasi oleh alumni SMA Negeri 31 Jakarta Timur.

''Donasi ini kami berikan sebagai bentuk ketulusan dan penghargaan kepada guru-guru kami yang selama hidupnya telah membaktikan diri buat pendidikan,'' kata Maiyus Rizal, ketua Dewan Pembina Yayasan Amal 31.

''Harapan kami, pemberian donasi ini bisa turut meringankan guru-guru kami yang sekarang sedang sakit, termasuk di antaranya Bapak Kamaruzzaman ini,'' lanjutnya.   Oleh M Akbar, ed: Muhammad Hafil

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement