Kamis 19 May 2016 18:00 WIB

Antara Soviet dan PKI

Red:

Di tengah maraknya perbincangan tentang komunisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI), makin terasa mendesak kajian ilmiah tentang ideologi dan partai yang telah dilarang di Indonesia itu. Pembahasan tentang sepak terjang PKI di Indonesia— selain memperhatikan persoalan ideologi dan konstelasi politik dalam negeri—perlu dikaitkan dengan unsur-unsur lain, terutama pengaruh dari luar. PKI tak bisa dilepaskan dari gerakan komunis internasional. Bahkan, sejak masa kemunculannya di Hindia Belanda.

Ketika itu, Hindia Belanda dalam masa peralihan. Nusantara, pada paruh pertama abad ke-19, diwarnai berbagai perlawanan dahsyat terhadap kolonialisme; di Jawa oleh Pangeran Diponegoro, di Sumatra Barat oleh kaum Paderi, dan sekitarnya. Begitu juga di Palembang, hingga Banjar masin (dengan pengecualian Aceh yang berlangsung hingga abad ke-20). Perla wan an-perlawanan itu membuat kas pe me rintah kolonial terkuras (terutama akibat perang Jawa).

Pemerintah kolonial kemudian menerapkan sistem tanam paksa untuk menguras kekayaan alam dan tenaga manusia di Hindia Belanda. Eksploitasi habishabisan ini mendulang kekayaan yang melimpah bagi pemerintah kolonial. Libe ralisasi ekonomi ditandai dengan menjamurnya perkebunan-perkebunan swasta di Hindia Belanda.

Politik etis berdampak pada merembesnya kesadaran akan kesewenang-we nangan kolonialisme. Sarekat Islam (SI) — tak bisa tidak — merupakan organisasi pertama di Hindia Belanda yang menya tukan berbagai lapisan orang-orang pri bumi. Ia tidak saja memberikan harga diri pada orang pribumi untuk bangkit, tetapi juga memberikan kedudukan yang setara bagi orang-orang lemah pribumi seperti petani yang selama ini terpinggirkan. Maka Sarekat Islam turut pula menjadi wadah besar berkumpulnya para aktivis pribumi di Hindia Belanda, mulai dari kalangan priyayi, ulama, pedagang, hingga kelompok kiri seperti Semaoen.

Nama Semaoen tak bisa dilepaskan dari figur Sneevliet. Sosok inilah yang membawa komunisme ke Hindia Belanda. Sebelum kehadiran Semaoen, Sarekat Islam adalah wadah persatuan, tetapi belum menjadi wadah perlawanan frontal dan radikal terhadap kekuasaan kolonial. Hal ini dapat dipahami mengingat setiap perlawanan frontal terhadap penguasa berarti pembungkaman organisasi dan aktivisnya, seperti yang dialami oleh Indis che partj (IP). (Takashi Shiraishi, Zaman bergerak; Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta: Pustaka Utama Gra fiti, 2005).

Semaoen bergabung dengan Sarekat Islam (SI). Ia menjadi motor pergerakan kelompok kiri di Sarekat Islam. Semaoen dengan ideologi komunisnya, selain ingin membawa SI lebih radikal mengkritik pemerintah kolonial, juga hendak memba wa Sarekat Islam netral agama. Hal ini mendapat tentangan keras dari kelompok SI putih, seperti Haji Agus Salim dan H. Fachrodin. (Takashi Shiraishi: 2005)

Peranan Soviet

Di balik pembicaraan munculnya ko mu nisme di Hindia Belanda, penting un tuk mengetahui bagaimana pandangan So viet terhadap Islam sejak awal revolusi mereka di tahun 1917. Pandangan Komu nis Soviet mengenai negara-negara Timur khususnya Islam dapat dilihat pertama kali pada Kongres Komunis Muslim di Moskow tahun 1918. Stalin mengatakan, Muslim di Rusia dapat menjadi jembatan bagi Timur dan Barat. Timur dalam pandangan Stalin tahuntahun itu adalah pintu belakang imperialis. Namun, sulit untuk menganggap negaranegara Timur (terutama Islam) sebagai bagian penting dari rencana Komintern. Bahkan, Lenin pada kongres ke-2 Komin tern menganggap pengaruh pemuka agama (priesthood) harus dilawan. Begitu pula, gerakan Pan-Islam. (Lihat, Charles B McLane, Soviet Strategies in Southeast Asia, New Jersey: Princeton University Press, 1966) Di Hindia Belanda, persoalan ini menjadi serius.

Meski Lenin setuju pada keterlibatan komunis di Hindia Belanda dalam Sarekat Islam, penolakan terhadap gerakan Panislam, bagi gerakan Islam di Hindia Belanda adalah penolakan terhadap persatuan Islam itu sendiri. PKI, nantinya dalam kongres mereka tahun 1920, mengakui sulit untuk menjawab hal ini. (Ruth McVey, Soviet View of The Indonesian Re vo lution, Interim Report Series, Modern Indonesia Project, New York: Cornell University, 1969).

Perbedaan kelompok kiri (SI Merah) dan kelompok Islam (SI Putih) memang sangat tajam dalam bidang agama. Kelom pok kiri di SI menginginkan SI netral agama. Artinya, Islam sejajar dengan agama lain. Bahkan aktivis kiri, Baars, menginginkan keterlibatan kelompok kiri di SI hanyalah sebuah 'batu loncatan.' Menurut dia, ketika perkembangan SI mencapai titik akhir, SI akan kehilangan karakter religius serta nasionalisnya dan hanya menganggap satu karakter kelas, saat itulah orang ISDV (organisasi kiri) yang ada di dalam SI hanya akan membiarkan perbedaan di tubuh SI (yang sudah lenyap ) menjadi persatuan aksi massa sosialis. (Ruth McVey, Kemunculan Ko mu nisme di Indonesia, Depok: Komunitas Bambu, 2010).

Pertikaian soal ideologi antara kelompok kiri dan kanan di SI memang sudah tak bisa dilerai lagi. Meski kedua kelompok sama-sama dikenal membela kepen ting an buruh dan rakyat kecil, Surjo pra noto, aktivis SI yang dikenal sebagai 'Si Raja Mogok' mengeluhkan kelompok ko munis yang kerap kali merintangi kegiatan mereka. Haji Agus Salim mencela pemahaman kelompok kiri yang berlandaskan pertentangan kelas. Menurut dia, "Kaum yang hendak membagi bangsa kita atas kaum pekerja dan kaum modal. Kaum itu adalah kaum yang membatalkan hak milik, yang memakai nama sosialis…" Haji Agus Salim juga menyebutkan, "Kaum sosialis itu membuta tuli saja hen dak memindah kan sengketa dan perse lisihan rumah tangganya (Eropa) ke tanah air kita." (Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indone sia 1905- 1942, Jakarta: Yayasan Kebang kitan Insan Cendikia, 2008).

Pada Kongres Komintern keempat, Komintern mengubah pandangannya tentang Pan-Islam. Perubahan sikap ini mungkin salah satunya akibat dari sikap Tan Malaka, wakil PKI di kongres tersebut, yang membela perjuangan bersama gerak an komunis dan Pan Islam di Hindia Be lan da. Namun, di Hindia Belanda hal Ini tak dapat menghentikan perpecahan PKI dan SI. Bagaimanapun Sarekat Islam tak bisa menerima sikap PKI yang netral agama (sekuler). (Ruth McVey: 2010)

Peran Zhdanov

PKI meski mengaku netral agama, te tap membawa-bawa agama dalam propaganda mereka. Kehadiran tokoh haji ko mu nis seperti Haji Misbach tak dapat dimungkiri bisa menggalang dukungan massa. (Takashi Shiraishi: 2005). Tam pak nya PKI dalam posisi yang kontradiktif, di satu sisi mereka mengaku netral agama (sekuler), tetapi mereka tetap melakukan propaganda agama dalam meraup massa, karena agama (Islam) tak dapat dilepaskan dari masyarakat pada masa itu. Hal ini terus diintensifkan oleh PKI. Mereka terus meningkatkan basis massa mereka. Pro paganda baik soal kesengsaraan, pembebasan dari penjajah, 'Negara Soviet', maupun penolakan terhadap kepemimpin an penjajah kafir terus mereka galakkan.

Arahan Komintern yang mencakup delapan poin pada 1925 pun tak dihiraukan. PKI malah mengajukan protes atas strategi fron persatuan dari atas ala Stalin dan tanpa sadar memihak Trotsky, lawan politik Stalin. (Ruth McVey: 2010) Lambat laun PKI terjebak dalam propagandanya sendiri. Mereka tak mampu memberikan prospek revolusi membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda, seperti yang mereka janjikan pada rakyat awam yang bergabung dengan mereka. Akhirnya, pemberontakan tanpa persiapan dan dukungan memadai itu pun meletus.

Di Banten, PKI menjanjikan perang suci (jihad) terhadap penguasa kafir. Di Suma tra Barat, Lenin digambarkan sebagai sosok ratu Adil. (Ruth McVey: 2010) Tak ada yang tercapai. Pemberontakan itu dengan mu dah ditumpas. Rakyat menjadi kurbannya. Pemimpin dan anggota PKI ditangkap, diasingkan, atau dihukum mati. Lebih mengenaskan, Stalin sendiri sejak awal tak menyetujui aksi tersebut.

Pemberontakan 1926-27 menyisakan sempitnya ruang bagi pergerakan nasional di Hindia Belanda. Tak banyak perhatian komintern terhadap gerakan kiri di Hindia Belanda, karena memang gerakan kiri praktis tak tersisa sejak aksi itu, hingga kemudian merebak kembali pascakemerdekaan Indonesia, khususnya setelah Amir Sjarifuddin menjadi perdana menteri di tahun 1947 menggantikan Sutan Sjahrir. (Ruth McVey: 1969)

Pandangan Soviet terhadap Indonesia tidak semata-mata penolakan terhadap penjajahan, tetapi banyak ditentukan faktor lain, termasuk posisi Soviet dalam politik internasional. Dukungan Soviet terhadap Indonesia lebih sebagai penyeimbang terhadap dominasi Amerika Serikat yang mendukung Belanda. Dukungan terhadap Komunis di Eropa (Prancis, Jer man, atau Italia lebih berharga ketimbang negara Asia tenggara). (Charles B. McLane: 1966). Dukungan ini juga tak melulu terkait semangat antiimperialisme. Soviet misalnya mendukung Sutan Sjahrir dalam perjanjian Linggarjati, meski perjanjian itu disebut banyak pihak merugikan Indonesia. Pun, dalam pemerintahan Amir Sjarifuddin mereka mendukung kabinetnya. (Ruth McVey: 1969)

Kebijakan Soviet yang signifikan da tang tahun 1947 setelah Soviet mengarah kan kebijakannya mengikuti grasi Zhda nov, yang membagi dunia menjadi dua kubu: 'Imperialis dan anti demokrasi', dipimpin oleh AS dan dunia kapitalis. Kubu lain, 'Demokratis dan antiimperialis' dipimpin oleh Soviet. Dalam Garis Zhda nov ini, kerja sama dengan kelompok borjuis nasional disingkirkan, karena mereka tak bisa diandalkan dan memihak kaum imperialis. (Charles B. McLane: 1966 dan Ruth McVey: 1969). Kebijakan Zhda nov yang lebih agresif ini bermula dari upaya Soviet untuk menyaingi pengaruh Amerika Serikat lewat Marshall Plan-nya di Eropa. Garis Zhdanov segera memiliki dampaknya di Indonesia, setelah kedatangan Musso. (Charles B. McLane, Soviet Strategies in Southeast Asia, New Jersey: Princeton University Press, 1966).

FDR-PKI yang merupakan gabungan kekuatan berbagai kelompok kiri merencanakan penggulingan kabinet Hatta, baik dengan cara legal maupun ilegal. Pembe ron takan (yang disertai pembantaian khususnya kiai dan santri) menandai aksi PKI. Sulit dipastikan bahwa Soviet memberikan arahan langsung untuk pemberontakan Madiun. Tetapi Politik Soviet yang membagi dunia menjadi dua kubu secara ekstrem dan agresif lewat garis Zdhanov tentu mempengaruhi politik PKI di Indonesia. (Charles B. McLane: 1966) Sejarah menunjukkan, Komunis Soviet (Komintern) memberikan pengaruh ke pada gerakan komunis di Indonesia. Sikap Soviet terhadap Pan-Islam yang berubahubah menandakan sikap Soviet terhadap agama tak lebih dari urusan politik untuk mencapai kekuasaan.

Di Indonesia, meski tak selalu meng ikuti arahan Komintern, PKI memainkan politik yang kontradiktif dalam hal agama. Di satu sisi mereka mengaku netral agama, tetapi di sisi lain mereka terus memakai propaganda agama, untuk menggalang massa, bahkan sebagai 'alat' untuk meng ge lorakan pemberontakan. Namun pada 1948, tak banyak propaganda PKI yang dipakai PKI berkaitan dengan agama, PKI di bawah Musso kali ini lebih mengikuti arahan Soviet dalam berpolitik di Indone sia. Semua taktik tersebut tak lain hanya lah anak tangga untuk mencapai kekua saan. 

Beggy Rizkiyansyah

Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement