Ahad 01 Feb 2015 15:55 WIB

BRANKAS SEJARAH BERNAMA PACITAN

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,Satu-satunya hak milik nasional Republik yang masih tetap utuh, tidak berubah-ubah, meskipun harus menghadapi segala macam soal dan perubahan adalah Angkatan Perang Republik Indonesia (TNI)

Kalimat tersebut menempel di sebuah tembok setinggi 7x12 meter yang berdiri megah menyambut langkah saya di Desa Pakis Baru, Kecamatan Nawangan, Pacitan, Jawa Timur. Kedatangan saya saat itu ke Pakis Baru bermaksud untuk melongok jejak panglima besar yang pernah dimiliki Ibu Pertiwi, Jenderal Sudirman.

Di desa kecil ini, Sudirman yang terkenal dengan kejeniusan taktik perangnya pernah menghabiskan waktu empat bulan untuk menetap sementara. Dalam persinggahannya ini, ia mengatur strategi serangan gerilya melawan Belanda yang saat itu sedang mengakar di Jawa Tengah. Dari bumi Pacitan inilah kesuksesan Indonesia mengusir Belanda untuk kesekian kalinya berhasil.

Itu semua terjadi tepatnya sejak 1 April 1949 sampai 7 Juli 1949. Diketahui, kurun empat bulan tersebut merupakan durasi terlama yang pernah Sudirman dan pasukannya habiskan di suatu daerah ketika bergerilya. "Untuk mengenang kehidupan Pak Sudirman di sini, masyarakat setempat berinisiatif membangun monumen ini untuk mengenang perjuangan beliau memimpin pasukan tentara kita saat itu,"

ujar Wibowo warga Desa Pakis Baru yang saya temui di tengah udara yang membuat tubuh menggigil.

Cerita empat bulan

Sebagian besar wilayah Pacitan bersuhu panas, rupanya hal itu tak berlaku di Pakis Baru. Desa itu berjarak 35 kilometer arah timur pusat Pacitan. Namun, saya menghabiskan waktu satu setengah jam berkendara mencapai desa bersuhu dingin ini.

Setelah melahap jalanan berkelok dan menanjak, akhirnya saya sampai ke kompleks bangunan Monumen Panglima Besar Sudirman berdiri. Monumen yang berdiri di lahan seluas 10,7 hektare ini menyimpan sejuta sejarah perjuangan Sudirman di masa agresi militer Belanda.

Memasuki Pakis Baru, saya mendapati pemukiman khas pedesaan yang padat di beberapa titik, lalu sepi di sudut lainnya.

Setelah melintasi desa, sekira 500 meter saya sampai di gerbang utama monumen.

Secercah kemegahan langsung terlihat ketika memasuki monumen bernuansa hijau itu. Saya mendapatkan perasaan ini karena disambut hamparan rumput luas yang tepat di tengahnya berdiri menjulang patung sang panglima besar.

Namun, sebelum melangkahkan kaki ke tengah dataran rata seluas dua kali lapangan bola itu, saya terlebih dulu melewati 12 pilar cekung setinggi masing-masing 10 meter. Pilar-pilar ini saling berhadapan enam sama lain.

Di belasan pilar tersebut, terdapat relief-relief yang menceritakan seputar kegiatan Sudirman dan pasukannya selama bermarkas di Pakis Baru. Dari sekian relief, ada dua yang menurut saya paling berisikan makna mendalam gambaran suasana gerilya panglima besar dan pasukannya saat itu.

Yakni, pertama relief yang menggambarkan Sudirman berusaha merangkul rakyat Pakis Baru untuk mendukung upaya pasukan Indonesia bergerilya. Ini sesuai dengan prinsip Sudirman yang menilai rakyat merupakan bagian paling penting dari sebuah taktik perang gerilya tentara Indonesia.

Kedua, adalah relief yang menggambarkan perjuangan penuh kucuran peluh sang jenderal muda. Dalam relief berlapis marmer hitam tersebut, Sudirman tampak dipangku oleh seorang prajurit menyusuri sebuah sungai berbatu di tengah pepohonan. Di sisi sungai yang tertutup lebatnya hutan tersebut, ada seruas jalan berkelok yang dilintasi oleh sebuah mobil bergaya Belanda.

Pada relief ini saya benar-benar mendapatkan konsep gambaran gerilya yang sempurna dari Sudirman dan pasukannya.

Betapa meskipun mengidap sakit keras, Sudirman masih kokoh dengan prinsip gerilyanya, bersembunyi menyusuri hutan tanpa diketahui oleh Belanda.

Setelah melalui pilar-pilar yang menyerupai koridor `sambutan' itu, barulah saya menginjakkan kaki di bawah patung jenderal kelahiran Purbalingga, Jawa Tengah, ini. Tapi, untuk berdiri dan melihat patung berwarna kuning gelap itu, saya lebih dulu menaiki tangga yang terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama, deret anak tangga berjumlah 45, kedua delapan, dan terakhir 17. "Ini menggambarkan hari kemerdekaan kita," ujar Wibowo.

Gambaran gerilya

Patung yang berdiri di depan saya saat itu memperlihatkan Sudirman dengan karisma dan kewibawaannya. Sudirman digambarkan berjubah, berblangkon, menenteng keris yang terselip di pinggang kirinya.

Selain ragam ornamen tersebut, Sudirman yang disebut warga Pacitan dengan panggilan Pak Dirman itu juga menenteng sebuah tongkat di tengan kirinya. Ujung bawah tongkatnya menyentuh tanah, menunjukkan Dirman yang sedang tak sehat harus menahan tegak tubuhnya pada sepotong tongkat agar tetap bisa berdiri. Meski demikian, mimik wajahnya membara penuh semangat dengan mata menatap lurus ke depan.

"Pak Dirman kansakit keras, beliau hanya punya satu paru-paru yang sehat saat memimpin pasukan dalam bergerilya, tapi jiwa patritonya tetap berkobar," kata Wibowo yang membuat saya makin terenyuh.

Di sudut lain kompleks monumen ini berdiri pula sebuah rumah tua yang dahulu dijadikan tempat Sudirman beristirahat. Di dalamnya, tersimpan ragam replika penunjang alat gerilya pasukan Pak Dirman. Terdapat pula benda paling `bersejarah' yang selalu ada di setiap langkah Sudirman bergerilya, tandu.

Tandu yang memilki empat sisi kayu untuk membopong Sudirman ke manapun ia pergi ini tergolek di salah satu sisi bangunan.

Tandu beratap dan bertirai ini menjadi saksi bisu mental tangguh seorang Dirman dalam menjalani hari-harinya.

Oleh Gilang Akbar Prambadi ed: Nina Chairani

Asal Mula Nama Pacitan

Wengker Kidul, begitulah nama daerah ini sebelumnya. Lalu, dari mana asal nama Pacitan yang kemudian digunakan? Penjelasannya mengacu banyak versi. Namun, jawaban yang teguh dipegang masyarakat setempat masih berasal dari isi kitab Babad Ing Pacitan. Kitab yang versi aslinya ditulis dalam bahasa Jawa Kuno ini dianggap sebagai peninggalan aksara paling bernilai oleh masyarakat setempat.

Dikisahkan, Pacitan merupakan padanan kata dalam bahasa di Wengker Kidul tempo dulu sebagai camilan. Alasan dijadikannya Pacitan sebagai nama pengganti Wengker Kidul karena saat itu didapati warga setempat tidak dapat merasakan makanan yang mengenyangkan. Mereka hanya memakan makanan ringan yang selalu membuat perut tetap lapar.

Ki Ageng Petung khawatir dengan asupan makanan warga Wengker Kidul yang hanya mengunyah buah-buahan. Meski Wengker Kidul dikitari pantai penuh ikan, warganya tak berani berburu karena adanya larangan pantai selatan.

Ki Ageng lalu mendobrak hal tersebut dan mulai memberikan rakayat Wengker Kidul ragam pengetahuan baru tentang olahan makanan dari hasil berburu. "Agar menjadi cambuk motivasi masyarakatnya tidak kembali ke masa di mana makanan sangat sulit didapat, Wengker Kidul diubah namanya menjadi Pacitan," kata Tohir melalui cucunya.

Kenangan Cinta dari Rakyat

Monumen Sudirman, menurut Kepala Dinas Pariwisata Pacitan Wasi Prayitno, masuk dalam destinasi daya tarik wisata Pacitan. Dibangun pada 33 tahun silam, monumen ini sempat mengalami pemugaran di sejumlah titik pada 2008.

Tak ada satu pun alasan yang paling kuat dari motif pembangunan monumen ini selain rasa cinta rakyat Pacitan kepada Sudirman.

Begitu ungkap Wibowo kepada kami.

Saat datang pada 1 April 1949 ke Pakis Baru, siapa pun saat itu, rakyat Indonesia, khususnya di tanah Jawa sangat kenal akan kebesaran nama Sudirman.

Sekalipun usianya saat mengunjungi Pacitan masih terbilang muda, 33 tahun, sang jenderal disambut dan dijaga sekuat tenaga oleh rakyat Desa Pakis Baru. Dengan penuh penghormatan, mereka tak sungkan menyapa Sudirman dengan sebutan `sepuh' dalam setiap kesempatan.

Wibowo berkisah, monumen ini dibangun atas prakarsa rakyat desa setempat, keturunan pemilik rumah tempat markas Sudirman, keluarga Karsosoemito, mulai melakukan pembangunan pada 1982. Rumah empat kamar yang salah satunya menjadi ruang istirahat Sudirman dibiarkan autentik.

Gaya rumah kayu dengan lantai bertanah liat tetap dipelihara guna mengenang masa kehidupan Sudirman di sana, kala itu. Menurut Wibowo yang juga keturunan Karsosoemito ini, ketika itu rumah milik leluhurnya merupakan basis Sudirman mengatur pergerakan seluruh gerilya di Indonesia.

Melalui kurir, Pak Dirman berkomunikasi dengan seluruh jenderal di Indonesia untuk bergerilya setelah Yogyakarta yang saat itu menjadi ibu kota Indonesia diduduki Belanda.

Pak Dirman teramat dicintai rakyat Pakis Baru. Terlebih, ia wafat tak lama setelah menghabiskan waktu di Pacitan. Tepatnya, setengah tahun kemudian pada 29 Januari.

Wibowo mengatakan, siapa pun anak yang hidup di Pakis Baru mengetahui kebesaran nama Sudirman di saat-saat perang kala itu. Sudirman bersama dua ajudan setianya, Soepardjo Rustam dan Tjokropranolo, kala itu dikenal sebagai orang sakti.

Meski penyakit sistem pernapasan terus menggerus kesehatannya, Dirman masih sangat ramah dan gemar berbaur dengan rakyat. Untuk itulah, kata-kata mutiara sang jenderal yang terucap seperti di awal tulisan ini sangat kekal menetap di sanubari warga Pakis Baru, hingga saat ini.

"Meski di tengah keterbatasan, kami akan terus memelihara monumen ini. Sebagai bukti bahwa Pacitan amat mencintai sang panglima," ujar Wibowo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement