JEDDAH — Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI) belum berstandar internasional seperti disyaratkan Joint Commission International (JCI). Sementara, Pemerintah Arab Saudi terkesan seadanya dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada jamaah haji di Kota Jeddah, Makkah, dan Madinah.
Kepala Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI yang juga Kepala Bidang Kesehatan Haji Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Indonesia di Arab Saudi dr Fidiansjah mengatakan hal tersebut kepada Republika di BPHI Daker Jeddah, Arab Saudi, Rabu (29/10).
Ia mengatakan, cepat atau lambat semua pelayanan kesehatan jamaah haji yang dilakukan pemerintah di Arab Saudi harus mengacu pada JCI. JCI adalah badan akreditasi nonprofit yang berpusat di Amerika Serikat (AS) dan bertugas menetapkan dan menilai standar performa para pemberi pelayanan kesehatan.
"Namun, selama ini BPHI di Jeddah, Madinah, dan Makkah belum memenuhi itu. Pemerintah Arab Saudi kurang memberikan perhatian lebih terhadap pelayanan kesehatan jamaah haji bagi negara-negara yang mengirimkan jamaahnya ke Tanah Suci," ujarnya.
Salah satu contoh belum standarnya pelayanan kesehatan jamaah haji Indonesia tampak di klinik kesehatan di Bandara Internasional King Abdul Aziz, Jeddah, atau yang biasa disebut Oktagon. Menurut Fidiansjah, pelayanan kesehatan di Oktagon hanya sekadar 'transit', yakni memberikan pengobatan seperlunya kepada jamaah yang sakit. Begitu juga di BPHI Daker Jeddah, BPHI Daker Madinah, dan BPHI Daker Makkah. "Jamaah haji hanya dilayani secara lewat, BPHI juga demikian belum memenuhi standar JCI," tutur dia.
Meski pihaknya sudah berusaha memberikan pelayanan optimal kepada jamaah haji di tiga BPHI tersebut, pada dasarnya hal itu belum memenuhi persyaratan JCI. Dia mencontohkan pengalaman di BPHI Madinah, Pemerintah Saudi kurang respek terhadap pelayanan jamaah haji yang dilakukan Pemerintah Indonesia ketika memberikan pelayanan pengobatan kepada jamaah di dekat Masjid Nabawi.
Salah satu prasyarat yang dibutuhkan JCI, ujar Fidiansjah, adalah pelayanan terpadu dan terintegrasi dengan area kerja PPIH daker masing-masing, seperti BPHI Daker Jeddah harus satu area atau terintegrasi dengan lokasi kerja petugas PPIH Daker Jeddah. "Satu atap atau satu area sehingga tidak terpisah-pisah," katanya.
Syarat kedua, lokasi yang menjadi kantor integrasi tersebut harus dekat dengan bandara, baik Bandara Jeddah maupun Bandara Internasional Pangeran Mohammad bin Abdul Aziz, Madinah. "Pemilihan tempat yang dekat ke bandara, tujuannya agar evakuasi dan pengiriman obat atau petugas yang menangani jamaah sakit parah berjalan cepat.''
Fidiansjah mengaku pihaknya sudah menyampaikan semua persoalan ini kepada Pemerintah Saudi melalui PPIH Indonesia di Arab Saudi. Harapannya, ke depan, Pemerintah Saudi dan Indonesia berkenan menfasilitasi keberadaan BPHI yang terintegrasi dengan gedung PPIH daker masing-masing, seperti BPHI Daker Jeddah satu gedung atau satu kompleks dengan PPIH Daker Jeddah.
Sementara, hingga Ahad (2/11) pagi WAS, jamaah haji Indonesia yang wafat di Tanah Suci sebanyak 290 orang. Perinciannya, jamaah reguler sebanyak 273 orang dan 17 orang jamaah haji khusus. Pada saat yang sama, sebanyak 41 jamaah haji masih dirawat di Tanah Suci. Petugas jaga BPHI Madinah dr Syukri M Sadik Soamole menuturkan, kebanyakan jamaah haji yang dirawat di BPHI Madinah adalah pindahan dari BPHI Makkah dan sejumlah RS Arab Saudi.
Sejumlah jamaah yang sakit akan dipulangkan ke embarkasi masing-masing hari ini. Sebagian lagi menunggu proses pemulangan yang urusannya cukup kompleks. "Ada yang duduk, ada yang berbaring. Yang berbaring ini menunggu modifikasi kursi dan sebagainya," ujar Ketua PPIH Daker Madinah Nasrullah Djasam. n zaky al hamzah ed: wachidah handasah