Selasa 16 Sep 2014 16:00 WIB

Hindari Cara Kekerasan

Red:
Solidaritas Jurnalis melakukan aksi damai di Bundaran HI, Jakarta, Jumat (5/9).
Solidaritas Jurnalis melakukan aksi damai di Bundaran HI, Jakarta, Jumat (5/9).

JAKARTA -- Pemerintah berhati-hati dalam mencegah dan memerangi jaringan gerakan  ISIS (Islamic State of Iraq and Suriah) di Indonesia. Menggunakan pendekatan militer dianggap riskan dan bisa memunculkan masalah baru.

Menurut Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Djoko Suyanto, Indonesia mesti mewaspadai dampak serangan dengan menggunakan kekuatan militer (hard power kepada ISIS. Karena, hal itu dapat terkait dengan terorisme internasional.

"Dampak penggunaan hard power tidak hanya Suriah, tetapi mungkin bisa berdampak di negara lain khususnya seperti di Indonesia," kata Djoko, Ahad (14/9).

Menurut Djoko, sejak Pemerintah Indonesia mengeluarkan pernyataan yang keras terkait ISIS pada Agustus lalu, ternyata gerakan tersebut di kawasan Timur Tengah tidak mereda. Sebaliknya, gerakan itu semakin meningkat intensitasnya.

Hal itu mengakibatkan sejumlah negara Barat mencetuskan melakukan pendekatan dengan cara-cara kekerasan. Hal ini seperti dilakukan serangan udara pada lokasi-lokasi yang disinyalir terdapat kegiatan ISIS.

Namun, ujar dia, dampak dari kegiatan serangan udara itu juga berpotensi mengakibatkan munculnya korban di pihak masyarakat sipil yang tidak diinginkan. Menurut Djoko, menggunakan pendekatan kekerasan bisa mengakibatkan kekuatan ISIS diredakan atau malah semakin mengeras dan menimbulkan kekerasan dalam bentuk sentimen-sentimen baru.

"Bisa-bisa gerakan terorisme internasional berkembang sebagai respons pendekatan kekerasan," katanya.

Untuk itu, ia mengemukakan bahwa Indonesia telah melakukan langkah-langkah  yang lebih lembut. Ini telah dilakukan sejumlah elemen masyarakat sebagai tindakan pencegahan.

Namun,  Djoko menegaskan bahwa pemerintah juga harus tegas terhadap jaringan ISIS ini. Jika terdapat pihak-pihak yang melakukan pelanggaran hukum pasti akan menghadapi penegakan hukum yang tegas di Indonesia.

Sebelumnya, Menteri Luar Negeri (Menlu) Marty Natalegawa menyatakan, pemerintah menginginginkan persoalan ISIS dapat diselesaikan secara tuntas dan berjangka panjang. "Cara-cara yang hanya menggunakan upaya kekerasan tidak akan langgeng dan berpotensi menciptakan masalah baru," kata Marty.

Pengamat Teroris Al Chaidar mengatakan, pemerintah harus seimbang dalam mencegah pengaruh ISIS di Indonesia. Yakni, menggunakan cara keras dan lembut. "Kalau terlalu lembut kita tidak bisa lagi mengontrol kekuatan ISIS. Tapi, kalau menggunakan kekerasan ini juga akan dilawan mati-matian oleh mereka seperti di Irak dan Suriah," katanya saat dihubungi Republika, Senin (15/9).

Menurut Al Chaidar, cara-cara lembut bisa dengan pendekatan politik, diplomasi, dan juga memberikan pemahaman tentang bahaya ISIS bagi negara. Sedangkan pendekatan kekerasan bisa dengan melakukan kekuatan militeristik. "Tapi ini harus seimbang, kalau terlalu menggunakan cara militer malah membuat mereka semakin merasa diperangi," katanya.

Al Chaidar juga menyatakan,  isu ISIS dimanfaatkan menjadi alat Polri untuk memancing jaringan teroris yang ada di Indonesia keluar. Karena dengan adanya ISIS ini membuat para teroris bersemangat dan unjuk kekuatan ke permukaan.

"Buktinya kan sudah ada dari mereka yang melakukan aksi dukung-mendukung dan bai'at bergabung dengan mereka," katanya.

Namun, Al Chaidar tetap mengingatkan agar Polri tak sembarangan menangkapi orang-orang yang diduga terkait ISIS. Mesti ada bukti kuat bahwa orang-orang yang ditangkap adalah terkait dengan ISIS dan jaringan teroris.

Polri Kesulitan Memahami Bahasa Empat WNA, Jadi Belum Disimpulkan Maksud dan Tujuannya Datang ke Indonesia

Paspor palsu

Mabes Polri, Senin (15/9),  menyampaikan hasil pemeriksaan sementara empat warga negara asing terduga teroris, yang ditangkap Densus 88 Antiteror  di Sulawesi Tengah, Sabtu (13/9). Mereka diduga masuk ke Indonesia menggunakan paspor palsu.

"Dugaan sementara paspor yang mereka gunakan palsu. Karena mengaku dari Turki, tetapi tidak ada (catatan) keberangkatan dari wilayah tersebut," kata Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Pol Agus Riyanto.

Tim Polda Sulteng dan Densus 88 telah menangkap empat orang asing tersebut di Desa Marantale, Kecamatan Siniu, Kabupaten Parigi Moutong, Sulteng. Dari identitas yang ditemukan sementara, diketahui keempat orang asing itu adalah A Basyit, A Bozoghlan, A Bayram, A Zubaidan, yang awalnya diduga sebagai warga negara Turkistan (sebelumnya Polri menyebut asal Turki).

Menurut Agus, jika betul mereka memang warga Turkistan seperti yang tercantum di paspornya, tetapi keberangkatan keempat orang asing itu dari sana tidak tercatat. Selain itu, menurut Agus, dari hasil pemeriksaan sementara diketahu bahwa keterangan yang diberikan empat warga asing itu sering kali tidak sesuai dengan data pada dokumen yang dibawa.

" Sebagai contoh, satu orang di paspornya berumur 27 tahun, setelah kami tanya secara langsung, ia mengaku berumur 19 tahun," ungkapnya.

Oleh karena itu, kata dia, Kepolisian akan berkoordinasi dengan pihak Imigrasi dan Kedutaan Besar Turkistan untuk memastikan keabsahan dokumen dan paspor yang dibawa oleh keempat warga asing itu.

"Info awal yang kami peroleh dari penerjemah, mereka hanya pernah berada di Turki. Kemungkinan mereka berasal dari salah satu daerah di perbatasan antara Cina dan Mongol, seperti Turkistan. Memang di sana sebagian besar penduduknya Muslim," ujarnya.

Agus mengaku sejauh ini pihaknya menduga keempat warga asing itu berencana menuju ke Poso untuk bergabung dengan kelompok Santoso yang difasilitasi oleh terduga teroris Mochtar yang berada di Poso, yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).

"Jadi, kami juga mendalami tentang keterlibatan mereka dengan jaringan terorisme di Indonesia  sehingga berada di wilayah Tanah Air," katanya.  rep:c62 ed: muhammad hafil

Memburu Jaringan ISIS

*Penangkapan terkat ISIS:

8 Agustus 2014

Densus 88 Polri menangkap dua orang terduga teroris, Kardi dan Guntur, di Ngawi, Jawa Timur. Polisi menyita sepucuk pistol Berreta dan 2 magasin, 21 butir amunisi, dan bendera ISIS. Polri juga menduga keduanya anak buah Santoso, pemimpin kelompok teroris di Poso (Sulawesi Tengah).

9 Agustus 2014

Densus 88 Polri menangkap dua orang terduga teroris bernama Afif Abdul Majid di Kota Bekasi, Jawa Barat. Apip diduga ikut mendeklarasikan dukungan terhadap ISIS bersama Abu Bakar Baasyir.

13 Agustus 2014

-  Polres Cilacap menangkap tujuh orang yang diduga pengikut ISIS. Saat ditangkap, mereka kedapatan membawa atribut ISIS seusai melakukan kunjungan ke penjara Nusakambangan untuk menjenguk para terpidana kasus terorisme. Salah satu yang ditangkap adalah Chep Hernawan, yang disebut-sebut sebagai Presiden ISIS Indonesia

22 Agustus 2014

Polres Depok menangkap Firman, seorang tukang es keliling di rumahnya, Kampung Mampang, Beji, Depok, Jawa Barat. Ia ditangkap lantaran menempelkan bendera ISIS di tembok rumahnya. Namun, Firman dibebaskan dua hari kemudian karena dia tidak terbukti memiliki kaitan dengan ISIS. Ia dianggap hanya iseng memasang bendera ISIS.

13 September 2014

Densus 88 Polri bersama dengan Polda Sulawesi Tengah menangkap empat warga negara Turkistan dan tiga orang WNI terkait dugaan terorisme di Sulawesi Tengah. Polri menduga keempat orang Turki ini berkaitan dengan ISIS yang bertemu dengan jaringan terorisme kelompok Santoso di Poso.

*Tindakan terhadap Teroris 2000-2013

- 850 ditangkap

- 60 orang tewas

- 700-an diperlakukan baik dan diberi pemahaman dengan pendekatan humanis

(Kepala BNPT  Irjen Pol Pur Ansyaad Mbai)

Sumber: Pusat Data Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement