Kamis 19 Nov 2015 13:00 WIB

Kebangsaan dan Keadilan

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,Kebangsaan dan Keadilan


Ribuan mahasiswa dan do sen Universitas Yale di Con necticut, Amerika Se ri kat, "demo" memprotes iklim kampus yang dirasa makin hari semakin rasis (the racially charged climate on campus), demikian laporan surat kabar New York Times baru-baru ini (16/11/2015). Mereka menuntut perlakuan yang lebih adil terhadap semua warga kampus yang bukan kulit putih. Perguruan tinggi itu diminta bersikap lebih terbuka kepada orang dari semua bangsa, baik itu keturunan Anglo- Saxon, Hispanik, Afro-Amerika, Semit (Yahudi dan Arab), maupun Asia (keturunan Jepang, Vietnam, Tionghoa, India dan sebagainya).

Sementara koran Perancis Le Monde (10/11/2015) merekam perdebatan intelektual yang meratapi ketiadaan faktor pemersatu dan penyeimbang berbagai kecenderungan nasionalisme saat ini (de réunir tout le continent et de contrebalancer les inclinaisons nationalistes de l'époque). Ini karena arus imigran yang membanjiri Eropa, Amerika dan Australia memunculkan persoalan besar antara integrasi dan isolasi, antara pluralisme dan rasisme. Tampak semakin kabur batasan antara rasa kebangsaan dan perbedaan keturunan.

Sejak lama para ilmuwan menganggap ras sebagai fakta biologis. Konon, ras manusia terdiri dari tiga puak induk: kaukasoid, negroid, dan mongoloid. Masing-ma sing dikatakan berasal dari kawasan di ma na mereka dulunya tinggal, yaitu pegunung an Kaukasus di selatan Russia, wilayah Nige ria di Afrika, dan daerah Mongolia di Asia. Tipologi ini senada dengan legenda Israiliyat yang mengatakan bahwa bangsa-bangsa di dunia adalah keturunan dari tiga anak Nabi Nuh: Sam (nenek-moyang ras Timur Tengah), Ham (nenek-moyang ras Afrika) dan Yafits (nenek-moyang ras Eropa).

Namun, mengatakan bahwa ras adalah fakta biologis sebenarnya membawa konsekuensi politik yang saling bertentangan. Tipologi di atas secara tidak langsung menganggap bangsa-bangsa selain kulit putih, kulit hitam, dan kulit kuning sebagai bukan manusia. Sebab, kalau orang-orang berkulit kemerahan dan sawo matang juga dianggap manusia, maka tindakan menindas, memperbudak, dan menghabisi mereka (seperti yang dilakukan terhadap penduduk asli benua Amerika dan Australia) adalah sangat biadab dan tidak bisa dibenarkan sama sekali. Di sisi lain, kalau perbedaan ras memang karena faktor keturunan, maka orang dapat mengklaim bahwa rasnya lebih unggul dari ras lain. Akan tetapi jalan pikiran semacam ini jika diikuti akan mengulang tragedi kebiadaban yang pernah terjadi saat Reconquista di Spanyol, di era kolonial, pada zaman Nazi di Jerman, dan sepanjang konflik di Palestina, sehingga muncul istilah pembunuhan ras (genocide) dan pembersihan etnis (ethnic cleansing).

Kendati dianggap tabu, masalah ke bang saan dan keturunan mesti dibicarakan secara jujur dan jernih. Ini karena ia terkait dengan persoalan kekuasaan dan dominasi politik, struktur dan hirarki, serta sejarah panjang perjalanan manusia, terutama relasi dan interaksi antar kelompok satu sama lain. Alasan kebangsaan dan keturunan acapkali dijadikan pembenaran cara sistematis suatu kelompok untuk menguasai ranah kekuasaan, peluang karir tertentu dan membatasi atau bahkan memutus sama sekali akses kelompok lain. Jika sudah ada hirarki di antara mereka, maka ini akan menentukan kelompok mana yang lebih berkuasa dan unggul dibanding kelompok lain. Kelompok yang dominan lalu menganggap diri mereka berhak memperoleh 'jatah singa' dan menikmati berbagai keistimewaan di atas penderitaan kelompok lain dengan dukungan sejumlah lembaga dan seperangkat aturan hukum yang sengaja dicipta demi menyangga dan melang geng kan sistem rasis tersebut.

Rasa kebangsaan yang tak terkendali tidak hanya merasuki para penguasa dan politisi, akan tetapi juga para cendekiawan dan akademisi. Sebut saja, misalnya, Joseph Arthur de Gobineau yang mengatakan dalam bukunya (Essai sur l'inégalité des races humaines) bahwa semua peradaban berasal dari ras kulit putih yaitu bangsa Arya. Atau pendapat sejumlah sarjana orientalis yang melihat tasawwuf sebagi reaksi intelektual bangsa Arya terhadap dominasi Semit yang dalam hal ini diwakili oleh bangsa Arab dengan ajaran Islamnya. Tak terkecuali saintis Inggris Charles Darwin yang pernah menyatakan bahwa bangsabangsa beradab bisa dipastikan bakal mele nyapkan dan menggantikan bangsa-bangsa biadab di seluruh dunia: : "… the civilized races of man will almost certainly extermi nate and replace the savage races throughout the world" (Lihat: The Descent of Man, Appleton New York 1888, hlm. 159-60).

Dan jika ditelusuri lebih jauh, ternyata sikap dan perilaku rasisme telah mendapatkan justifikasi sejak zaman Yunani kuno. Menurut Aristoteles, penduduk daerah dingin (Eropa) pada umumnya kurang trampil dan kurang cerdas, sementara orangorang Asia kurang mampu berpikir dan bersaing sehingga mereka terus-me nerus dijajah dan diperbudak. Adalah 'kehen dak alam', katanya, bahwa manusia tercipta berbedabeda bentuk dan warna kulitnya. Maka wajar saja bila sebagian manusia terlahir sebagai orang merdeka, sementara sebagian yang lain terlahir untuk menjadi budak. Pembagian ini sudah adil, ujarnya (Lihat: Aristotle, Politics, terj. Ernest Barker, Oxford University Press, 1961, buku I/1, hlm. 3; VII/7, hlm. 296; dan I/5, hlm. 13-14).

Kita juga bisa membaca Herodotus yang menulis bahwa orang-orang Ethiopia (kulit hitam) suka makan ular, kadal dan binatang melata lainnya, tidak dapat berbicara layaknya manusia dan hanya mampu mengeluarkan suara mengarut seperti bunyi kelelawar (Lihat The Greek Historians, terj. George Rawlinson, Random House New York 1942, bab IV, hlm. 188-291). Gabung an tiga hal, yaitu ciri-ciri fisik, mentalitas, dan merasa paling hebat (superiority complex), sering yang dijadikan acuan oleh sebagian ilmuan untuk membangun teori keunggulan ras dan menjustifikasi berbagai penindasan dan peperangan.

Pengamat sosial Joe R. Feagin (dalam jurnal American Sociological Review 1991, vol. 56, hlm. 101-16) melaporkan ternyata orang-orang kulit hitam di Amerika hingga saat ini masih sering mengalami pelecehan meski mereka sudah tergolong kelas menengah. Pelecehan itu bisa berupa perlakuan diskriminasif di tempat kerja, sikap maupun pelayanan beda di tempat perbelanjaan, hingga ucapan atau kata-kata yang menyiratkan penghinaan. 

Perspektif Islam 

Berbeda dengan kitab Perjanjian Lama (Kejadian 9:18-25) yang secara tidak langsung mengesahkan rasisme, kitab suci al- Qur'an berusaha mengikis habis segala ben tuk kezaliman berbasis ras. Bahwa manusia diciptakan berbeda-beda rupa dan warna kulitnya, masing-masing mempunyai baha sa dan budaya sendiri, semua itu adalah petanda dari Sang Pencipta untuk direnungkan oleh mereka yang berilmu (ar- Rum 22).

Kebhinnekaan ras, etnis, dan suku se mestinya mendorong manusia agar saling mengenal, saling menghargai, saling melindungi (al-Hujurat 13), bekerjasama, tolongmenolong dan bahu-membahu dalam meraih kebahagiaan dan mengatasi ma salah bersama (al-Ma'idah 2). Kemulia an seseorang tidak ditentukan oleh ras atau silsilah nenek-moyangnya, tetapi oleh volume ketaqwaannya (QS al-Hujurat 13). Tidak dibolehkan mengejek, melecehkan atau menjatuhkan satu sama lain. Juga dihimbau agar jangan saling mencurigai dan mencari-cari kesalahan atau kelemahan orang lain (QS al-Hujurat 11-12). Ayat terakhir ini meletakkan dasar anti pencemaran nama baik (defamation law).

Ditekankan bahwa kita mesti berlaku adil dan baik kepada manusia, apapun ras nya, dan tidak boleh berbuat zalim, munkar, keji serta melampaui batas (an-Nahl 90). Jangan sampai kebencian, prejudice atau fanatisme kelompok mempengaruhi kita sehingga bertindak zalim (al-Ma'idah 8).

Haram hukumnya membunuh manusia tanpa alasan yang dibenarkan (bi-ghayri haqq). Tidak dibenarkan membunuh orang yang lemah (wanita, anak-anak, golongan lanjut usia), orang tak bersalah apa-apa, dan orang yang sudah menyerah. Mem bunuh seorang manusia yang bukan pembunuh (bi-ghayri nafs) dan bukan pula perusak adalah sama dengan membunuh seluruh manusia (al-Ma'iidah 32). Jangan kan melakukan pembunuhan, sedang bersikap angkuh atau menganggap diri super dengan jelas dikecam (al-Isra' 38).

Satu-satunya alasan untuk merasa bangga yang dibenarkan ialah bila kita sungguhsungguh beriman (Al 'Imran 139), tanpa memandang ras, keturunan, warna kulit atau bentuk rupa. "Berbuat baiklah pada kedua orangtua, keluarga dekat, anak-anak yatim, orangorang miskin, tetangga dekat maupun tetangga jauh, teman sejawat, musafir, dan hamba sahayamu, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri" (an-Nisa' 36). Dan simaklah sabda Kanjeng Nabi saw: "Mereka [budak-budak itu] adalah saudarasaudaramu (hum ikhwanukum) dan milik yang dititipkan Allah kepadamu. Maka siapa yang saudaranya dititipkan padanya, hendaklah ia memberinya makanan yang ia makan, pakaian yang ia pakai, dan janganlah membebani mereka dengan pekerjaan berat yang tak sanggup mereka laku kan. Kalaupun terpaksa menyuruh, maka bantulah mereka mengerjakannya" (hadis riwayat Imam Muslim). Semoga rasa kebangsaan kita dipimpin oleh rasa keadilan.

Dr Syamsuddin Arif

Direktur Eksekutif INSISTS 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement