Senin 05 Oct 2015 13:00 WIB

Menelusuri Gang-Gang di Pasar Balad

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,Menelusuri Gang-Gang di Pasar Balad


"Jangan lupa ke Balad kalau ke Jeddah," kata Sekretaris Daerah Kerja (Daker) Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi Muhammad Noer Alya Fitra ketika saya menyatakan hendak berangkat ke Jeddah pada Kamis (1/10).

"Memang kenapa?" tanya saya.

"Loh, kamu ini gimana? Nggak afdal kalau ke Jeddah nggak belanja di Balad," balas pria yang akrab disapa Nafit itu.

Saya berkesempatan ke Pasar Balad pada hari pertama berada di Jeddah. Saat itu, saya bersama rombongan tim Media Center Haji (MCH) Daker Makkah dan Daker Madinah sudah selesai meliput prosesi penimbangan  dan x-ray koper jamaah haji di Madinatul Hujjaj, Jeddah.

Sayangnya, kesempatan hari pertama itu sangat sempit. Kami tiba di Balad sudah nyaris pukul 10 malam. Saya pun hanya melihat satu toko bernama Sultan Murah. Di Pasar Balad memang banyak toko-toko yang menggunakan kata "murah" seperti Sultan Murah, Ali Murah, dan Gani Murah.

Tapi, saya memutuskan tidak berbelanja di toko-toko yang harganya tidak benar-benar murah itu. Penilaian itu berdasarkan perbandingan dengan harga barang yang dijual di lapak-lapak di dekat penginapan di Makkah.

Saya dan teman-teman MCH Daker Makkah berkesempatan kembali ke Pasar Balad beberapa jam sebelum pulang ke Makkah atau pada Jumat (2/10) sore. Tujuan kami cuma satu: membeli parfum.

Waktu tepat pukul 17.00 waktu setempat, ketika mobil yang mengangkut kami tiba di area parkir pusat perbelanjaan Corniche Commercial Center (CCC). Saifullah selaku driver, guide, dan penerjemah mengajak kami ke toko langganannya di Pasar Balad.

Pria asal Madura, Jawa Timur, yang sudah lima tahun bermukim di Arab Saudi itu dengan cepat melangkahkan kaki untuk menyusuri gang-gang di Pasar Balad. Saya berusaha menyamai langkah kakinya yang cepat supaya tidak terlepas dari rombongan.

Saifullah melangkah lurus, lalu berbelok ke kanan, kemudian terus, selanjutnya berbelok ke kiri. Jalan cepat membuat saya terpaksa mengabaikan pemandangan sekitar di Pasar Balad seperti tukang jagung bakar yang terletak di perempatan yang mengarah ke situs sejarah, Gerbang Makkah dan Masjid Al Shaf'i.

Saya tidak sempat mengamati gedung-gedung tua di Pasar Balad. Balad yang berarti "kota" memang merupakan area historis di Jeddah. Banyak gedung atau tempat bersejarah di wilayah yang dibangun sejak abad ke-7 ini.

Saya juga melewatkan berbagai tawaran pedagang toko abaya untuk mampir. "Ayo, Ibu, murah, bagus. Ayo, mampir. Hanya 50 riyal boleh diskon," kata pedagang abaya di Pasar Balad. Tapi, saya hanya sempat melihat sekilas jejeran abaya atau gamis hitam dengan hiasan berwarna keemasan. Ada juga abaya berwarna cokelat muda.

Saya juga mengurungkan rasa penasaran asal aroma yang dibakar oleh pedagang di sebuah gang gelap di Pasar Balad. Saya tidak tahu berapa jauh kami melangkah dari bagian depan Pasar Balad, tapi Saifullah belum menghentikan langkahnya.

Dia berbelok ke kiri ketika saya melihat ada pedagang kentang goreng di tikungan itu. Awalnya, saya tidak berniat membeli kentang goreng itu. "Nanti saja kalau mau pulang baru beli," pikir saya.

Tapi, pikiran bisa dengan cepat berubah. Saya kembali ke arah penjual kentang goreng atau warga lokal menyebutnya batatis ketika melihat tiga rekan MCH hendak membeli panganan itu. Mereka yaitu, Gagah Wijoseno dari Detikcom, Angga Ikranegara dari TVOne, dan Eko Suwantono dari Elshinta.

Angga yang mulai bertanya harga kentang goreng itu kepada pedagang yang sibuk menggoreng sekaligus melayani pembeli lainnya. "Tiga riyal boleh, lima riyal boleh," ujar si pedagang. Kami memutuskan membeli dua porsi kentang goreng seharga tiga riyal.

Tidak sampai lima menit, batatis sudah berpindah ke tangan kami. Dengan sedikit saus tomat dan mayonaise, kami pun menyantap kentang goreng itu. Kami pun melanjutkan berjalan ke toko parfum langganan Saifullah.

Tiba di sana, beberapa teman mulai mencari minyak wangi yang mereka inginkan. Ada yang membeli dua botol, ada yang tiga botol, ada juga yang lima botol. Aktivitas belanja parfum ini bertepatan ketika azan Maghrib berkumandang. Kami kembali menyusuri gang berukuran tiga meter di Pasar Balad untuk mencari mushala.

Seusai shalat, kami hendak kembali ke mobil untuk melanjutkan perjalanan ke Makkah. Tapi, langkah kami terhenti ketika seseorang bertanya, "Angga mana?" Ternyata, Angga sudah mendahului kami makan di Restoran Garuda. "Lapar," ujar dia melalui sambungan telepon.

Saya sempat memisahkan diri dalam perjalanan ke Restoran Garuda yang berada di bagian depan Pasar Balad. Ketika berjalan ke arah Restoran Garuda, gang-gang di Pasar Balad sudah dipenuhi oleh orang dari berbagai negara.

Jamaah haji Indonesia juga terlihat wira-wiri di antara toko-toko di Pasar Balad kendati ada larangan untuk berziarah dan pelesir ke Jeddah. Sampai di Restoran Garuda, saya langsung menikmati satu potong ayam goreng bercita rasa Indonesia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement