Ahad 14 Sep 2014 14:00 WIB

Pahlawan Dari Kaki Gunung Sembung

Red: operator

Surjan menyatakan tetap akan menjadi pengrajin wayang golek semampu tangannya masih kuat mengukir.

Matanya sudah tak bisa lagi fokus, harus sesekali di usapnya lantaran basah di genangi air. Meski tangannya masih kuat, belum bergetar, tapi usianya sudah menuju senja. Surjan (54 tahun), te ngah beristirahat di bale bambu setelah beberapa bilah kayu albasia diukirnya. Surjan merupakan satu dari sedikit pengrajin wayang golek di Purwakarta.

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:raisan/republika

Pahlawan Dari Kaki Gunung Sembung

Kediamannya di Desa Malang Nengah, Kecamatan Sukatani, Purwakarta. Rumahnya berada di kaki Gunung Sembung, tempat yang saban hari hilir mudik truk pengangkut batu. Daerah yang terbilang berpolusi tinggi, mungkin satu level di bawah polusi dari eksploitasi kapur di Padalarang.

Dari tangannya, lahir berbagai karya untuk tokoh Punakawan, Pandawa, dan beberapa tokoh lainnya dalam lakon Mahabha rata. Wayang golek memang menjadi seni pertunjukan yang populer di Jawa Barat, termasuk Kabupaten Purwakarta. Tak hanya menjadi karya seni yang dipertunjukkan, wayang golek juga menjadi karya rupa yang menarik dipajang sebagai hiasan rumah.

Dari Surjan juga, didapat bahwa keberadaan pengrajin wayang golek di Purwa kar ta mulai terpinggirkan. Menurut dia, ke rajinan wayang golek mulai ditinggalkan pe cintanya seiring kemajuan dan modernisasi zaman. Wayang golek juga jauh dari perhati an pemerintah yang lebih fokus dalam pengembangan kerajinan keramik tanah liat di Plered. Padahal, kisah kejayaan golek Purwakarta telah berlangsung sejak 1970-an.

"Tahun 1970 pengrajin mencapai lebih dari 100 orang," kenangnya. Saat ini, tak le bih dari 15 pengrajin di kampungnya. Semua para pengrajin, katanya, menganggap bisnis pembuatan wayang golek tak lagi menjanjikan.

Kebanyakan dari mereka memilih men jadi tukang angkut batu, sopir truk, hing ga tukang pacul batu di Gunung Sembung.

Hanya karena pengabdian membuat Surjan tetap bertahan. Mewarisi usaha keluarga, ia mengaku tetap akan menjadi pengrajin wayang golek semampu tangannya masih kuat mengukir. Wayang golek akan tetap dibuatnya selagi kedua matanya kuat membuat detail ukiran.

Proses pembuatan yang rumit Surjan mengajak saya menengok `dapur golek' miliknya yang ia tempatkan di bela kang halaman rumah. Sekarung kayu albasia dan lame, masih bersandar di tiang bale.

Setumpuk kayu itu belum ia ukir, masih dijemur untuk menyurutkan air yang mungkin ma sih membasahi batangnya. Jenis kayu la me dan albasia, katanya, merupakan kayu terbaik untuk diukir menjadi tokoh golek. Kayunya ringan, mudah dibentuk atau dipahat.

"Albasia juga berpori-pori kecil, memu dah kan dalam pewarnaan," katanya menambahkan. Albasia juga dikenal dengan nama ka yu pulai, memiliki nama ilmiah alstonia scholaris.

Wayang golek dirancangnya sedemikian rupa dalam berbagai ukuran, baik besar atau pun kecil. Namun, di tangan Surjan, h a sil karyanya cukup golek yang belum diwarnai. Wayang itu disebutnya dengan istilah `putihan'. Surjan mengaku, putihan dijualnya dalam variasi harga antara Rp 200 ribu Rp 400 ribu. Sebuah nilai yang begitu rendah, saat membandingkan jika setelah diwarnai dan dikenakan kostum, wayang go lek nya bisa terjual hingga Rp 1 juta -Rp 3 juta di daerah Purwakarta kota dan Bandung, target pasar Surjan.

"Mau tidak mau cukup sampai putihan, supaya dapur ini bisa terus muteruangnya,"ujarnya. Sebagai sampingan, Surjan membuat beberapa gantungan kunci model wayang dan beberapa hiasan kecil serupa lainnya. Empat hingga lima wayang bisa dibuatnya selama seminggu. Itu pun dibantu dengan beberapa pekerjanya yang ia tempatkan di rumahnya masing-masing.

Kepala Seksi Jasa dan Sarana Dinas Pa riwisata Purwakarta, Rachmat Slamet, jujur mengakui belum ada perhatian khusus terhadap para pengrajin wayang golek di Purwakarta. Menurut dia, grand designmen jadikan Sukatani sebagai kawasan wisata wa yang golek pun, jauh belum terpikirkan."Semoga perhatian selanjutnya akan di berikan," ungkapnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

Goa penginggalan zaman penjajahan Jepang yang di bangun pada 1942 di Kecamatan Kiara Pedes, Kabupaten Purwakarta.

PUSAKA ALAM GUA JEPANG

Tak terasa sudah lebih dari 30 kilometer kendaraan ini melesat dari Purwakarta. Perjalanan ke arah tenggara saya lalui dengan kondisi jalur yang mulus melewati Situ Wanayasa serta alun-alunnya yang bersejarah. Saya memenuhi janji de ngan seorang pria asal Wanayasa, Mang Ade (45 tahun) namanya. Mang Ade seharihari berburu babi hutan. Sesekali berdagang di sekitar Situ Wanayasa.

Mang Ade berniat mengantarkan saya ke sebuah peninggalan bersejarah yang sudah jarang lagi dijamah. Tak jauh dari kediamannya, ditemukan sebuah gua buatan pada 2007. Gua ditemukan tak sengaja saat seseorang sedang mengejar landak hutan.

Masyarakat menamakannya Gua Jepang, seperti yang dikisahkan beberapa orang yang mengaku turut andil dalam pembuatan goa yang dibangun pada 1942.

Mang Ade tak banyak bicara. Ia menunjukkan saya sebuah jalan sempit, kira-kira tiga kilometer dari Situ Wanayasa. Lokasi ini berada di Kampung Pasirmuncang, Desa Pusakamulya, Kecamatan Kiarapedes. Ini mendekati lereng Burangrang.

Melalui jalan rusak berkerikil, tibalah kendaraan kami untuk parkir di sebuah halaman luas di kebun warga. Perjalanan dilanjutkan menyusuri jalan setapak.

Menembus semak belukar, sesekali medan terjal, tanjakan maupun turunan.Setengah jam perjalanan, tibalah kami di mulut gua yang dibuat hanya setinggi satu meter. Gua ini terlihat basah, baik din ding, langit-langit, maupun bagian dasarnya. Dengan kondisi ini, tak mengherankan ketika Mang Ade melarang kami memasuki gua ketika musim hujan.

"Siapa yang bertanggung jawab kalau kita tertimbun di dalam," ujarnya.

Kondisi gua seperti belum rampung.Gua Jepang masih beratapkan dindingdinding dari tanah yang belum dihaluskan.Bagian dasarnya becek dan tidak beratur an. Sesekali, air menetes dari langit-langit.

Air tetesan itu air tanah dari atas gua yang merupakan hutan berbukit.Sejarah dan cerita sesepuh masyarakat setempat, Gua Jepang memang belum selesai. Jepang keburu angkat kaki sebelum menyelesaikan gua persembunyian ini.

Dengan bantuan lampu senter sederhana, terlihat Gua Jepang berbentuk labirin dan memiliki beberapa kamar di dalamnya.

Mang Ade, yang mengaku telah menjejaki semua ruangan dalam gua, menyebut terdapat 13 kamar di dalamnya.

"Sementara, total panjang lorong gua bisa jadi mencapai dua kilometer menembus Wanayasa,"katanya menambahkan.

Ribuan kelelawar tengah beristirahat di dalamnya. Selain suara berisik yang bersa hut-sahutan, bau kotoran juga semerbak di seisi gua yang hanya bertinggikan kurang dari dua meter.

Sejauh ini, Gua Jepang masih dikelola secara swadana oleh masyarakat. Tak ada pungutan biaya, hanya sebatas uang parkir bagi kendaraan para pengunjung.

 

 

 

 

 

 

 

 

Pasar Rebo yang menjadi pasar tertua di Kabupaten Purwakarta.

Menengok Pasar Rebo dan Jumat

Menyoal pembagian dan penempatan masyarakat berdasarkan etnis, hal ini turut pula dilakukan pemerintah kolonial Belanda. Namun begitu, hal ini baru santer dilakukan di era 1900-an saat peningkatan ekonomi Purwakarta meningkat signifikan. Saya menjumpai sebuah pasar di bilangan Simpang, Jalan Kapten Halim, Purwakarta. Pasar ini dikenal dengan nama Pasar Rebo.

Pemerintah kolonial menerapkan aktivitas pasar berdasarkan hari. Sebab, selain Pasar Rebo, masih juga dapat ditemui nama semisal Pasar Senen dan Jumat.

Pasar Rebo identik dengan keberadaan orang-orang Arab. Berdasarkan tutur Abah Sahbarna (78 tahun), sesepuh Purwakarta, Pasar Rebo identik keberadaannya dengan komunitas warga keturunan Arab. Terdapat sebuah kampung, yang hingga saat ini masih dikenal dengan nama Kampung Arab.

"Sejak dulu komunitas Arab memang berdagang. Tapi, tidak seperti kios sekarang ini," ujar Sahbarna. Dikenangnya, orang-orang Arab dulu sebelum 1945 masih berdagang dari satu gang ke gang lain.

Tak hanya di Pasar Rebo, permukiman etnis lain pun masih dapat dijumpai di Pasar Jumat, Jalan Jenderal Sudirman, jalan masuk Purwakarta dari arah Sadang. Mirip seperti perniagaan di Pasar Rebo, namun dengan penghuni yang berasal dari keturunan Tionghoa.

Meski terjadi pemetaan wilayah berdasarkan etnis, Purwakarta tetap didominasi pemukim pribumi. Berdasarkan "Kolonial verslag 1892" dalam bukuSejarah Purwa karta (2008), pemukim Tionghoa di Purwakarta hanya sebanyak 172 orang dan jumlah pemukim Arab di angka 86 orang.Angka itu tercatat saat Purwakarta dimukimi 20 ribu penduduk pribumi.

 

 

 

 

 

 

 

 

Gedung bekas zaman kolonial belanda yang kini menjadi gedung Perbakin Kabupaten Purwakarta.

 

Yang Menarik

-SAWAH LEGA

Purwakarta menjadi sentra beras di wilayah Jawa Barat sejak zaman kolonial.Bahkan, daerah ini memiliki pesawahan yang begitu legendaris dengan sebutan sawah lega. Merupakan areal pesawahan yang membentang luas seluas mata memandang.Salah satu pemandangan hamparan sawah lega ini dapat ditemui di Desa Tegal Munjul hingga Citalang. Bahkan, Purwakarta sendiri memiliki sebuah kecamatan yang bernama Pasawahan.

-TEH WANAYASA

Bukit-bukit hijau di Gunung Burangrang menjadi berkah tersendiri bagi masyarakat di kaki gunungnya. Kaki Gunung Burangrang memiliki komoditas teh terbaik di Purwakarta. Sebagai oleh-oleh, pelancong Purwakarta dapat membeli oleh-oleh daun teh yang diracik tangan-tangan andal para petaninya. Teh yang telah dikemas dalam bungkusan, dapat dibeli di sekitar jalur Wanayasa hingga Puncak Burangrang.

-RUMAH KEDIAMAN

Rumah kediaman peninggalan era kolonial di Purwakarta. Lokasinya berada di depan Situ Buleud, jalan Siliwangi. Tak ada ca tatan khusus tentang sejarah kapan berdi rinya rumah kediaman ini. Kendati demikian, ber dasarkan cerita sesepuh setempat, rumah ini pernah didiami salah satu pejabat Belanda yang juga merupakan petinggi salah satu sekolah tinggi Belanda di Purwakarta.Bangunan ini sekarang difungsikan sebagai Kantor Perbakin Purwakarta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement