Ahad 24 Aug 2014 15:50 WIB

Solo Sejak Hulu Waktu

Red: operator

Penjelajahan Kota Solo sejak awalnya dimulai dari Krapyak, 15 km di sebelah barat Kota Solo yang sekarang.

Gati (60 tahun) tampak lelah. Pria tua itu berjalan kuyu di sebuah lorong panjang. Keringat di da hinya sesekali diseka dengan sapu tangan cokelat.

Sudah seharian ia bekerja, sedikit istirahatnya. Tapi, begitulah sosok pria tua itu. Meski usianya sudah senja, pengabdiannya untuk istana tak pernah surut. Letihnya terbayar saat ucapan terima kasih terlantun dari tamu yang datang.

Keringatnya menguap ketika beberapa lembar rupiah dari pengunjung, mengisi kantongnya yang kosong. Alhamdulillah, cukup untuk makan anak dan istrinya.

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto-foto:Suherdi Riki

 

Gati merupakan petugas peme lihara, merangkap jaga dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadi ningrat, Solo, Jawa Tengah. Abdi dalem, istilah yang populer dalam lingkungan istana. Menurut Gati, ada 600 orang abdi dalem yang berada di lingkungan istana. Selain menjaga dan memelihara lingkungan, abdi dalem juga menjadi pemandu wisatawan yang datang untuk mengetahui seluk-beluk istana Kasunanan Surakarta. Multitasking pekerjaannya.

"Kekayaan sejarah Kota Solo tak hanya berada di dalam istana, tengoklah keluar," ujarnya setelah menemani saya berkeliling di da lam ruangan keraton. Menurut dia, keberadaan istana hanya sebagian kecil dari warisan Solo. Di luar, ada peninggalan yang tak kalah banyak dalam perlintasan zaman antara kuasa raja-raja Jawa dan peninggalan kolonialisme Belanda.Istana hanya ruang tersendiri da lam satu dimensi, yakni sejarah si sa peninggalan cucu kerajaan Mataram Islam.

Kota Solo sejatinya punya penggalan drama sejarah yang ba nyak. Mulai dari keberadaan Kera ton Kartasura tempat ia berawal, perpecahan keraton antara Sura karta dan Yogyakarta, perpecahan Solo antara Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran, hingga keberadaan Belanda yang menggerogoti kedaulatan raja-raja Jawa.Pengalaman yang akan sangat spesial jika saya mampu merang kainya dalam satu bingkai cerita.

Bermula di Kartasura Saya menghubungi Muhamad Aprianto, mahasiswa jurusan sejarah Universitas Negeri Solo (UNS). Pria yang akrab disapa Apri itu kemudian mengajak saya dengan seksama melakukan perjalanan Kota Solo dari hulu sejarahnya. "Yuk, kita ke Kartasura terlebih dahulu," ujarnya.

Kartasura berada di Krapyak, Kabupaten Sukoharjo, 15 kilometer di barat Kota Solo. Di sana terdapat peninggalan benteng yang kini hanya sisa fondasi dindingnya.

Kartasura, ujar Apri, merupakan benteng bersejarah, tempat la hirnya tokoh-tokoh pemimpin Keraton Kasunanan Surakarta, Ka sultanan Yogyakarta, dan Keraton Mangkunegaran. Dari benteng ini pula Kota Solo lahir, saat Raden Mas Prabasuyasa atau Pakubuwono II, penguasa terakhir Kartasura membangun dan menjadi raja pertama Kasunanan Surakarta.

Luas benteng berada dalam dua hektare areal yang kini menjadi permukiman dan pemakaman. Mes ki hanya sisa-sisa benteng, namun tak dapat dimungkiri dari sinilah kemudian pusat-pusat kerajaan Jawa Islam bermula. Keberadaan benteng bertahan cukup lama, terhitung dalam rentang 1680?1742. "Selain Pakubuwono, di benteng ini lahir Raden Mas Sujana, Hamengku Buwono I (raja pertama Kasultanan Yogyakarta--Red), di sini pula lahir Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa pada 1725 (Mang kunegara I--Red)," ujar Apri.

Pada 1740 Keraton Kartasura luluh lantak akibat pemberon takan etnis Tionghoa yang dikenal dengan geger pecinan. Sang raja, Pakubuwono II, mengamankan diri ke Ponorogo, Jawa Timur. Saat kon disi aman, pada 1742 sang raja kembali. Namun, kondisi hancur nya keraton membuat Pakubuwono II memindahkan istananya ke Solo, tempat yang akan kami jelajahi kemudian.

Mengenal Pura Mangkunegaran

Kota Solo tak hanya milik Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Ada peran lain yang turut andil dalam pembangunan Kota Solo jika ditilik dari peran raja-raja Jawa. Ada lah kekuasaan Mangkunegaran yang juga turut membangun satuan politik di Kota Solo.

 

 

 

 

 

 

 

 

Seperti banyak dalam buku sejarah, keberadaan Keraton Mangkunegaran lahir pada 17 Maret 1757 di Salatiga sebagai solusi atas perlawanan yang dilakukan Raden Mas Said terhadap Sunan Pakubuwana III, penguasa Ka sunanan Surakarta Hadiningrat yang telah ter pecah akibat Perjanjian Giyanti, dua tahun sebelumnya.

Berdasarkan Perjanjian Salatiga, Raden Mas Said diberi hak untuk menguasai wilayah timur dan selatan Mataram. Jumlah wilayah ini, ke mudian mengerucut pada satu pembagian wi layah yang berarti 49 persen wilayah Kasunanan Surakarta menjadi wilayah Mangkunegaran.

Sejarawan Solo, Heri Priyatmoko, menye der hanakannya dalam konteks Solo kekinian.Menurut dia, pembagian antara Kasunanan dan Mangkunegaran terbagi dalam poros SelatanUtara. Kasunanan memiliki wilayah kekuasaan di selatan, sedangkan Mangkunegaran berada di utara. "Pembagiannya jelas. Dibelah jalan utama Slamet Riyadi," ujarnya.

Heri Priyatmoko menambahkan, ada dua karakter berbeda yang dimiliki dua kerajaan ter sebut. Jika Kasunanan mengembangkan ke kuasaan dengan berorientasi pada keagungan raja Jawa, Mangkunegaran mengembangkan wilayah dengan orientasi berbeda, yakni eko nomi sebagai panglima. Hal ini membuat pembangunan begitu terlihat masif di wilayah utara.

"Mangkunegaran lebih sedikit liberal, terbuka kepada Belanda. Berbeda dengan Kasunanan yang lebih sarat nilai tradisi dan religi," ujarnya menambahkan.

Dengan demikian, tambahnya, tak mengherankan jika tata letak permukiman di kawasan Mangkunegaran lebih bercorak tata kota Eropa dan lebih disesuaikan bagi kepentingan militer, baik internal keraton maupun militer Belanda.

Tak hanya itu, kehidupan utara Solo berjalan heterogen. Pemukim beragama kristen lebih banyak ditemui di sisi utara Kota Solo.

Menduga Asal Mula Kota Solo

Apri mengajak kami kembali menuju Kota Solo. Meniti jalan kelas dua, Jalan Slamet Riyadi, tak ada sesuatu yang spesial rasanya. Kanan kiri jalan berdiri ruko-ruko yang menjual berbagai kebutuhan rumah tangga. Sesekali, ada pabrik tekstil skala kecil atau pun besar. Solo mendongkrak ekonomi sebagai penghasil batik kelas wahid.

 

 

 

 

 

 

 

 

Perjalanan terasa spesial saat Apri berkisah. Dari jalan yang kami lalui ini lah ada perjalanan sarat sejarah. Dari jalan ini, bedol negara mewarnai hari pertama Keraton Solo. Dalam Babad Tanah Jawa, pada Rabu Pahing 17 Muharam 1670 (1745 M), keluarga Ke raton Kartasura berpindah ke Keraton Surakarta. Seluruh harta benda kerajaan diboyong, begitu juga pusaka-pu saka istana.

Dikisahkan, boyongan dikawal 200 pasukan berkuda, pun dengan Susuhunan Pakubuwono II yang dikawal lima batalion prajuritnya.Perjalanan konon berlangsung selama empat jam tanpa henti ke arah timur. Berangkat pukul delapan pagi sampai pukul 12 siang. Perjalanan tak hanya melibatkan keluarga keraton, tapi juga penduduk dari berbagai kelas.

Seperti petani, tukang kayu dan bangunan, pengukir, pengga li emas, hingga nelayan. Dulu jalan kaki hingga empat jam. Kini, Kartasura-Surakarta dapat di tem puh hanya sepuluh menit ber ken dara. Maklum, jalan Solo telah mulus untuk kendaraan roda dua dan empat.

Kami kembali ke Keraton Kasu nan an Surakarta Hadiningrat saat saya pertama kali bertemu Gati, sang abdi dalem. Menelusuri keberadaan nama Kota Solo, kata Apri, tidak terlepas dari keberadaan keraton yang tak jauh dari Sungai Bengawan Solo tersebut.

Sebuah pohon besar tinggi menjulang berada di halaman kompleks keraton yang disebut Sitihinggil. Siti hinggil merupakan kompleks di utara keraton yang dibangun di atas tanah yang lebih tinggi. Di kompleks ini juga terdapat meriam yang diberi nama Kiai Pancawura atau Kiai Sapu Jagat. Meriam ini dibuat pada masa Sultan Agung.

Perhatian saya tak bisa lepas dari pohon besar itu. Pohon sala yang dikenal sebagai sumber paling relevan tentang asal penamaan Kota Solo. Konon, saat Pakubuwono II menitahkan Adipati Pringgalaya dan Adipati Sindureja untuk mencari lokasi baru untuk kera ton, kawasan ini masih ditutup rawa dan semak belukar pohon sala.

Pohon sala di dalam keraton satusatunya yang tersisa. Kata Kota Sala kemudian menjadi Kota Solo, buah panjang dari pelafalan orang-orang Belanda yang mengucap "Sala" menjadi "Solo".

Turut Mewarnai Kota Solo

PASAR KLEWER

Dikenal dengan nama Pasar Slompretan sejak abad ke-18.Lokasinya tak jauh dari istana Kasunanan. Slompretan diambil dari bunyian klakson (selompret)dari kereta kuda tamu keraton yang datang. Nama klewer muncul pada 1970-an. Pasar jual beli kain, dengan ciri para penjualnya menye lem pang kan kain di bahu, nge le wer-lewer, sebutan untuk kainnya yang menjuntai.

MAKAM KI GEDE SALA

Jauh sebelum Keraton Surakarta Hadiningrat, Desa Sala merupakan rawa-rawa dan sedikit permukiman. Ki Gede Sala disebut sebagai tokoh lokal.Makamnya berada di Desa Kauman di belakang Masjid Agung Surakarta. Pada hari-hari tertentu, makam ini diziarahi pejabat daerah setempat.

TAMAN BALEKAMBANG

Dibangun oleh Mangkunegaran VII pada 1921. Taman ini dikenal sebagai Partini Tuin dan Partinah Bosch, sebuah nama untuk kado putri tercinta yang bernama Partini dan Partinah.Konsep taman terbuka menjadi ciri khas kota Mangkunegaran.Taman Balekambang terletak di Jalan Ahmad Yani, Surakarta.

MASJID AL WUSTHO

Letaknya di Jalan Kartini, Banjarsari, Surakarta. Masjid ini didirikan oleh Mangkunegaran VII pada 1878, selesai pada 1918. Masjid dirancang oleh Thomas Karsten, arsitek Belanda yang turut memba ngun banyak pemetaan kota.

Reportase oleh Angga Indrawan

Fotografer : Suherdi Riki

Editor : Nina Chairani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement