Kamis 28 Apr 2016 15:00 WIB

Hak Maternitas Dilanggar

Red:

JAKARTA — Ketua Asosiasi Pekerja Indonesia (Aspek) Mirah Sumirat mengatakan, sebagian besar perusahaan di Indonesia kerap melanggar hak maternitas buruh perempuan. Serikat buruh menilai, hal ini merugikan buruh perempuan yang harus menjaga kesehatan kandungan, memberikan air susu ibu (ASI), dan menjaga kesehatan saat menstruasi.

Berdasarkan pantauan Aspek, buruh perempuan kerap dipersulit saat akan mengajukan cuti datang bulan. "Cuti hamil tidak diberikan, padahal ini adalah haknya buruh perempuan. Ditambah lagi, tidak tersedianya fasilitas menyusui (ruang laktasi)," kata Mirah di Jakarta, Rabu (27/4).

Saat akan mengajukan cuti datang bulan, perusahaan mewajibkan para buruh perempuan untuk menyertakan surat izin sakit dari dokter. Hal itu, katanya, tidak sesuai dengan aturan dalam UU Ketenagakerjaan 13 Tahun 2003. Berdasarkan UU, cuti datang bulan selama dua hari wajib diberikan perusahaan.

Cuti melahirkan wajib diberikan perusahaan 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan. Namun, kenyataannya banyak buruh perempuan yang usia kandungannya mencapai delapan bulan hingga sembilan bulan masih harus bekerja. Akibatnya, mereka rentan mengalami keguguran.

Menurut dia, angka keguguran di kalangan buruh tergolong tinggi. Sebab, buruh perempuan yang hamil tidak mendapat keringanan kerja. Mereka rata-rata tetap bekerja selama delapan jam dengan masa istirahat satu jam setiap harinya.

Pelanggaran hak maternitas ketiga adalah minimnya perusahaan yang menyediakan ruang laktasi bagi buruh perempuan yang masih menyusui bayinya. Akibatnya, program ASI untuk bayi terhambat.

Menurut Mirah, pelanggaran hak maternitas sangat minim mendapat penindakan tegas dari pemerintah. Dia mengungkapkan, hanya ada sedikit sekali perusahaan yang telah dikenai sanksi atas pelanggaran ini. Dia memperkirakan jumlah penindakan tidak mencapai satu persen dari ribuan kasus yang ada.

Mirah pun mengakui, jumlah perusahaan yang mau memberikan hak maternitas kepada buruh perempuan sangat sedikit. "Biasanya perusahaan-perusahaan ini sudah ada sistem manajemen yang bagus dan memiliki serikat pekerja. Sementara, penyebab pelanggaran hak maternitas adalah kurangnya pengawasan dinas terkait terhadap hak buruh perempuan. Salah satu alasannya karena mereka minim tenaga pengawas," kata Mirah menambahkan.

Presiden Konfederasi Serikat Buruh Indonesia Said Iqbal mengatakan, pelanggaran terhadap hak maternitas buruh perempuan di Indonesia sangat tinggi. Lemahnya pengawasan pemerintah menjadi faktor masih banyaknya perusahaan yang tidak mematuhi aturan hak maternitas bagi buruh perempuan.

Menurut said, sekitar 200 ribu buruh perempuan anggota KSPI rata-rata mengalami pelanggaran hak maternitas setiap tahunnya. "Jika dihitung dari anggota kami yang jumlahnya 1,7 juta orang, angka itu terbilang tinggi. Kami perkirakan secara keseluruhan ada 20-25 persen buruh perempuan Indonesia yang mengalami hal serupa," ujar Said kepada Republika di Jakarta, Rabu (26/4).

Para pekerja perempuan itu rata-rata bekerja di industri padat karya, seperti garmen, makanan, minuman, dan perakitan barang elektronik. Pelanggaran utama yang dilakukan perusahaan adalah tidak adanya cuti datang bulan dan cuti hamil bagi buruh perempuan. Padahal, kata Said, UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 menyatakan cuti harus diberikan selama dua hari pertama menstruasi. Sementara, cuti hamil diberikan 1,5 bulan sebelum dan setelah melahirkan.

Ada tiga penyebab utama yang menyebabkan banyaknya pelanggaran hak maternitas buruh perempuan. Pertama, mayoritas perusahaan tidak memiliki serikat pekerja. Karena itu, berbagai pelanggaran terhadap buruh perempuan tidak dapat diadvokasi dengan baik.

Kedua, masih sedikitnya perempuan yang menduduki jabatan di perusahaan. Posisi manajemen menengah hingga atas mayoritas diisi oleh laki-laki. Akibatnya, kebijakan perusahaan tidak sensitif gender. Terakhir, pemerintah tidak menjadikan perlindungan buruh perempuan sebagai isu arus utama.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise menegaskan, hak perempuan dalam dunia kerja harus dilindungi. Yohana mengakui, masih banyak kebijakan perusahaan yang tidak responsif terhadap kesetaraan gender.

Dia menyatakan, kebijakan perusahaan yang tidak sensitif gender harus direvisi. Perempuan perlu mendapat perlindungan dan perlakuan yang setara di dunia kerja. Pihaknya sedang mempelajari aturan di dunia kerja yang mendiskreditkan perempuan. Ke depannya, dipastikan akan ada perubahan peraturan dengan instruksi dari pemerintah.    c36, ed: Erdy Nasrul

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement