Jumat 21 Oct 2016 11:00 WIB

Nativisasi dan Deislamisasi

Red:

Meskipun penjajah telah pergi, proses deislamisasi nusantara masih terus berlanjut. Berbagai cara dilakukan. Salah satunya adalah melalui proses "nativisasi". Yakni, usaha untuk mengecilkan peran Islam, dengan cara membangkitkan budaya zaman pra-Islam. Pada saat yang sama, Islam ditempatkan seolah-seolah sebagai "barang asing" bagi bangsa Indonesia.

Dalam buku Percakapan Antar Generasi: Pesan Perjuangan Seorang Bapak (Jakarta-Yogya: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dan Laboratorium Dakwah, 1989), tokoh Islam Mohammad  Natsir menyebutkan, ada tiga tantangan dakwah yang dihadapi umat Islam Indonesia, yaitu (1) Pemurtadan, (2) Gerakan sekularisasi, dan (3) gerakan nativisasi. Natsir mengingatkan perlunya umat Islam mencermati dengan serius gerakan nativisasi yang dirancang secara terorganisasi, yang biasanya melakukan koalisi dengan kelompok lain yang juga tidak senang pada Islam, seperti gerakan misionaris Kristen atau gerakan sekularisasi.

 

Dalam sejarah, para orientalis Belanda berusaha menghambat gerak laju Islamisasi nusantara dengan membenturkan Islam dengan budaya lokal; dengan menempatkan Islam sebagai agama asing, agama impor, yang tidak sesuai dengan tradisi setempat. Islam diadu dengan adat. Mengutip pengakuan Alb C Kruyt  (tokoh Nederlands bijbelgenootschap) dan OJH Graaf van Limburg Stirum, Dr. Aqib Suminto mencatat:  "Bagaimanapun Islam harus dihadapi karena semua yang menguntungkan Islam di kepulauan ini akan merugikan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda." (Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985) hlm 26).

   

Pakar sejarah Melayu, Prof Naquib al-Attas, dalam bukunya Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (Bandung: Mizan, 1990), menulis tentang masalah ini: "Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu."

Al-Attas menolak keras teori para sarjana Barat yang menganggap kehadiran Islam di wilayah  Melayu-Indonesia ini tidak meninggalkan sesuatu yang berarti bagi peradaban di wilayah ini. Ia  menulis: "Banyak sarjana yang telah memperkatakan bahwa Islam itu tidak meresap ke dalam struktur masyarakat Melayu-Indonesia; hanya sedikit jejaknya di atas jasad Melayu, laksana pelitur di atas kayu, yang andaikan dikorek sedikit akan terkupas menonjolkan kehinduannya, kebuddhaannya, dan animismenya. Namun, menurut saya, paham demikian itu tidak benar dan hanya berdasarkan wawasan sempit yang kurang dalam lagi hanya merupakan angan-angan belaka." 

Semangat 'anti-Islam'

Tantangan nativisasi tampak sangat marak akhir-akhir ini di Indonesia. Tak jarang, berlindung di  balik perlindungan "kearifan lokal" (local wisdom), berbagai aksi budaya lokal yang bertentangan  dengan ajaran Islam sengaja dibangkitkan kembali. Bahkan, salam-salam lokal disebarluaskan dan dibudayakan. Seolah-olah, dengan ucapan "Assalaamu'alaikum warahmatullahi wa-barakaatuh" saja, tak memadai untuk menjadi manusia Indonesia yang baik.

Dalam sejarah kebudayaan Indonesia, usaha-usaha menativkan Islam untuk disesuaikan dengan konteks  budaya lokal telah lama terjadi. Inilah yang kemudian disebut nativisasi kebudayaan oleh begawan pergerakan dan perdana menteri pertama Republik Indonesia, Mohammad Natsir. Bagi M Natsir, kaum nativis berusaha menghidup-hidupkan kebudayaan lama yang telah terkubur dan mati dalam masyarakat memiliki dua kecenderungan; yang alamiah dan yang terorganisasi. Kaum nativis yang terorganisasi ini  tentunya lebih serius karena kecenderungan kelompok ini melakukan nativisasi untuk tujuan hukum dan politik dengan jalur kerja yang sama pula. Selain itu, bagi kaum nativis, kebudayaan sebuah bangsa perlu dikembalikan pada unsur aslinya. Inilah yang kemudian membuat kaum nativis perlu untuk  'mempribumikan' segala unsur yang dianggap asing.

Usaha untuk menjadikan lokalitas budaya sebagai basis penerapan ajaran Islam sebenarnya pernah terjadi di Cirebon pada abad ke-19. Karel Steenbrink dalam sebuah artikelnya berjudul "A Catholic  Sadrach: The Contested Conversion of Madrais Adherents in West Java between 1960-2000", menggambarkan seorang sosok priayi yang bernama Madrais Alibasa Kusuma Wijayaningrat. Madrais digambarkan Steenbrink sebagai penentang sengit Islam sebagai sebuah sistem.

Pangeran Madrais sejatinya merupakan anggota bangsawan Kesultanan Cirebon. Ia lahir pada 1835. Ia sempat belajar di pesantren. Namun, menginjak masa muda, ia telah mengembangkan spiritualitas campuran dalam ritual-ritual, doktrin, dan konsep pendidikan spiritual yang sama sekaligus baru. Sejak awal kariernya, Madrais membedakan dengan tajam perbedaan antara 'keasingan' Islam, diskursus  kearaban, dan kebesaran kebudayaan serta gaya hidup bangsa Sunda atau Jawa Barat.

Pada 1880-an, Madrais telah mendirikan 'padepokan' dan mengajarkan banyak pelajaran yang tidak diambil dari kitab-kitab Islam. Ia mempropagandakan sebuah penghayatan terhadap tradisi sebagai reaksi atas pertumbuhan Islam. Ia bahkan menuduh seseorang yang mengikuti aturan-aturan syariat Islam sebagai orang yang berbicara dalam tidurnya, atau melindur (Jawa: ngelindur). Hingga 1925, Madrais telah mengorganisasi perkumpulannya sendiri secara resmi. Pemerintah Kolonial Belanda mengenal Madrais sebagai pemimpin dari Agama Djawa Sunda, 'the Javanese Sundanese Religion's (Karel  Steenbrink, A Catholic Sadrach: The Contested Conversion of Madrais Adherents in West Java between  1960-2000, dalam Een Vakkracht in het Koninkrijk, 2005, hlm 286).

Kasus Madrais bukanlah fenomena baru terjadi di sebagian kalangan priayi pada abad ke-19.  Berakhirnya Perang Jawa (1825-1830) menyebabkan Belanda harus memilih sekutu tradisionalnya untuk menjinakkan pengaruh Islam politis yang terus mengancam keberadaan penjajah. Di samping itu, Belanda pun mendapatkan keuntungan ekonomis dari kalangan priayi ini. Kaum priayi dipandang memiliki otoritas tradisional yang bisa dimanfaatkan untuk menyukseskan kebijakan Tanam Paksa-nya. Dengan demikian, Tanam Paksa menjadi lahan pembiakan kelas menengah Jawa. Proses ini kemudian semakin mengeratkan loyalitas antara sebagian kalangan priayi dan Pemerintah Hindia Belanda.

Loyalitas inilah yang kemudian mengembangkan modernitas di kalangan priayi. Di sisi lain, timbul pula kecenderungan nativistik melalui perwujudan kebudayaan pra-Islam sehingga muncullah sentimen  anti-Islam di kalangan ini. Secara tersirat mereka menyatakan bahwa peralihan keyakinan ke Islam adalah sebuah kesalahan peradaban dan bahwa kunci dalam modernitas yang sesungguhnya terletak pada penggabungan pengetahuan modern ala Eropa dengan restorasi kebudayaan Hindu-Jawa. Bahkan, Islam dipandang sebagai penyebab mundurnya wujud paling agung dari kebudayaan tersebut, yakni Kerajaan Majapahit.

Gagasan semacam itu lahir dari rahim sastra anonim yang berkembang pada abad ke-19. Hal itu seperti yang terlihat dalam Babad Kedhiri, Suluk Gatolocho, dan Serat Dharmogandhul, yang merendahkan dan mengolok-olok Islam (MC Ricklefs, Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang, terj. FX Sunardi dan Satrio Wahono, Jakarta: Serambi, 2012, hlm 53).

Kebudayaan nativistik dan tersekularisasinya sebagian kalangan priayi adalah proses penting pada abad ke-19. Sebelum Perang Jawa (Perang Diponegoro) dan selama berlangsungnya perang itu, terdapat sistem sosial yang mempersatukan antara kaum santri dan priayi. Akan tetapi, selama abad ke-19 ini, segregasi antara priayi dan santri semakin tampak. Kaum santri mulai menyempurnakan anasir-anasir fiqhiyah dalam Islamisasi kebudayaan, sementara para priayi cenderung menggambarkan Jawa dan masa lalu nusantara sebagai zaman klasik pra-Islam dengan 'kemegahan'-nya.

Kecenderungan ini pun sebenarnya didorong oleh propaganda pemerintah kolonial sebagai usaha menyekat para priayi dari pengaruh—yang disebut orang Belanda sebagai—kaum fanatik. Di Banten menjelang Jihad Cilegon 1888, pemerintah kolonial mencurigai jika pamong praja, kalangan priayi, menunjukkan semangat besar dalam urusan agama dan dengan mudah mengecap mereka sebagai 'fanatik'. Dengan momok  pelabelan 'fanatik' tersebut, pemerintah kolonial memiliki senjata ampuh untuk menghalang-halangi pejabat-pejabatnya melakukan kegiatan agama dan memisahkan mereka dari para pemuka agama.

   

Setelah peristiwa Cilegon, kebijakan kolonial semacam itu semakin diintensifkan. Tidak ada yang lebih ditakuti oleh para pamong praja daripada dicap fanatik. Menurut Sartono Kartodirjo, status pejabat pamong praja kelihatannya bertentangan dengan cara hidup seorang Muslim yang baik. Kebijakan ini rupanya cukup efektif diterapkan Belanda dalam sekularisasi priayi. Dengan menghidupkan semangat pra-Islam secara kultural dan menolak fanatisme dengan menjadikannya momok, Belanda telah memisahkan secara doktrinal, kultural, dan sosial antara priayi dan santri (Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888,Depok: Komunitas Bambu, 2015, hlm 95-96).

Marginalisasi Islam

Pemantapan kebudayaan sekuler priayi memberikan jalan yang rata bagi penaklukan kebudayaan oleh kaum kolonial. Pada abad ke-20, generasi priayi baru lebih mantap mengungkapkan identitas loyalitasnya dalam memandang modernisme. Mengutip pernyataan Nicholas Thomas, Frances Gouda menjelaskan bahwa setiap bentuk kolonialisme sesungguhnya bergantung pada proses budaya. Gouda menganggap bahwa kolonialisme Belanda di Hindia-Indonesia dihasilkan dari peleburan elektik dari sejumlah mentalitas Eropa dan kondisi lokal yang unik (Frances Gouda, Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda. 1900-1942, terj. Jugiari Soegiarto & Suma Riella Rusdianti, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007, hlm 26-27).

Hasil peleburan ini adalah munculnya generasi kebudayaan yang dengan semangat kemajuan mendasarkan arahan penjajah terhadap proses kreasi kebudayaan. Proses rekonsiliasi ini kemudian direalisasikan melalui Kongres Kebudayaan yang berlangsung pada 1918, 1919, 1924, 1926, 1929, dan 1937 (Nunus Supardi, Kongres Kebudayaan (1918-2003), Yogyakarta: Ombak, 2007).

Dapat dipastikan bahwa kerangka pikir untuk menanggulangi kemerosotan budaya dalam Kongres Kebudayaan ini dipinjam dari unsur pandangan alam Barat yang nativistik, sekuler, dan sinkretis. Kalangan priayi banyak meminjam unsur-unsur budaya Barat dalam mengembangkan budaya Jawa. Hal yang perlu dicatat, kebangkitan dari kemerosotan itu dicapai melalui hasil karya para indolog dan orientalis yang mengungkapkan kemegahan masa lalu Jawa melalui karya-karyanya.

Oleh karenanya, semangat idealisme kejawaan nihil Islam, atau anasir kebudayaan pra-Islam pada abad ke-20 itu ditegaskan beberapa tahun setelah terbitnya Pararaton oleh J Brandes (1896), H Kern yang mengungkapkan Negarakertagama dan kebesaran Majapahit (1905), dan artikel George Coedes dalam Bulletin de l'Ecole francaise d'Extreme-Orient, yang menghidupkan kenangan akan Kerajaan Sriwijaya  (Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008, hlm 6-7).

Kenangan yang nativistik, pendiktean agama di bawah nama kebudayaan, dan penghidupan kembali semangat Hinduisme merupakan rekonstruksi kaum kolonial. Sayangnya, rekonstruksi penjajah ini bukan  bertujuan untuk sekadar mengembangkan kebudayaan bangsa. Banyaknya kasus menunjukkan bahwa agenda-agenda kebudayaan kolonial justru dimaksudkan untuk menggeser peran dan unsur Islam dalam kebudayaan. Sebagian misionaris, seperti Frans van Lith, memanfaatkan budaya untuk tujuan misi Kristen.

 

Karena itulah, kaum Muslim Indonesia perlu menelaah serius masalah nativisasi dan mengambil pelajaran dari keberhasilan para pendakwah Islam—seperti Wali Songo—yang berhasil melakukan proses akulturasi Islam dalam budaya. Bukan sebaliknya, bersifat antibudaya. Atau, bukan pula menundukkan  Islam di bawah budaya.  Sebab, Islam adalah ajaran agung berdasarkan wahyu yang bersifat final dan universal, rahmatan lil 'alamin. Wallahu a'lam. 

Oleh Ahda Abid al-Ghiffar

(Guru di Pesantren Shoul Lin al-Islami, Depok)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement