Selasa 09 Feb 2016 18:00 WIB

Hari Pers Nasional- Arif Budisusilo, Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia:Ubah Orientasi Pemberitaan

Red:

Persaingan media massa semakin kuat. Perkembangan pemanfaatan teknologi internet menjadikan media online sebagai pemain baru yang potensial menggerus pasar media cetak dan elektronik. Ketiganya berlomba-lomba dalam menyajikan informasi yang menarik dan terpercaya kepada konsumen. Bagaimana perusahaan media cetak menghadapi situasi ini? Berikut wawancara wartawan Republika, Hasanul Rizqa, dengan Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia, Arif Budisusilo.

Ada yang mengatakan media cetak akan kandas dari persaingan. Tanggapan Anda?

Itu terlalu berlebihan. Ini sama saat pertama kali televisi hadir yang dianggap mampu menggusur eksistensi radio di masyarakat. Nyatanya, radio tetap bertahan dengan menentukan sasaran konsumennya di ruang publik. Jadi, masing-masing akan menemukan ceruknya, segmen konsumennya yang memiliki gaya tersendiri dalam mengonsumsi informasi.

Jadi, pasarnya tidak akan hilang atau pergi, begitu?

Sejumlah media cetak nasional memiliki lingkup fokus pembaca yang berbeda-beda. Sebagai contoh, harian Republika menyasar konsumen dari komunitas Muslim, Bisnis Indonesia menyasar kalangan pelaku bisnis. Pesatnya pertumbuhan internet memang mengubah perilaku pembaca, tapi pada akhirnya akan ada penyesuaian platform. Misalnya, koran yang dijual dalam bentuk e-paper. Kompetisinya platform. Basically, saya percaya koran enggak akan mati.

Soal bisnis media online?

Media online sebenarnya belum menemukan model bisnis yang tepat. Itulah yang membedakannya dengan media cetak. Ukurannya bisa dilihat dari cara media mendapatkan sumber pemasukan utamanya, yakni iklan. Iklan itu kan sebenarnya core pendapatan dari sebuah entitas media. Karena, kalau Anda mengandalkan jualan koran saja, pasti enggak dapat meng-cover biaya produksi.

Lebih menguntungkan yang mana?

Sebagai penyedia informasi multiplatform, Bisnis Indonesia juga memiliki lini usaha di online. Ada satu kecenderungan kurang baik dari media online yang sebenarnya kurang menguntungkan pula secara jangka panjang. Demi menghidupi dirinya, sejumlah media online baru terpaksa merelakan ruang (space) di pemberitaannya untuk tautan perantara iklan, semisal Google AdSense. Tautan seperti ini hanya menghasilkan pemasukan yang jauh lebih kecil dibandingkan iklan langsung dari perusahaan-perusahaan.

Saya sering berdiskusi dengan sesama pemimpin redaksi media-media online nasional mengenai AdSense. Ini memang keterlaluan dalam meraup keuntungan dari media online. Karena itu, saya mengusulkan konsensus agar semua media online nasional setop memberikan ruang (space) bagi AdSense. Sehingga, perusahaan-perusahaan besar bisa langsung memasang iklan ke media online sasaran masing-masing tanpa mesti diperantarai AdSense. Nanti, akhirnya Google enggak akan punya tempat untuk meyakinkan para pemasang iklan agar melalui dia. Karena ia (AdSense) enggak punya outlet. Jadi, iklan bisa masuk (langsung ke media online). Model bisnis seperti ini belum terbangun di media digital. Padahal, potensinya amat besar. Google dapat berapa triliun rupiah dari Indonesia?

Lantas, parameternya pun cenderung semata-mata mengandalkan traffic atau jumlah klik pada link media online. Akibatnya, tak sedikit media online yang mengorbankan sisi edukatif, bahkan kepercayaan (trust) konsumen. Inilah yang marak terjadi dalam persaingan media massa di Indonesia tiga tahun terakhir. Misalnya, judul berita online dibuat semenarik mungkin sehingga menggoda untuk diklik. Judul kadang-kadang kabur dengan kontennya. Mengapa? Karena ingin dapat traffic. Begitu dapat traffic tinggi, dapat iklannya tadi (dari AdSense) otomatis naik, meskipun enggak seberapa.

Ini tidak baik?

Ya, karena kredibilitas adalah hal yang paling menentukan nasib media massa. Bisnis media massa adalah bisnis kepercayaan. Bila konsumen sudah tak percaya lagi dengan konten pemberitaan, media massa yang memuatnya bisa dikatakan mengalami senja kala. Saya sudah lihat beberapa media yang sudah mulai kehilangan kepercayaan (dari konsumen). Sementara, kalau kita bicara pendapatan, kita masih mencari model bisnis. Apakah semata-mata dari AdSense, iklan, atau kemudian dari subscriber (konsumen langganan)?

Karena itu, saya yakin akan ada titik keseimbangan baru antara media cetak dan media online. Ada equilibrium baru antara media konvensional (koran) dan digital. Kuncinya tetap di kredibilitas. Media cetak bisa dikatakan andal dalam hal presisi, konteks pemberitaan yang utuh, dan multiperspektif, namun lemah dalam kecepatan.

Sementara, media online unggul dalam hal kecepatan, tetapi kurang dapat diandalkan untuk mencari konteks pemberitaan yang luas. Sebab, sering kali berita-berita online disajikan secara singkat, sambung-menyambung sehingga pembaca sendiri, kalaupun mau, ya harus merangkainya. Kebanyakan media massa nasional memiliki lini usaha, baik di cetak maupun online, agar titik keseimbangan itu tercapai.

Bagaimana dengan hasil usaha Bisnis Indonesia?

Di 2015 lalu, Bisnis Indonesia terbilang cukup sukses, meskipun tahun lalu kondisi ekonomi nasional sedang melesu. Beberapa media ada (mengalami) beberapa tantangan-saya tak mengatakan senja kala. Tapi, kita (Bisnis Indonesia) masih tumbuh. Iklan kita tumbuh. Mulai 2015 juga Bisnis Indonesia menaikkan harga koran. Kenaikan harga langganan per bulan, dari Rp 135 ribu menjadi Rp 200 ribu per bulan. Untuk kawasan Indonesia bagian timur menjadi Rp 250 ribu per bulan. Demikian pula dengan langganan e-paper, Bisnis Indonesia menaikkan harga menjadi Rp 2,7 juta per tahun.

Kenaikan harga ini otomatis membuat pendapatan Bisnis Indonesia naik. Bahkan, koran Bisnis Indonesia kemudian menambah jumlah halaman menjadi 36 halaman sehingga termasuk salah satu koran tertebal di Indonesia.

Walaupun memang kebijakan ini tidak begitu berdampak pada sirkulasi koran Bisnis Indonesia. Jumlah tiras koran stagnan. Pada 2015, koran Bisnis Indonesia terjual 30 ribu eksemplar, readership 150 ribu dengan asumsi satu koran dibaca lima orang.

Harga naik, ada pengaruh terhadap peredaran koran atau tidak?

Peredaran koran tidak turun. Karena 97 persen sirkulasi koran ada pada konsumen langganan. Mayoritas pelanggan kita atau 90 persen bukanlah individu rumah tangga, melainkan korporasi. Konsumen korporasi relatif tidak terlalu peduli pada kenaikan harga koran langganan mereka.

Soal iklan?

Saya tidak bisa memberikan data kapitulasi iklan dalam beberapa tahun terakhir. Perusahaan kami bukanlah perusahaan terbuka. Tapi, ada tren yang menarik di bagian pemasangan iklan pada koran Bisnis Indonesia. Dalam lima tahun terakhir, kami mengubah haluan dominasi sudut pandang (angle) pemberitaan. Dari yang awalnya berorientasi pada kepentingan makro perusahaan-perusahaan (corporate-oriented) menjadi pada kepentingan pembaca sebagai konsumen produk (end users oriented).

Kita juga menjaga agar tidak dianggap sebagai koran partisan. Pemilik korporasi media ini juga tidak berafiliasi dengan kekuatan politik manapun. Koran ini juga tak hadir untuk kepentingan bisnis pemiliknya. Kalau mengkritik sebuah kebijakan pemerintah atau sebuah perilaku perusahaan, kita melakukannya karena kebijakan itu akan membuat Indonesia tidak kompetitif. Karena itu, tagline editorial kita, business friendly, national interest.

Jajaran redaksi terus berupaya mewujudkan semboyan ini sebagai satu strategi memikat iklan. Caranya dengan konsisten melakukan jurnalisme sesuai etika. Satu-satunya kepentingan pemberitaan, yakni agar dunia usaha di Indonesia bisa tumbuh sehat dan kompetitif. Dalam kondisi itulah semua pihak diuntungkan. Karena itu, kita menjaga benar-benar berita kita agar kredibel. Bukan berita yang kemudian ditumpangi. Jadi, di mereka (pemasang iklan) juga enggak ada keraguan.

Sudah terasa perbedaannya?

Sebelum strategi ini dijalankan, porsi pengiklan didominasi perusahaan-perusahaan. Terutama, display khusus, semisal iklan mengenai laporan keuangan atau pelepasan saham perdana (IPO) suatu perusahaan. Sementara, iklan display umum tak sebanding. Hampir 70 persen porsi iklan diperuntukkan bagi iklan display khusus. Nah, karena konten kita ubah itu, dengan consumer behavior-nya, iklan-iklan display umum dari tiga tahun terakhir semakin banyak. Misalnya, (iklan) otomotif. Terus, iklan-iklan yang sifatnya exhibition (pameran) segala macam. Iklan display umum kini lebih dari 50 persen.

Bagaimana kontribusi dari divisi koran untuk perusahaan?

Iklan-iklan dari koran menyumbang sekitar 80 persen dari pemasukan Bisnis Indonesia. Adapun 20 persen sisanya bersumber dari profit hasil penjualan pelbagai platform bisnis, semisal kajian, liputan khusus, dan sebagainya. Sementara, media online Bisnis.com menyumbang sekitar delapan persen. Pemasukan Bisnis.com terus meningkat. Memang menyumbang, tapi belum untung. Dibanding tak ada revenue, lebih baik. Traffic/-nya juga 300 persen, rata-rata tiap tahun naik. Tahun 2015 pernah kita dikunjungi satu hari 1,3 juta. Sekarang rata-ratanya kira-kira 300-400 ribu.

Untuk bisnis koran, ada pertumbuhan kira-kira sembilan persen dibandingkan 2014. Tahun 2014 pendapatan koran memang stagnan. Mungkin karena penuh gonjang-ganjing politik. Pada 2013, koran mengalami pertumbuhan pemasukan lebih baik ketimbang 2012. Jadi, ini kejutan juga. Di tengah kondisi begini, komoditas turun, rupiah gonjang-ganjing segala macam, kita tumbuh. ed: EH Ismail

***

Biografi Singkat:

Nama            : Arif Budisusilo

TTL            : Wonogiri, 26 Mei 1968

Istri            : R Kusumadewi

Anak            : Keisar R Nevananda

Pendidikan        : - S-1 Fakultas Pertanian UNS Solo (lulus 1992)

              - S-2 Manajemen Komunikasi Universitas Trisakti Jakarta

    (lulus 2012)

Karier            : - Wartawan ekonomi pada harian Terbit (1993-1996)

  - Wartawan ekonomi pada Bisnis Indonesia (1996-2003)

  - Redaktur Bisnis Indonesia (2003-2006)

  - Redaktur Pelaksana Bisnis Indonesia (2006)

  - Wakil Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia (2007-2009)

  - Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia (2009-sekarang)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement