Senin 27 Oct 2014 14:00 WIB

Suksesi Indonesia di Mata Media Arab

Red:

Suksesi yang baru berlangsung di negeri kita ternyata mendapatkan perhatian luas berbagai media Arab: al-Akhbar (Mesir), al-Madina (Saudi), al-Balad (Lebanon), al-Yaoum (Saudi), al-Dustur (Mesir), al-Arabi (Uni Emirat Arab), al-Ahad (Bahrain), Aljazirah (Qatar), Kuna (kantor berita Kuwait), dan Mena (kantor berita Mesir). Mereka pada umumnya memuji pergantian kekuasaan dari Susilo Bambang Yudhoyono ke Joko Widodo yang berjalan aman, lancar, dan penuh kegembiraan.

Bahkan kolumnis tetap di media Al Sharq Al Awsat, Husein Syabasyki, menyebutkan, "Indonesia merupakan cerita menggembirakan dari dunia Islam." Al Sharq Al Awsat merupakan media internasional berbahasa Arab yang bermarkas di London. Di antara produknya berupa koran yang dicetak di hampir semua negara Arab.

Menurut Syabasyki, Indonesia merupakan negara Islam (berpenduduk Muslim) terbesar di dunia. Ia juga negara terbesar keempat dalam hal jumlah penduduk, setelah Cina, India, dan Amerika Serikat (AS). Jumlah penduduknya sekitar 253 juta jiwa. Mereka tinggal di pulau besar maupun kecil yang berjumlah 13 ribu. Mereka bersuku-suku dan bermacam budaya.

Juga terdapat 719 bahasa, di antaranya 706 bahasa masih hidup dan lainnya mulai punah. Mereka disatukan dalam bahasa Indonesia. Sejumlah 87 persen penduduknya beragama Islam. Namun, negara mengakui dan melindungi pemeluk agama-agama lain, seperti Kristen (Katolik dan Protestan), Hindu, Buddha, dan Konghucu.

Semua pemeluk agama yang berbeda bisa hidup rukun dan damai. Antara lain, sebut Syabasyki, karena umat Islam yang mayoritas menganut paham moderat dan toleran beragama. Secara umum, lanjut Syabasyki, masyarakat Indonesia tidak mengenal paham radikal dan fanatisme berlebihan seperti banyak terjadi di sejumlah negara Arab.

"Beberapa peristiwa bom yang pernah terjadi merupakan perbuatan menyimpang dan bukan watak asli bangsa Indonesia. Perbuatan menyimpang yang belakangan terbukti pengaruh dari luar (asing)," tulis Syabasyki.

Dengan data-data di atas—beda suku, budaya, etnis, agama, jumlah penduduk, dan tempat tinggal yang berpulau-pulau—Syabasyki mengatakan Indonesia sebenarnya merupakan negara yang sangat pelik. "Sangat pelik" yang dimaksud tentu—meskipun Syabasyki tak menjelaskannya—kalau dibandingkan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim lainnya. Apalagi bila dijejerkan dengan negara-negara Arab.

Sebut misalnya negara-negara Teluk, hampir semua penduduknya beragama Islam, bersuku Arab, dan berbahasa Arab. Sedangkan, negara Arab lainnya juga tak sepelik Indonesia dalam hal suku, etnis, golongan, agama, geografi, dan sebagainya. Irak, misalnya, hanya ada dua suku bangsa, yaitu Arab dan Kurdi. Mereka menganut paham Syiah (mayoritas), Suni, dan agama Kristen.

Hal yang sama juga terdapat di Suriah. Namun, kebalikan di Irak, mayoritas warga di Suriah menganut Suni, lainnya adalah Syiah dan Kristen plus Yahudi. Begitu pula di Mesir, Tunisia, Aljazair, Maroko, dan lainnya. Komposisi penganut agamanya hampir sama. Yang agak beda barangkali Lebanon. Dari sisi pemeluk agama, Lebanon bisa jadi mirip Indonesia. Di sana ada Kristen Maronit, Ortodoks, Katolik, Druze, Suni, dan Syiah.

Namun, boleh dikata suksesi di hampir semua negara-negara Arab—kecuali negara-negara monarki seperti negara-negara Teluk plus Yordania dan Maroko—berjalan tidak normal. Bahkan, di sejumlah negara seperti Libya, Yaman, Irak, dan Suriah kini terancam perpecahan di antara mereka sendiri. Perebutan kekuasaan berlangsung sangat keras dan berdarah-darah. Penyebabnya, antara lain, munculnya kelompok-kelompok garis keras yang ingin merebut kekuasaan.

Ketika sejumlah negara Islam (berpenduduk mayoritas Muslim) sedang mengalami instabilitas, baik dalam politik, keamanan, maupun sosial, Indonesia justru berhasil melewati pergantian pemimpin nasional dengan mulus. Bahkan, kantor berita Kuwait, Kuna, yang membuat laporan panjang mengenai kontestasi antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto yang berlangsung sangat keras menyebutkan, begitu Mahkamah Konstitusi RI memutuskan pemenangnya, semua pihak bisa menerima dengan legawa. Hal ini, tulis Kuna, jelas menunjukkan kedewasaan para pemimpin Indonesia dalam berbangsa dan bernegara.

Menurut Syabasyki, keberhasilan suksesi Indonesia bisa menjadi contoh bahwa negara Islam (berpenduduk mayoritas Muslim) bisa menerapkan demokrasi. "Indonesia telah membuktikan kepada dunia bahwa demokrasi, toleransi, hidup rukun, ekonomi pasar, dan ide-ide serta sistem modern bisa diterapkan di negara Islam," tulisnya.

Kuncinya, lanjut Syabasyki, masing-masing lembaga memerankan fungsinya dengan baik tanpa harus ada campur tangan pihak lain, baik lembaga kemiliteran, pengadilan, lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Bila terjadi persoalan di antara lembaga-lembaga tadi, ada lembaga lain yang menangani dan kemudian pihak-pihak yang bermasalah dapat menerimanya.

Tantangan Indonesia kini, terutama pemerintahan Presiden Jokowi, menurut Syabasyki, adalah bagaimana mengurangi angka kemiskinan. Di Indonesia sekarang ada 65 juta jiwa yang hidup di bawah garis kemiskinan. Angka itu menurun sepanjang 1999 hingga 2012, dari 24 persen menjadi 12 persen dari jumlah penduduk Indonesia.

Penurunan angka kemiskinan ini tidak lepas dari keberhasilan pemerintah Presiden SBY yang menjaga angka pertumbuhan di sekitar enam persen. Syabasyki optimistis Presiden Jokowi dengan keberhasilannya sebagai wali kota Solo dan gubernur Jakarta akan bisa menaikkan angka pertumbuhan di sekitar tujuh persen sesuai janji kampanyenya.

Dengan data-data seperti itu tak aneh bila Indonesia menjadi daya tarik investor negara-negara besar seperti Australia, Cina, India, AS, Brasil, dan lainnya. Mereka berlomba-lomba menanamkan investasi di Indonesia. Apalagi, Indonesia mempunyai bank sentral yang kuat dan nilai tukar rupiah yang stabil.

"Dunia kini sedang melihat dengan penuh respek keberhasilan negara Islam terbesar di dunia. Indonesia jelas merupakan cerita menggembirakan dari dunia Islam setelah kita lelah menyaksikan cerita-cerita menyedihkan (dari sejumlah negara Islam dan Arab)," demikian Syabasyki menutup tulisannya yang berjudul "Indonesiya, qissoh mufrihah min al-‘alami al-Islami".

Sayangnya, ini kata saya, peluang investasi yang baik di Indonesia ini belum ditangkap investor dari negara-negara Teluk kaya raya. Kesamaan agama dan budaya semestinya bisa dimanfaatkan oleh investor Arab. Apalagi, negara-negara Islam telah lama membentuk sebuah lembaga yang bernama Organisasi Kerja Sama Islam yang dulu bernama Organisasi Konferensi Islam (OKI). Perubahan nama itu antara lain karena organisasi yang beranggotakan 57 negara Islam tersebut akan menitikberatkan pada kerja sama ekonomi. n

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement