Ahad 24 Aug 2014 16:13 WIB

Dahsyatnya Tengkleng Klewer

Red: operator

Catatan sejarah tengkleng telah ada sejak abad ke-19 bahkan mungkin lebih lama lagi.

Saya heran ada keramaian apa orang-orang itu berkerubung tepat di tepian gapura masuk Pasar Klewer, Solo.Oh ternyata mereka yang ber kerumun sedang meng antre makanan. Tapi, kemudian saya kem bali heran, makanan apa yang sedang dikerubuti mereka. Warjo, salah satu pengayuh becak yang tengah beristirahat di becaknya, menyebut mereka yang berkerubung itu tengah membeli teng kleng."Coba saja, Mas," ujarnya ma las-malasan.

Barulah ke mu dian saya tahu warung itu milik Bu Edy, salah satu pedagang yang begitu tersohor dalam me nyajikan tengkleng seantero Solo. Makin dekat saya hampiri, ternyata ada yang aneh dalam warung milik Bu Edy ini. Warung tengklengnya sangat sederhana. Bahkan, bukan warung yang lengkap dengan meja-kursi, atau kipas angin seperti di warung makan lainnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Para penikmat tengkleng hanya disediakan dua buah bangku panjang dengan penutup warung yang dibuat dari terpal.Namun, siapa yang mengira? Toh, nyata nya tempat ini telah berjalan lebih dari 40 tahun mewarnai Pasar Klewer.Setelah memesan seporsi tengkleng, saya amati dalam-dalam bentuknya.

Teng kleng Solo merupakan gulai yang terbuat dari isian tulang belulang dan seluruh isi dari kepala kambing. Gulai kuning yang dibuat tanpa santan, hanya campuran rempah dan bumbu kuning yang membuat aroma dan bau kambing tak begitu kentara.

Warung tengkleng Bu Edy kini dikelola anaknya, Sulistri (35 tahun). Sulistri merupakan generasi keempat dari Bu Edy yang kini sang bunda hanya beristirahat di rumah membantu proses masak.

Sebelumnya, Bu Edy berjualan tengkleng sejak 1971, itu pun mewarisi usaha orang tuanya yang berprofesi sama sejak sebelum kemerdekaan.

Rasa tengkleng yang ditawarkan warung ini begitu akrab di lidah. Bumbu yang gurih dan sedikit pedas itu menjadi santapan pas untuk makan siang. Ya, hanya makan siang. Warung Bu Edy hanya buka dari pukul delapan pagi hingga pukul 13.00 siang. Namun. bisa saja kehabisan jika pengunjung kedapatan sedang ramai-ramainya.

Magnet warung Bu Edy terasa karena konsep tengkleng yang dihidangkan dise suaikan dengan permintaan konsumen.Artinya, pembeli dapat memesan isian apa yang ingin dimakan. Berbagai pilih an ditawarkan seperti tulang iga, kaki, mata, kuping, lidah, pipi, sumsum, dan otak.

"Sehari bisa menghabiskan 50 kepala, 80 kaki, dan 30 kg jeroan kambing," ujar Su listri, sang ahli waris usaha. Menurut dia, jumlah itu setara dengan 700 porsi saji.

Simbol rakyat jelata

Saya menelusuri jejak sejarah bagaimana tengkleng bisa ada sebagai warisan kuliner Jawa Tengah, termasuk Solo di dalamnya. Berdasarkan catatan sejarah, tengkleng sebenarnya telah ada sejak abad ke-19, atau mungkin lebih lama dari itu.

Konon tengkleng merupakan makan an rakyat kecil yang tak ingin kalah saing menikmati hidangan mahal hewan potong seperti kambing dan sapi. Maklum, makanan itu dulu hanya milik kaum bangsawan, pejabat Belanda atau priyayi di istana.

Hanya saja, mereka hanya mampu membeli bagian tulang atau jeroan yang memang bukan selera para bangsawan.Dengan menggunakan bumbu-bumbu yang tepat, jadilah tengkleng tetap menjadi sesuatu yang dinikmati mereka.

"Justru kenikmatan itu ada saat kita berjuang menggerogoti sum-sum tulang atau menggigit habis daging-daging yang terselip," ujar Hartono, pemuda Solo di warung Bu Edy yang mengaku tak pernah bosan menikmati tengkleng.Bagaimanapun juga, tengkleng hari ini sudah naik kelas. Seporsinya saja, bisa dijual hingga Rp 20 ribuRp 30 ribu.

OH, TIMLO SOLO

Satu kuliner yang membuat saya bersumpah sebelumnya, tak akan pulang dari Solo sebelum mencicip timlo. Akhirnya mimpi itu tercapai setelah seorang kawan semasa kuliah merekomendasikan satu tempat kuliner timlo yang cukup terkenal di kota bengawan.

Timlo merupakan masakan khas Jawa Tengah, namun berkembang subur di Kota Solo.

Kuliner ini dapat ditemui di Jalan Ahmad Yani dengan warung bernama Timlo Solo. Usaha Timlo Solo ini dikelola Tejo Suryono, pengusaha yang telah malang melintang dalam dunia pertimloan sejak 1966.

Timlo merupakan makanan serupa soto namun dengan komposisi yang banyak berbeda dengan saudaranya. Timlo berbahan dasar kuah kaldu ayam, bening, dengan isian soun, sosis goreng, suwiran ayam, dan taburan barambang, istilah bawang merah di Kota Solo.

Soal rasa, pantas dicoba karena tak kalah saing dengan kegurihan dan kesegaran soto."Bumbu timlo sangat sederhana, kaldu ayam dipadukan dengan bawang putih dan merah, pala, lada, dan garam," ujar Menik, pemilik usaha Timlo Solo.

Usaha timlo yang dibuat Menik bersama sang suami justru bukan dari Solo. Pada 1966, usaha ini sempat dirintis di kampung halaman, Wonogiri. Namun, saat Kota Wonogiri diterjang banjir besar pada 1979, mereka sekeluarga pindah dan kemudian kembali membangun usaha yang sama di Solo.

"Kita mulai dari kedai kecil, hingga kini punya warung tetap dan bisa membuka warung serupa di Ungaran, Semarang," ujar Menik menambahkan.Timlo spesial disajikan Menik. Timlo yang dibuatnya menggunakan ayam kampung.

Menurutnya, itu sudah menjadi syarat wajib yang diberikan orang tua. Satu mangkuk timlo sudah cukup menuntaskan rasa lapar. Terlebih, bagi para penikmat yang melengkapinya dengan sepiring nasi. Rasa pedas timlo bisa terus ditingkatkan hingga level maksimal. "Cabainya kita buat terpisah," ujarnya.

Oleh-Oleh dari Solo

INTIP GORENG

Dalam bahasa Jawa, intip berarti kerak nasi. Di Solo, intip kemudian diolah menjadi makanan khas. Intip goreng dapat ditemui di banyak toko oleh-oleh Solo, termasuk di Pasar Gede dan Klewer. Intip goreng, atau kerak nasi, dihasilkan dari sisa tanakan nasi yang dimasak secara tradisional menggunakan kendil, semacam panci tebal yang terbuat dari aluminium. Kerak nasi yang menempel kemudian dilepas dan di jemur sampai kering. Barulah digoreng. Namun, intip goreng yang dijual sebagai oleh-oleh kini dibuat secara khusus.

SERABI NOTOSUMAN

Perintis serabi modern, namun dengan kekayaan sejarah yang pantas dilestarikan. Serabi pertama kali lahir di derah Notosuman sejak 1923. Hingga jalan tempat berdirinya lokasi telah berganti nama menjadi Jalan Mohammad Yamin, masyarakat tetap menyebutnya dengan serabi Notosuman.

AMPYANG

Jajanan tradisional khas Jawa yang terbuat dari kacang tanah dan diberi gula jawa. Rasa ampyang yang manis, menjadikan jajanan ini menu favorit di berbagai kalangan dan usia.

SATE BUNTEL

Sate yang terbuat dari daging kambing, namun digiling halus dan kemudian dibuat menjadi bulat, atau dalam istilah setempat disebut dibuntel-buntelkemudian direkatkan kembali dengan kulit ari kambing. Sate buntel merupakan cerminan dari kreasi kuliner Kota Solo yang tak pernah berhenti berinovasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement