Ahad 29 May 2016 15:36 WIB

Menyantap yang Buruak-Buruak

Red: Arifin

Fadhly mengusulkan makan siang dengan ngulinerala warga setempat. `'Kita makan sambal buruak-buruak,'' saran dia.

Sebuah nama yang membuat kening berkerut. Betapa tidak, buruakdalam bahasa Minang berarti jelek. Apa pula ini? Ayah dua anak ini menghentikan mobilnya di samping sebuah rumah makan di Simpang Lori, Lubuk Minturun. Lubuk Lagan, namanya, berada tepat samping jembatan Batang Minturun. Sambil makan, kitai bisa memandang sungai berbatu- batu itu.

`'Buruak-buruakitu makanan terong, kacang panjang, sayur-sayur itu,'' cerita Fadhly kemudian. Saya malas bertanya mengapa sayuran dianalogikan sesuatu yang buruk.

Sebab, lauk-lauk yang disajikan amat menggoda selera. Di antaranya ada gulai terong, jariang (jengkol) dalam bentuk balado ataupun kerupuk, gulai pucuk parancih (gulai daun singkong), dan yang paling menyegarkan pepes ikan asin yang berisi pangek ikan asin dicampur potongan belimbing sayur, petai, daun singkong, dan buah rimbang.

Ikan dari Batang Minturun amat menggoda selera. Ikan gariang goreng yang dituang sambal lado membuat kami tak bisa menahan diri untuk berseru. `'Tambuah ciek!''

Satu lagi yang khas, ikan mungkuih dari sungai yang sama. Ikan yang berwarna kehitaman ini hidup dan memakan lumut di bebatu Batang Minturun. Ukurannya relatif kecil. Uni Zur, putri Nenek Dahniar, sebelumnya telah bercerita bahwa ikan ini sebesar cacak(cecak). `'Untuk mengambilnya harus pakai pengait, bukan dipancing,'' timpal Fadhly saat mereka membahas ikan khas ini.

Ikan -ikan Batang Minturun sungguh gurih.

Amat nikmat disantap dengan olahan yang buruak-buruaktetapi menyegarkan itu.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement