Kamis 21 Apr 2016 15:46 WIB

Adab dan Akidah Menurut Syekh Abd Al-Shamad Al-Falimbani

Red: operator

Ketauhidan seseorang menuntut adanya keimanan. Artinya, seseorang yang tidak beriman berarti tidak bertauhid. Dan keimanan itu sendiri menuntut adanya syariah. Seseorang yang tidak berpegang pada syariah sesungguhnya ia tidak memiliki keimanan dan ketauhidan. Sedangkan syariah menuntut adanya adab. barangsiapa yang tidak ber adab, maka sesungguhnya ia tidak ber syariah, tidak beriman apalagi bertauhid. (Al-Ghazali, Rawdhat al-Thâlibîn wa 'Umdat al-Sâlikin, hlm. 11. Lihat juga Abu Nashr al-Sarraj, al-Luma' fî Târikh al- Tashawwuf al-Islâmi, (Beirut:Dar al- Kutub al-'Ilmiyyah, 2007), hlm. 137-138) Dalam pandangan Islam, adab tidak berdiri sendiri. Dia terikat erat dengan konsep kunci lainnya dalam Islam, salah satunya dengan konsep aqidah. Tulisan ini coba melihat kandungan adab dalam masalah aqidah yang ditulis oleh Syekh Abd al-Shamad al-Falimbani dalam kar yanya Sayr al-Sâlikîn.

Siapa Syekh Abd al-Shamad al-Falim bani? Al-Falimbani adalah seorang ulama mujahid. Lahir sekitar tahun 1116 H/1704 M di Palembang. Perjalanan intelektualnya berawal di Kedah dan Patani, lalu berlanjut di Saudi Arabia. Di sana al- Falimbani bergabung dengan komunitas Nusantara seperti Muhammad Arsyad al- Banjari, Abd al-Wahhab al-Bugisi, Abd al- Rahman al-Batawi, dan Daud al-Fatani.

Al-Falimbani dan kawan-kawannya berguru pada ulama-ulama besar di tanah suci. Di antara guru-gurunya yang paling utama adalah Muhammad ibn Abd al-Karim al-Sammani, Muhammad ibn Sulayman al-Kurdi, dan Abd al-Mun'im al-Da manhuri. Di bawah bimbingan guru-guru yang hebat ini, tidak aneh jika kemudian al- Falimbani menjadi salah satu ulama yang paling berpengaruh pada abad XVIII M. Hal itu dibuktikan dengan dua karyanya yang paling utama, Hidâyat al-Sâlikîn dan Sayr al-Sâlikîn yang banyak beredar dan memiliki pengaruh luas di Nusantara.

So sok al-Falimbani sebagai ulama Muja hid bisa dilihat dari karya-karyanya yang selalu membangkitkan semangat jihad untuk melawan orang-orang Eropa, khusus nya Belanda. Melalui kitabnya, Na shihah al-Muslim wa-Tadzkirah almu'minin fi-Fadhail al-Jihad fi-Sabilillah wa-Karamah al-Mujahidin fi-Sabilillah, Syekh al-Falimbani menjelaskan bahwa wajib hukumnya bagi kaum Muslim untuk melakukan jihad melawan kaum kafir.

Dalam The Achehnese, seperti dikutip Azra, Snouck Hurgronje menyebutkan bahwa karya Syekh al-Palimbani merupakan sumber rujukan utama berbagai karya mengenai jihad dalam Perang Aceh yang sangat panjang melawan Belanda, mulai 1873 sampai awal abad ke-20. Kitab ini menjadi model imbauan agar kaum Muslim berjuang melawan kaum kafir. (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, Edisi Perenial, (Ja kar ta: Kencana, 2013), hlm. 316-359).

Syekh al-Falimbani mengirim surat kepada Raja Mataram, Sultan Mangku bumi (Hamengkubuwono I), yang isinya: "Tuhan telah menjanjikan bahwa para Sultan akan memasuki (surga), karena keluhuran budi, kebajikan, dan keberanian mereka yang tiada tara melawan musuh dari agama lain (sic!). Di antara mereka ini adalah raja Jawa yang mempertahankan agama Islam dan berjaya di atas semua raja lain, dan menonjol dalam amal dalam peperangan melawan orang-orang agama lain (sic!)... Orang-orang yang terbunuh dalam perang suci diliputi keharuman kudus yang tak terlukiskan; jadi ini merupakan peringatan untuk seluruh pengikut Muhammad..." (Ibid, hlm. 360-361).

Selain dua karya monumental, otoritas keilmuan al-Falimbani bisa dilihat dari isnad-isnad keilmuan yang dimilikinya. Syekh Yasin ibn Isa al-Fadani yang di kenal dengan gelar Musnid al-Dunyâ (pemegang sanad dunia), banyak menyebut nama al-Falimbani dalam sanad fiqh dan tasawufnya. (Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, edisi revisi, (Yogyakarta:Gading Publishing, 2012), hlm. 378-379)

Al-Falimbani menghabiskan umurnya dengan menghidupkan tradisi ilmu. Dia telah mewakafkan dirinya untuk umat Islam. Sampai akhirnya kembali ke Rahmatullah setelah merampungkan karyanya yang terakhir dan monumental, Sayr al- Sâlikîn. (Azra, Jaringan Ulama, hlm. 320). 

 

Adab dan Akidah 

Adab yang paling utama bagi setiap manusia adalah adab kepada Tuhannya. Dalam hal ini al-Falimbani menyatakan: Bermula keadaan Dzat Allah Ta'ala bahwasanya wajib kita i'tiqadkan akan ke adaan Allah Ta'ala itu yaitu Dzat yang Wajibul wujud Yang Mustahiq bagi segala sifat kamâlat dan Mahasuci Ia daripada segala sifat kekurangan. (al- Falimbani, Sayr al-Sâlikîn, (Jakarta:Dar al-Kutub al-Islamiyyah, tanpa tahun), Juz I, hlm. 21).

Menolak wujud Allah adalah perbuatan biadab. Oleh karena itu, berbagai teori sains modern atau pemikiran liberal yang berusaha meniadakan wujud Allah mesti ditolak. Apapun yang terjadi di dunia ini atas izin dan kehendak Allah SWT. Inilah keyakinan yang benar. Keyakinan akan wujud Allah tidak boleh dinodai dengan syirik. Al-Qur'an menyebutnya sebagai kezaliman yang besar (QS Luqman:13). Allah Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada bandingan-Nya, tiada awal dan tiada akhir untuk wujud- Nya, tidak menyerupai makhluk-Nya, bukan benda, tidak butuh kepada apapun seperti tempat, masa dan sebagainya. (Abd al-Shamad al-Falimbani, Hidayat al- Salikin, (Indonesia:Syirkah Maktabat al- Madaniyyah, tanpa tahun), hlm.19-20.

Keyakinan kepada Allah tidak boleh dipisahkan dengan kayakinan kepada Nabi Muhammad SAW. Ini bagaikan dua sisi mata uang. Tidak laku jika hanya satu sisi. Dalam masalah ini al-Falimbani dengan tegas menyatakan: Dan ditegahkan akan sempurna iman dengan syahadat al-Tauhid yaitu mengucap La Ilaha illaLlah selama tiada serta dengan dia syahadat al-Rasul yaitu mengucap Muham mad Rasulullah. (al-Falimbani, Sayr al-Sâlikîn, Juz I, hlm. 31). Pandangan al-Falimbani ini bisa ditujukan kepada kelompok liberal-pluralis saat ini yang berpandangan bahwa keselamatan tidak mensyaratkan iman kepada Nabi Muhammad SAW. (Budhy Munawar Rach man, Islam dan Liberalisme, Ja karta:Friedrich Naumann Stiftung, 2011), hlm. 238).

Allah SWT telah memilih Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya yang terakhir. Rasul yang memiliki sifat Shiddiq, Amanah, Tabligh dan Fathanah. Apa yang disampaikan pasti benar, sebab katakatanya berdasarkan wahyu, bukan hawa nafsu. Sebagai wujud adab kepada Allah SWT, kita harus menerima Nabi Muham mad SAW sebagai utusan-Nya. Bukan menolaknya dan mengikuti jalan lain yang bukan utusan-Nya.

Wujud adab kepada Nabi Muhammad SAW juga berkitan dengan adab kepada para sahabatnya. Karena itu, seorang muslim sangat hormat kepada Khulafa al- Rasyidin, dan enam sahabat Nabi lainnya yang telah dijamin masuk sorga oleh Rasulullah saw. Lebih jauh, Syekh al- Falimbani menyatakan: Dan wajib kita i'tiqadkan bahwasanya yang terlebih afdhal daripada segala manusia kemudian daripada Nabi kita Muhammad SAW dan kemudian daripada segala Anbiya' itu yaitu Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiqra, kemudian Sayyidina Umar ibn al-Khattab ra, kemudian Sayyidina Utsman ibn 'Affanra, kemudian maka Sayyidina 'Ali ra, kemudian sahabat yang enam yaitu Sayyidina Thalhah dan Sayyidina Zubair ibn al-'Awwam dan Sayyidina Sa'ad ibn Abi Waqqash dan Sayyidina Sa'id ibn Zaid dan Sayyidina 'Abdurrahman ibn 'Auf dan Sayyidina Abu 'Ubaidah 'Amir ibn al-Jarrah kemudian maka yang tinggal daripada segala sahabat Nabi SAW. (al-Falimbani, Sayr al-Sâlikîn, Juz I, hlm. 34).

Karena itu, Syekh al-Falimbani meng ingatkan perlunya setiap muslim memiliki prasangka baik terhadap para sahabat Nabi. Sebagai manusia, bisa saja secara personal mereka melakukan kesalahan, tetapi secara secara keseluruhan, para sahabat Nabi Muhammad saw adalah adil "Dan wajib kita baikkan akan zhan kita yakni sangka dengan segala sahabat ra dan jangan kita zhan akan segala saha bat dengan yang jahat karena wajib kita i'tiqadkan bahwasanya segala sahabat Nabi kita Muhammad SAW itu semua nya adil lagi saleh lagi wajib kita memuji atas mereka itu seperti memuji Rasul- Nya atas mereka itu sekalian." (al-Falim bani, Sayr al-Sâlikîn, Juz I, hlm. 34).

Keadilan dan kesalehan para sahabat tidak perlu diragukan lagi. Al-Qur'an telah menyebutkannya secara tegas. (lihat QS Ali 'Imran:110, QS al-Baqarah:143, dan QS al-Bayyinah:8). Hadits juga melarang umat Islam mencaci para sahabat (Muttafaq 'Alaih). Perjuangan mereka bersama Rasulullah SAW tidak akan pernah bisa dilampaui oleh generasi berikutnya. Terhadap masalah yang terjadi di antara mereka, Ibn Ruslan mengingatkan kita agar tawaqquf dan tidak berburuk sangka. Sebab para sahabat telah berijtihad dalam masalah itu. Masing-masing akan mendapat pahala. Yang benar mendapat dua pahala, yang salah mendapat satu pahala. (Ibn Ruslan, Matan Zubad, hlm. 8).

Orang yang beradab akan memuliakan orang-orang yang dimuliakan oleh Allah dan Rasul-Nya. Bukan menebar caci maki kepada mereka. Bukan menuntut sesuatu yang tidak pernah dipermasalah kan sesama mereka, atau membuat cerita-cerita palsu yang jauh dari fakta dan kebenaran.

Dari pemaparan di atas, terlihat bahwa muatan akidah yang disampaikan oleh Syekh Abd al-Shamad al-Falimbani bukan hanya mengantarkan seorang muslim kepada keyakinan yang benar, tapi juga membimbing kita menjadi manusia-manusia yang beradab.

Inilah ajaran penting dalam hal adab dan akidah dari seorang ulama Nusantara. Sepatutnya, ajaran-ajaran yang indah ini diajarkan kepada anak-anak muslim di sekolah-sekolah dan pesantren-pesantren. Bahkan, lebih baik lagi, jika para orang tua mengenalkan sosok ulama-ulama yang hebat seperti Syekh al-Falimbani kepada anak-anaknya.

Itulah bagian dari ajaran adab dalam Islam. Pendidikan kita sepatutnya me nanamkan adab sejak dini kepada anakanak kita. Anak-anak muslim yang ber adab akan lebih mengenal dan mencintai sosok ulama hebat seperti Syekh Abd al- Shamad al-Falimbani dibanding Ken Arok dan Gajah Mada. Wallahu A'lam bis shawab.

Muhammad Ardiansyah

(Mudir Ponpes Shoul Lin al-Islami, Depok)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement