Selasa 18 Nov 2014 12:15 WIB

Tingkatkan Kesejahteraan di Perbatasan

Red:

JAKARTA - Permasalahan kartu identitas ganda di perbatasan Indonesia dan Malaysia bagaikan buah simalakama. Pemerintah tidak bisa begitu saja melarang warga Indonesia yang juga memiliki kartu identitas Malaysia.

Pengamat hubungan internasional (HI) Universitas Parahyangan Bob Sugeng Hadiwinata mengatakan, warga Indonesia yang juga memiliki kartu identitas Malaysia tidak berkaitan dengan nasionalisme. Itu lebih kepada faktor ekonomi semata dan belum ada faktor politik. Mereka hanya mencari kebutuhan hidup yang ternyata lebih mudah didapatkan di negeri Jiran.

 

"Pemerintah tidak hanya berhenti pada tindakan melarang saja, tapi bagaimana memberikan kesejahteraan untuk mereka. Setidaknya memberikan akses untuk mereka mencari nafkah," kata Bob kepada Republika, Senin (17/11).

Jika merujuk kepada Undang-Undang Nomor 23 tentang kewarganegaraan, warga Indonesia hanya boleh memiliki satu kewarganegaraan. "UU kita kan memang tidak boleh. Tapi, kita tidak bisa begitu saja menindak. Ini layaknya buah simalakama," katanya.

 

Apalagi, lanjut Bob, bentuk perbatasan antara Indonesia dan Malaysia adalah bentuk perbatasan yang terbuka. "Ini tidak terhindarkan lagi karena bentuknya open border. Kita harus bisa memahami mereka, kecuali kita punya market besama yang menjamin mereka, kecuali keadaan kita sedang dalam keadaan perang," katanya.

Untuk menyelesaikan masalah ini, Bob menyarankan Pemerintah Indonesia agar melakukan kerja sama dengan Malaysia terkait warga perbatasan. Menurutnya, lebih baik jika Indonesia membuat kartu khusus yang memperbolehkan warga perbatasan melintasi wilayah Malaysia tanpa harus memiliki kartu identitas Malaysia.

"Harus ada kerja sama, mungkin bisa saja Indonesia membuatkan border pass atau kartu khusus untuk bebas keluar. Ini solusi yang tepat untuk permasalahan ini, jangan sampai masalah ini dikaitkan dengan nasionalme," katanya.

Pengamat politik Lely Arrianie mengatakan, Indonesia harus segera membahas masalah ini dengan Malaysia. "Indonesia harus yakinkan Malaysia tentang kekuatan wilayah yang dimiliki Indonesia terutama di perbatasan," papar pengamat politik Indonesia Lely Arrianie, Senin (17/11), kepada Republika.

Selain itu, menurut alumni Universitas Padjadjaran ini, pemerintah harus melakukan banyak cara agar tidak terjadi pengklaiman kembali, terutama wilayah-wilayah di perbatasan. Sebelum melakukan komunikasi diskusi secara internasional dengan Malaysia, pemerintah pusat dan daerah harus bekerja sama.

Lely mengatakan, setelah itu barulah Indonesia melakukan pertemuan dengan Malaysia. "Diskusikan dan yakinkan Malaysia mengenai hak-hak Indonesia, terutama dalam hal ini nasib desa-desa yang berada di perbatasan," ungkapnya.

Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Marwan Djafar, mengatakan pihaknya  akan melakukan beberapa langkah mencegah soal keinginan warga Indonesia menjadi warga Malaysia. Salah satunya perbaikan di sektor pembangunan desa.

Dia mengatakan akan segera berkoordinasi dengan kementerian terkait untuk melakukan pembangunan di desa-desa terdepan. Menurutnya, bila desa sudah terbangun maka masalah eksodus ini bisa diminimalkan. "Saya inisiatif untuk koordinasi lintas kementerian, semoga bisa lakukan MoU dengan semua kementerian," ujarnya.

Sebelumnya diberitakan, cara yang diduga digunakan Malaysia untuk mengakui wilayah kedaulatan Indonesia tidak hanya mencaplok tanah perbatasan. Namun, dengan cara yang halus, seperi memberikan KTP Malaysia kepada warga Indonesia. "Pemberian identitas ini merupakan modus yang harus disikapi dan perlu diawasi," kata Marwan Jafar, Ahad (16/11).

Setelah memberikan identitas kependudukan sebagai warga negaranya, ia melanjutkan,   maka lambat laun Malaysia akan mengklaim desa perbatasan itu sebagai wilayah negaranya. Ini bisa saja terjadi karena Malaysia menganggap mendapat dukungan dari masyarakat setempat.

Informasi yang diterimanya, kata Marwan, memang bukan terjadinya pencaplokan wilayah. Tetapi, ada pemberian identitas kenegaraan oleh Malaysia kepada sebagian warga desa perbatasan itu. Dengan begitu, warga setempat mempunyai dua identitas, yakni Indonesia dan Malaysia

***

Panas Dingin Perbatasan

*Sipadan-Ligitan

Pada 2002 Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia dalam sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan dengan Indonesia.

*Camar Bulan

Pada 2011 1.440 hektare tanah di titik tapal batas Camar Bulan di Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, diduga masuk ke wilayah Sarawak, Malaysia

*Patok hilang

Pada 2012 Kodam Mulawarman, Kalimantan Timur, menyatakan 74  patok perbatasan hilang. Ini diduga akibat perusahaan sawit Malaysia membangun jalan di wilayah tersebut.

*Tanjung Datu

Pada Mei 2014 Malaysia membangun mercusuar di Tanjung Datu, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Malaysia menghentikannya setelah diprotes TNI dan Pemerintah Indonesia.

*10 Desa Pindah

Pada Oktober 2014 penduduk 10 desa di Kecamatan Long Apari, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, dikabarkan pindah kewarganegaraan menjadi warga Malaysia.

*KTP Malaysia

Pada November 2014 Pemerintah Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, menyebut 400-an penduduk di wilayah itu memiliki KTP Malaysia.

Sumber: Pusat Data Republika

.n c75/c82 ed: muhammad hafil

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement