Jumat 04 Sep 2015 19:18 WIB

`Jenderal Sudirman' di Masjidil Haram

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH--Pria berjanggut panjang dengan helm berwarna merah menyolek jamaah asal Pakistan yang hendak melewati pagar pembatas antara Bab Hijrah dan Bab Syamiyah di areal King Abdullah, Masjidil Haram, Rabu (2/9). Saat itu, saya dan teman-teman dari Media Center Haji (MCH) sedang menjajal akses dari bangunan baru ke bangunan lama Masjidil Haram.

Dari janggutnya, saya tidak menyangka dia orang Indonesia. Apalagi, dia berbicara bahasa Urdu dengan orang-orang Pakistan itu. Saya mengetahui dia orang Indonesia setelah mengamati wajah Melayunya. Juga, ketika dia menyapa kami. "Nama saya Sudirman. Ingat saja Jenderal Sudirman," kata dia sembari tertawa.

Sudirman yang memiliki kemampuan berbahasa Indonesia, Arab, Inggris, Turki, dan Urdu ini mengaku ditempatkan di Bab Umrah untuk memandu jamaah ke areal mataf. "Ini bukan daerah aman, masih ada pekerjaan," kata dia.

Saya pun penasaran apakah dia ditempatkan di wilayah itu karena kemampuan berbahasanya. Namun, dia menampik itu. Biasanya, Sudirman bekerja di bagian keselamatan pekerja (safety worker). Perusahaan yang bertanggung jawab terhadap perluasan Masjidil Haram mengerahkan ratusan petugas untuk membantu jamaah.

Lalu, pria asal Sukabumi asal Jawa Barat ini bercerita perasaan senang karena jamaah asal Indonesia sudah mulai masuk ke Makkah sejak Ahad, 30 Agustus 2015. "Sebelumnya, saya terus bertanya-tanya, mana ini jamaah Indonesia kok belum masuk. Makanya, saya senang pas Ahad mulai ada jamaah Indonesia," kata dia.

Selama berbicara dengan kami, dia banyak mengembangkan senyum dan memamerkan deretan giginya yang rapi. Dia juga berulang kali mengucapkan syukur dapat bekerja di Masjidil Haram. Mantan pekerja Pertamina di Balongan itu mendapat kesempatan bekerja di Masjidil Haram sekitar 1,5 tahun lalu.

Sudirman mengatakan, tidak ada kebahagian yang dapat disandingkan dengan bekerja di Baitullah. Masjidil Haram memungkinkan dia bekerja sekaligus beribadah. Bahkan, dia dapat melaksanakan ibadah haji tahun lalu. "Masya Allah, ini seperti mimpi jadi kenyataan. Saya sudah 1,5 tahun di sini," kata dia.

Selepas berbincang dengan Sudirman, saya dan teman-teman MCH melangkah masuk ke jalur penghubung bangunan baru dan lama Masjidil Haram. Di jalur penghubung, seseorang berwajah Melayu menyapa kami. "Halo, Indonesia," kata dia.

Sayangnya, saya tidak sempat berbincang panjang dengan dia. Sebab, dia harus segera ke areal pembangunan. Dia hanya sempat menyatakan bahwa kami akan sering bertemu pekerja asal Indonesia di Masjidil Haram. "Banyak sekali, ada dari Lombok, Sumatra, Jawa, Sulawesi. Ada semua," kata dia.

Namun, baru beberapa langkah, saya sudah menjumpai lagi wajah Indonesia. Namanya Asep Yunus (45 tahun). Pria asal Cirebon, Jawa Barat, itu langsung menyapa begitu melihat kami. Seperti halnya Sudirman, Yunus juga banyak menebar senyuman. "Selalu senang bisa bertemu dengan orang Indonesia di sini," ujar dia.

Yunus juga tidak henti-hentinya mengucapkan syukur dapat bekerja di rumah Allah sekaligus membantu jamaah asal Indonesia. Sebelum berangkat ke Makkah satu tahun lalu, dia bekerja sebagai sopir angkutan kota (angkot) di Cirebon. Dia berhenti bekerja sebagai sopir ketika ada tawaran untuk menjadi tenaga kerja di Indonesia (TKI).

Sudirman, Yunus, dan wajah-wajah Indonesia yang tinggal di Makkah juga sangat membantu memberi panduan mengenai kompleks Masjidil Haram yang sangat luas. Jamaah haji asal Indonesia dapat bertanya pada mereka tanpa kendala bahasa.

Keberadaan wajah Indonesia sekaligus membuat saya tenang. Tanah suci yang berjarak ribuan kilometer dari rumah pun serasa menjadi 'Tanah Air'. Apalagi, jamaah Indonesia semakin mudah ditemui di masjid terbesar di dunia itu.

Oleh  Ratna Puspita

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement