Senin 31 Aug 2015 13:00 WIB

Transmigrasi, Mengejar Mimpi Sampai Jauh (Bagian 1 dari 5 tulisan)

Red:

Di kapal itu, wajah-wajah mereka yang lusuh mengisyaratkan pergulatan batin. Mungkin bayangan masa lalu dan harapan masa depan tengah bersengkarut di pikiran mereka. Hari itu, Jumat, 21 Agtustus 2015, mereka hendak diberangkatkan dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Tujuan mereka adalah Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. "Demi pemerataan pembangunan," begitu kata Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Marwan Jafar ketika melepas para transmigran.

Sebanyak 30 keluarga yang diberangkatkan terdiri atas 114 jiwa. Mereka berasal dari Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat. Sejumlah 15 keluarga berasal dari tiga daerah di Jawa Timur, yakni Kabupten Sidoarjo, Kabupaten Ponorogo, serta Kabupaten Bondowoso. Sedangkan, 15 keluarga lainnya berasal dari dua daerah di Jawa Barat, yakni Kabupaten Karawang dan Sumedang.

Ini adalah pemberangkatan perdana gelombang transmigran pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Para transmigran yang berdandan dengan seragam serbaabu-abu itu sekilas mirip murid-murid SMK. Apalagi, ketika mereka berbaris menyambut sang menteri. Wajah-wajah mereka terlihat antusias, seolah tak sabar ingin segera menengok rumah-rumah yang telah didirikan untuk mereka di Poso.

Pergerakan para calon transmigran itu begitu gesit. Berkarung-karung perabot mereka pikul bolak-balik dari dermaga ke atas kapal. Para pendamping yang berasal dari dinas bidang transmigrasi daerah masing-masing tidak kalah sibuknya. "Bapak-ibu sudah mendapat ranjang masing-masing?! Ingat, jangan ditinggalkan. Jaga barang bawan masing-masing!" teriak Imam Koedhori, pendamping dari Disnakertransduk Provinsi Jawa Timur.   

Pukul 15.00 WIB, KM Doro Londa berderit menggulung tali pancangnya. Para transmigran telah berada di salah satu blok di dek empat kapal milik PT Pelni itu. Republika ada di kapal itu, bersiap menyertai empat hari perjalanan para transmigran menuju daerah tujuan di Desa Kancu'u, Kecamatan Pamona Timur, Kabupaten Poso.

Blok kelas ekonomi yang kami tempati berada di bagian belakang kapal. "Dek empat", artinya kami berada di lantai keempat dari total tujuh lantai kapal yang diperuntukan bagi penumpang. Di sana, ranjang-ranjang sempit beralas matras lepek berjejer berimpitan. Suasananya mirip dengan barak militer.

Barak kami yang berlangit-langit rendah itu hanya mendapat cahaya temaram dari beberapa lampu neon di langit-langit. Di sana, ada dua kamar mandi, masing-masing untuk laki-laki dan perempuan. Kapal terus melaju membelah laut. Deru mesin mengiringi kebisingan para transmigran yang masih sibuk mengurus ini-itu. "Untung tadi dilepas Pak Menteri. Kalau enggak? Beeuh, bisa didek tiga atau dek dua," ujar salah seorang pendamping yang enggan disebut namanya.

Keberadaan dapur di samping blok dek empat adalah kejutan tersendiri, khususnya bagi para transmigran yang belum pernah bepergian dengan kapal laut. Setiap pagi, siang, dan petang, ribuan penumpang kapal berbaris mengular di jalur ruangan. Mereka mengantre jatah makan yang dibagikan di mulut dapur.

Setiap datang waktu makan, tak tanggung, gelombang antrean bisa menyita waktu hingga dua jam. Menu yang dibagikan macam-macam, kadang ikan, ayam, atau telur. Selain itu, ada satu menu wajib, yaitu sesiuk mi goreng campur potongan kubis. Penumpang juga kadang mendapatkan tambahan berupa jus buah kemasan, susu kemasan kecil, atau sebungkus mungil biskuit rasa stroberi.

Berangkat pada Jumat (21/8) sore, kami dijadwalkan tiba di Pelabuhan Pantoloan, Palu, pada Ahad (23/8) pagi. Selama itu, penumpang kapal melewati hari-hari yang sama: tidur, bangun, makan, tidur, bangun, makan, dan begitu seterusnya. Kadang untuk mengisi kejenuhan, para transmigran berkumpul dan bercerita ngalor-ngidul.

Kadang-kadang kami juga jalan-jalan keluar ruangan untuk menghirup udara segar. Sebagian dari penumpang juga keluar ruangan untuk menunaikan shalat di mushala. "Kaum Muslimin dan Muslimat, arah kiblat saat ini menghadap ke sisi kanan kapal, serong 15 derajat ke arah kiri," terdengar arahan dari seseorang soal ke mana arah kiblat. Di dalam mushala, shalat biasa digabungkan dan dipersingkat dengan prinsip jamak qashar.

Di ruangan dek empat, transmigran asal Jawa Timur dan Jawa Barat masih dikelompokkan di dua sisi terpisah. Jadi, belum cukup terasa keguyuban di antara dua kelompok itu. Dari mereka, saya menemukan kisah-kisah menarik. Misalnya, tentang Fransisco Albes Korea (49), pria asal Timor Timur yang memilih membela NKRI. Dia bukanlah sembarang warga Timor Timur.

Fransisco adalah cucu seorang raja atau kepala adat di daerah asalnya. Dia pernah berjuang membantu TNI melawan milisi Fretilin di bawah komando Letnan Prabowo Subianto. Dia juga adalah adik kelas dan mengaku mengenal baik Xanana Gusmao, sosok sentral kemerdekaan Timor Leste dan presiden pertama negara itu. Cerita Fransisco menjadi transmigran akan tersaji di bagian dua tulisan ini.  ed: Andri Saubani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement