Rabu 04 May 2016 12:00 WIB

Kritik Intervensi Ruang Redaksi dan Perjuangan Upah Layak

Red:

Foto : Antara/Darwin Fatir 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hari Kebebasan Pers Sedunia, Selasa (3/5), ikut dirayakan jurnalis Indonesia di berbagai daerah. Di Surabaya, aksi teatrikal mewarnai peringatan di depan Kebun Binatang Surabaya, Jawa Timur. Mereka tergabung dalam Jurnalis Surabaya untuk Kebebasan (JaSuKe). "Kami ingin menyuarakan kalau bergulirnya era reformasi yang menjadi awal terbukanya keran demokrasi sempat dibarengi kebebasan pers," kata koordinator aksi J Totok Soemarno, Selasa (3/5).

Menurut Totok, reformasi bukan saja membuat media baru bermunculan. Melainkan, juga pemberitaan yang berani dibanding era sebelumnya yang cenderung menjadikan pers sebagai corong kekuasaan. Sayangnya, kebebasan pers saat ini justru terbelenggu oleh kepentingan pemilik modal. "Bukan saja karena pers yang kini menjadi sebuah industri, pers yang menjadi alat kepentingan pemilik/pemodal," kata Totok.

Bersamaan dengan peringatan Hari Kebebasan Pers, kata Totok, para insan media di dunia merayakan kebebasan menjadi isu yang kembali disuarakan. Fungsi pers sebagai alat kontrol, sarana pendidikan, dan sarana hiburan harus benar-benar diwujudkan. "Kebebasan pers baru sebatas slogan semata, belum terwujud nyata, belum sepenuhnya ada."

Di Mataram, Hari Kebebasan Pers dijadikan momentum atas refleksi adanya intervensi elite di Nusa Tenggara Barat (NTB) terhadap media. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram pun mengecam tindakan-tindakan intervensi kepada media massa itu. "Mendesak kepada semua jajaran aparat Pemerintah NTB, pimpinan parpol, ormas, dan pengusaha untuk bersama-sama menghormati kemerdekaan pers dengan tidak mengintervensi ruang redaksi," ujar anggota AJI Mataram, Haris Maktul, Selasa (3/5).

Haris menuturkan, ancaman terhadap media massa yang dilakukan oleh pihak tertentu berdampak pada profesionalisme jurnalis. Kondisi tersebut memberikan efek merugikan bagi untuk publik sebab mereka kehilangan hak informasi yang bermutu. Tidak hanya itu, menurutnya, aparat keamanan juga harus memberikan jaminan keamanan kepada jurnalis yang sedang dalam menjalankan tugas jurnalistik.

Selain kritik atas intervensi pemilik modal dan elite penguasa, upah layak jurnalis juga menjadi isu utama dalam peringatan Hari Kebebasan Pers pada tahun ini. Jika AJI Jakarta pada Ahad (1/5) lalu merilis upah layak jurnalis Jakarta dalam kisaran Rp 7,5 juta per bulan, AJI Yogyakarta menetapkan upah layak jurnalis di Kota Pelajar itu sebesar Rp 5,5 juta per bulan.

Koordinator Divisi Serikat Pekerja AJI Yogyakarta Kresna menerangkan, angka upah layak itu didasarkan survei komponen hidup bagi para jurnalis. Dari angket yang disebar ke jurnalis di sembilan media cetak lokal maupun nasional dan lima media online serta satu media televisi, rata-rata jurnalis di Yogyakarta mendapatkan upah Rp 2,5 juta-Rp 4 juta per bulan. Bahkan, ada jurnalis yang mengaku menerima upah di bawah Rp 2,5 juta dan di bawah Rp 1 juta.

Selain upah layak, perusahaan media juga wajib memberikan jaminan keselamatan kerja, jaminan kesehatan, dan jaminan sosial kepada setiap jurnalis dan keluarganya. Ini termasuk hak-hak jurnalis perempuan, seperti ruang laktasi, cuti haid, dan cuti melahirkan. Untuk memperjuangkan upah layak bagi jurnalis tersebut, AJI Yogyakarta mendorong para jurnalis untuk berserikat. Dari catatan AJI Yogyakarta, media lokal di Yogyakarta baru Harian Jogja saja yang memiliki serikat pekerja.  antara/Muhammad Fauzi Ridwan ed: Andri Saubani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement