Kamis 21 Apr 2016 16:08 WIB

Citra Arab dalam Naskah Klasik Jawa

Red: operator

Ditilik dari kandungannya, beberapa sastra Jawa anonim seperti Serat Darmagandul dan Suluk Ga tholoco nampak berupaya menciptakan segregasi (pemisahan) antara Arab dan Jawa. Istilah Arab disini selalu dihubungan dengan Islam, seolah-olah kedua entitas ini benarbenar sama identik, serupa atau sebangun. Isu yang diusung selalu berujung bahwa Islam merupakan produk budaya Arab yang memiliki anasir negatif sehingga perlu dienyahkan dari tata kehidupan masyarakat Jawa. Wacana provokatif yang diserukan sejak sekitar akhir abad 19 ini terdengar terus bergaung hingga sekarang.

Belakangan, reputasi Arab bagi sebagian masyarakat Indonesia diserukan agak negatif juga. Negeri Timur Tengah ini sering diidentifikasi sebagai pemilik wujud kebudayaan yang kaku, ekstrim, arogan, "jumud", dan sejumlah atribut buruk lainnya. Tidak jarang bahasan lawas semacam karya sastra anonim di atas direproduksi ulang untuk menegaskan wacana seputar hal itu.

Lebih mengherankan lagi, ada tokoh yang menyebutkan bahwa Islam di Indonesia berbeda dengan Islam Arab. Menurutnya, Islam yang ada di Nusantara ini lebih toleran, beradab, dan berbudaya. Konsep Islam berbasis lokalitas ini tidak menghapus budaya, tidak memusuhi tradisi atau menghilangkan kultur. Seolah-olah nilainilai semacam ini tidak termaktub dalam konsep Islam itu sendiri, sehingga bangsa muslim lainnya tidak bisa mewarisi ciri khas yang sama.

Fenomena munculnya ide Islam berbasis lokalitas semacam ini seperti hendak mengingatkan umat terhadap prediksi ulama pemikir asal India, Syed Abul Hasan Ali An-Nadwi. Dalam ceramah-ceramahnya sejak tahun 1977 di Eropa dan Amerika ia menyebut, seiring menguatnya dominasi peradaban Barat ke dunia Timur akan muncul ide Islam berbasis lokalitas seperti Islam India, Islam Pakistan, Islam Eropa, Islam Iran, dan lain sebagainya. (Lihat: Abul Ha san Ali An-Nadwi, Pesan Islam, terjemahan, Bandung: Angkasa, 1995). Lantas bagaimana citra Arab itu sendiri di kalangan masyarakat Jawa? Kajian ini secara khusus akan berupaya membahas citra Arab dalam sejumlah naskah yang berasal dari lingkungan Kraton Jawa. 

 

"Puser bumi" dan "Menak"

Beberapa naskah karya sastra yang lahir di lingkungan Kraton Kasunanan Surakarta ternyata menilai Arab dengan cara berbeda. R. Ng. Yasadipura I, pujangga otoritatif kerajaan Jawa ini sebagai misal, nampaknya memiliki kesadaran untuk mendekonstruksi "kebesaran" India dari alam pikir Jawa dan menggantikannya dengan "citra Arab". Ia beserta para pelanjutnya merasa bahwa wacana tandingan terhadap imajeri India perlu dihadirkan. Arab dipersepsikan dalam karya sastra yang dikarang sebagai pihak yang telah memberikan sumbangan besar bagi kemajuan bangsanya.

Serat Menak karya Yasadipura I, sebagai contoh, menarik untuk dikaji. Isinya berkisah seputar perjuangan kaum muslimin sebelum kedatangan Rasulullah saw (kaum hanif pelanjut millah Ibrahim) dalam melakukan dakwah dan jihad untuk meninggikan kalimat Allah yang dipimpin tokoh bernama Amir Ambyah. Sumber cerita menak berasal dari kitab "Qissa I Emr Hamza", sebuah karya sastra Persia pada era pemerintahan Sultan Harun Ar Rasyid (766-809 M). Karya sastra ini di Melayu kemudian dikenal dengan nama "Hikayat Amir Hamzah". ( Lihat: Prof. Dr. R.M. Su tjipto Wirjosuparto, Kakawin Bharata- Yuddha, Jakarta: Bhratara, 1968, hlm. 23)

Dalam cerita Menak, tokoh Amir Ambyah digambarkan sebagai sosok yang bergaya sangat Jawa. Ia oleh sang pengarang naskah disebut dengan julukan Wong Agung Jayengrana yang menunjukkan bahwa dirinya adalah orang besar yang selalu jaya di medan perang. Ia juga di sebut Wong Agung Jayengresmi dimana ia di gambarkan sebagai orang besar yang pandai menghargai keindahan. Julukan kedua ini nampaknya mengacu pada reputasinya yang tidak hanya jaya di medan laga, namun juga romantis dalam kehidupan pernikahan. Gaya Amir Ambyah ini sekilas mengingatkan akan gambaran Arjuna dalam wayang Jawa yang dikenal sebagai lelananging jagad (lelakinya dunia) dimana ia adalah pahlawan perang dan sekaligus pahlawan di pelaminan. (Lihat: Wijanarko, Selayang Pandang Wayang Menak, Sura karta: Amigo, 1991, p. 65) Menariknya, Tanah Arabia dalam Serat Menak sering disebut sebagai Negara Puser Bumi yang menunjuk pada makna 'sebuah negara yang berada di pusat bumi'.

Julukan semacam itu jelas dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan terhadap Arabia dimana di sana tepatnya di Makkah terdapat bangunan Ka'bah yang menjadi pusat perziarahan umat manusia dari berbagai di pelosok bumi. Kata menak sendiri dalam tradisi Jawa kadang juga digunakan dalam percakapan sebagai bentuk penghormatan terhadap orang Arab. Awalnya makna kata ini bersinonim dengan kata bangsawan atau ningrat. Pasca populernya Serat Menak, istilah "menak" juga digunakan untuk menyebut orang berkebangsaan atau keturunan Arab yang tinggal di sekitar lingkungan Keraton. Ungkapan ini digunakan untuk menjembatani hubungan harmonis antara kedua etnis, meskipun dalam keseharian orang Arab tersebut bukan merupakan kalangan bangsawan atau ningrat. Di sini nilai persaudaraan antara Jawa dan Arab nampak sekali telah terbina dalam saling pengertian.

Jawa dengan Arab memang memiliki kebudayaan yang berbeda. Namun demikian, Islam mempertautkan kedua bangsa ini di bawah panji Tauhid. Pujangga Yasa dipura terlihat memiliki cara tersendiri dalam menghargai muslim Arab. 

 

Arab dan ilmu 

Dalam naskah klasik Jawa, Arab sering dikaitkan dengan perkembangan tradisi keilmuan di Jawa. Raden Panji Natarata, penghayat tasawuf yang banyak menghasilkan karya sastra, dalam Serat Kancil Kridhamartana misalnya mengungkapkan bahwa banyak istilah-istilah Jawa tentang dunia batin yang sebenarnya memiliki mak na yang sama dengan termterm Arab. Me nurutnya, hal ini menunjukkan bahwa ke dua etnis ini diikat oleh persaudaraan dalam ilmu sejati untuk meningkatkan kualitas iman kepada Zat Mutlak (Allah) yang bisa ditelusuri dengan mengacu ke pada dalil Al Quran. Hal ini ditunjukkan dalam Serat Kancil Kridha martana Pupuh 25 tembang Dandanggula bait 14 sebagai berikut: "uga padha mung têmbunge slisir | wong Jawa lan wong 'Arab tan siwah | nanging surasane cècèg | marma Gajah dèn emut | rumakêting 'ilmu sajati | luluh wor sêdya tunggal | wruh pisah myang kumpul | kumandêla ing Dzat mutlak | kang tan samar krêntêk polah cipta uning | cundhukna dalil Kuran ||" (juga sama maknanya, hanya saja istilah yang digunakan berbeda. Orang Jawa dan orang Arab itu tiada berbeda, namun makna istilah-istilah yang dimiliki tetap sesuai. Ibarat gajah yang ditelan, eratnya ilmu sejati luluh melebur menjadi satu dari terpisah hingga berkumpul semakin menebal dalam dzat yang mutlak tanpa keraguan lagi terhadap tingkah polah cipta dan pengetahuan menyesuaikan dengan dalil yang berasal dari Al Quran)-.

Naskah Babad Diponegoro yang ditulis sendiri oleh Pangeran Diponegoro, seorang pangeran dari Kasultanan Yogyakarta, semasa dalam pembuangan setelah berakhirnya Perang Jawa (1825- 1830), mempersepsikan Arab sebagai wilayah yang kental dengan tradisi keilmuan. Dalam naskah ini, ia menceritakan perjalanan berburu ilmu agama yang dilakukan oleh Sultan Agung, raja Mataram yang juga nenek moyangnya.

Konon, sebelum menjadi raja, Sultan Agung adalah sosok pembelajar yang sangat gigih mencari ilmu ke berbagai penjuru negara Islam antara lain Makkah, Mesir, Syam, Turki, dan lain sebagainya. Setiap mendengar ada kabar tentang keberadaan guru empat mahzab yang memiliki ilmu tinggi, ia berupaya untuk mendatanginya. Kisah ini dapat ditemukan dalam pupuh 11 tembang Pocung bait 13 dan 16 sebagai berikut: "Sampun lama jeng pangran neng Mekah iku, sanget mati raga, tanarsa kondura mangke, Mesir, Ngesam, Bental Mukades jinajah… Saben ana seh terang maring ngelmu, samya ginuronan, dadya sangsana tyas neki, tingalira dumeling kodrat kang mulya." (Lihat: Nindya Noegraha (ed.), Babad Dipanagara, Jilid 1, Jakarta: PNRI, 2010, hlm. 153) (Telah lama Pangeran berada di Makkah, ia menjalani kehidupan asketis dan tidak ingin pulang kembali ke Jawa. Ia menjelajahi Mesir, Syam, Baitul Maqdis. ..... Setiap ada seorang Syaikh yang dikenal memiliki keluasan ilmu ia akan berguru, sehingga hatinya menjadi tempat yang tepat bagi takdir mulia yang akan diterimanya kelak).

Tak kurang Susuhunan Pakubuwana IX, raja Surakarta, memberikan penghormatan tersendiri terhadap Bahasa Arab sebagai ba hasa pengantar ilmu. Ia memiliki harapan besar agar para ulama' bersedia mem babar ajaran Islam yang termaktub dalam sejumlah kitab berbahasa Arab kepada masyarakat Jawa. Tujuannya, supaya masya rakat Jawa benar-benar memahami berbagai ilmu yang berasal dari Rasulullah saw. Keinginan raja Surakarta ini ia gores kan sendiri dalam karyanya "Serat Warni-warni" sebagai berikut: "Dhuh dhuh ta para ngulama, pada gegulangan nuli, ngelmune jeng rasululloh, sayektine mupangati, kang ginelar linuri, patang prakara trapipun, den terang sanira, tumrape sawiji-wiji, den awijang jer tha iku basa Arab.

Dudu basane wong Jawa, aja ngawak kudu titi, tetakona kang tetela, rapal maknane muradi, dadi tetep ngawruhi, patitising kawruh iku, kudu guru ngulama, ingkang wus sinebut mukmin, mukmin kawastan tan was tutur utama." (Lihat: Serat Warni-warni, Semarang: Museum Jawa Tengah Ranggawarsita, 2012, hlm. 89-90) [Wahai para ulama, mari ajarkanlah ilmu dari Rasulullah yang sungguh bermanfaat dan telah diajarkannya pada masa dahulu, ada empat perkara pelaksanaanya, terangkanlah itu satu per satu. Ajarkanlah meskipun itu menggunakan kata Bahasa Arab, bukan bahasa orang Jawa. Jangan semaunya tetapi harus dengan ketelitian, bertanyalah secara jelas agar bunyi dan maknanya dimengerti. Jadi tetap bisa diketahui, ketepatan pengetahuannya, harus berguru pada ulama yang telah disebut mukmin yaitu tidak khawatir apabila berbicara kebenaran].

Dari tulisan di atas setidaknya dapat diinsyafi bahwa Arab tidak selalu identik dengan Islam. Demikian juga sebaliknya, Islam tidak identik dengan Arab. Meski demikian masyarakat Jawa pada masa lampau mampu memahami bagaimana seharusnya menghargai saudara sesama muslim-nya, yang secara bertepatan adalah Arab. Pada bagian inilah, Islam mempertautkan perbedaan etnis dalam jalinan persaudaraan dengan dilandasi keimanan yang mengakar.   

Susiyanto 

(Peneliti INSISTS, Dosen Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement