Kamis 30 Oct 2014 18:49 WIB

Negara Adil Dan Beradab

Red:

Pada 7 Juni 2014, di tengahtengah masa kampanye, cap res Jokowi ketika itu berziarah ke Makam Habib Abdullah bin Muhsin al-At tas, di kawasan Empang, Bogor. Kabarnya, ada calon presiden se belumnya yang juga berziarah ke Makam Habib Abdullah yang dalam sebuah buku disebut sebagai salah satu dari 17 habib yang berpengaruh di Indonesia. Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas—lebih dikenal sebagai Habib Ke ramat Empang Bogor. Banyak kisah tentang "kewalian" dan "karomah" yang dimilikinya.

Untuk apa para peziarah itu mengunjungi Makam Habib Keramat? Sa darkah mereka, siapa sosok yang me reka kunjungi makamnya itu? Sang Habib adalah ulama besar. Itu bisa di lihat dari hasil didikannya. Para muridnya— dengan izin Allah—menjadi ula ma-ulama terkenal, di antaranya Habib Alwi bin Muhammad bin Thahir Al- Haddad (mufti Kerajaan Johor).

Sejarawan Alwi Alatas menemukan bahwa menurut koran Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas wafat pa da 29 April 1933. Ia disebut sebagai to koh terkenal (bekende persoonlijk heid) dan seorang yang sangat dihormati (de overledene stond in hoog aanzien). Bu pati Bogor hadir dalam proses pe ma ka man tersebut. Padahal, Habib Ke ra mat pernah dijebloskan ke dalam pen jara oleh Pemerintah Hindia Be landa, bah kan harus dirantai lehernya. Konon, me nurut cerita yang beredar di masya ra kat, kepala penjara justru ke mudian terjangkit penyakit misterius dan atas saran sang Habib ia bisa sembuh jika lehernya juga dikalungi rantai. Wallahu A’lam.

Mungkin pula tidak banyak peziarah yang paham, bahwa dari garis keturunan Habib Keramat di kemudian hari lahir seorang cucunya yang dikenal se bagai salah satu ilmuwan besar, ber na ma Syed Muhammad Naquib al-Attas. Ha sil pe ne lusuran Prof Wan Mohd Nor Wan Daud menemukan bahwa Syed Na quib al-Attas merupakan keturunan ke-37 dari silsilah keturunan Rasulullah SAW, bertemu pada garis Hussein bin Ali bin Abi Thalib RA (lihat, Wan Mohd Nor Wan Daud, "Prof. Dr. Syed Muham mad Naquib al-Attas: an Introduction" dalam Commemorative Volume on the Confer ment of the al-Ghazali Chair of Islamic Thought, Kuala Lumpur: ISTAC, 1993).

Siapa Prof Naquib al-Attas? Sampai naskah ini ditulis (20 Oktober 2014), masyarakat internasional masih bisa menikmati sebuah wawancara menarik di Youtube, antara Hamza Yusuf, direktur Zaytuna Institute Amerika Serikat, de ngan Prof Syed Muhammad Naquib al- Attas. Tahun 2009, Hamza Yusuf di no batkan sebagai "the Western world’s mo st influential Islamic scholar" dalam "The 500 Most Influential Muslims", suntingan John Esposito dan Ibrahim Kalin, (2009).

Dalam wawancara itu, Hamza Yusuf menyebut Prof al-Attas sebagai ulama dan filosof besar di zaman ini yang me miliki pengaruh besar di dunia Islam. Ia mengaku banyak mendapat manfaat dari karya-karya Prof al-Attas yang di ba canya. Hamza Yusuf bertanya, "What you think is the central crisis, taking pla ce right now in the muslim world?" Dija wab oleh Prof al-Attas, "I said it is loss of adab." Hilang adab alias tidak ber adab (kata halus dari biadab), itulah kata kunci dari akar dari seluruh krisis yang dihadapi umat dan dunia Islam dewasa ini. Karena itu, jika umat Islam ingin bang kit dan terbebas dari berbagai krisis yang membelit mereka, pa hamilah adab dan didiklah umat ini agar mereka men jadi manusia-manusia yang beradab.

Kedudukan Adab

Di masa kecil, Prof. al-Attas sempat mendapat pendidikan di Bogor dan Madrasah al-Urwatul Wutsqa Suka bumi (1941-1946). Nama dan pemikirannya sudah dikenal luas di Indonesia sejak tahun 1981, saat Penerbit Pustaka Ban dung—Perpustakaan Salman ITB—me nerbitkan karya klasiknya berjudul Islam and Secularism dalam edisi Indo nesia. Hingga kini, di usianya yang ke-83 ta hun, ia masih konsisten dengan teori yang diungkapkannya sejak awal 1970- an, yaitu bahwa akar masalah umat Is lam adalah hilangnya adab, loss of adab. Tahun 1980-an itu pula bu kunya, Is lam dalam Sejarah dan Kebu dayaan Melayu, diterbitkan di Indo nesia, (Bandung: Mizan, 1990, cet. keempat).

Pentingnya adab dalam kehidupan manusia sudah banyak pula dikemu kakan oleh para ulama terdahulu. Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya me nyebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib RA memaknai perintah Allah, "Quu anfusa kum wa-ahliikum naaraa", dengan "ad di buuhum wa allimuuhum (didiklah me reka agar beradab dan ajari mereka ilmu). Dalam Kitab Ghayatun Nihayah fi Thabaqatil Qura disebutkan bahwa Abdullah Ibn Mubarak pun pernah me nyatakan, dia mencari adab selama 30 tahun dan mencari ilmu selama 20 tahun.

Pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari, menulis kitab khusus tentang adab, berjudul dabul lim wal-Muta’allim. Di tulis: "at-Tawh du y jibul m na, faman l m na lah l tawh da lah ; wal- m nu y ji bu al-syar ’ata, faman l syar ’ata lah , l m na lah wa l tawh da lah ; wa alsyar ’atu y jibu al-adaba, faman l daba lah , l syar ’ata lah wa l m na lah wa l tawh da lah ." (Hasyim Asy’ari, dabul lim wal-Muta’allim, Jombang: Makta bah Turats Islamiy, 1415 H). Jadi, menurut Kiai Hasyim Asy’ari, Tauhid mewajibkan wujudnya iman. Barang siapa tidak beriman, maka dia tidak bertauhid; dan iman mewajibkan sya riat, maka barang siapa yang tidak ada syariat padanya maka dia tidak memiliki iman dan tidak bertauhid; dan syariat mewajibkan adanya adab; maka barang siapa yang tidak beradab maka tiada syariat, tiada iman, dan tiada tauhid padanya.

Salah satu sumbangan besar Prof Naquib al-Attas dalam dunia pemikiran Islam kontemporer adalah menguraikan definisi dan kedudukan adab dalam konteks dominasi paham sekularisme terhadap Islam. Tahun 1973, dalam bu ku nya, Risalah untuk Kaum Mus limin, Prof al-Attas sudah menjelaskan makna adab secara terperinci. Dalam bukunya, Tin jauan Ringkas Peri Ilmu dan Pan dang an Alam, (Pulau Pinang: USM, 2007, hlm. 42-43), Prof al-Attas menjelaskan lebih jauh makna adab yang dimaksudnya:

"Adab, atau amalan, tindakan, dan perbuatan yang betul, itulah yang merupakan pengakuan yang dimaksudkan. Jadi, pendidikan itu adalah penyerapan adab ke dalam diri. Penjelmaan adab da lam diri-diri persendirian yang membentuk masyarakat sebagai suatu kum pulan membayangkan keadaan keadilan; dan keadilan itu sendiri adalah sua tu yang menayangkan hikmah, yang merupakan cahaya nan terbit dari lam pu nubuwwat, yang membolehkan si penerimanya mendapat tahu letaknya tempat yang betul dan wajar bagi suatu benda atau kewujudan makhluk. Kea daan berada pada tempat yang wajar itu lah keadilan; dan adab itu perbuatan yang disadari yang dengannya kita menjelmakan keadaan berada pada tempat yang wajar. Jadi, adab, dalam pengertian an dita’rifkan di sini, adalah juga suatu pancaran hikmah; dan berkenaan dengan masyarakat, adab itu peraturan adil yang terdapat di dalamnya. Di ta’rifkan dengan ringkas, adab itu tampaknya keadilan sebagaimana dia di pan carkan oleh hikmah."

Makna Pancasila

Tiga kata penting dalam mewujudkan masyarakat yang ideal diurai de ngan terperinci oleh Prof al-Attas, yaitu kata: adab, adil, dan hikmah. Tiga kata itu dikenal pula sebagai kata-kata kunci dalam Islam (Islamic basic vocabularies), yang umat Islam—di mana pun, dan ber bahasa apa pun—memiliki pemaha man yang sama terhadap makna tersebut. Uniknya, tiga kata itu disebutkan secara tegas dalam sila-sila Pancasila, setelah sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa, dan diakhiri dengan tujuan bernegara, yaitu terwujudnya "Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."

Kajian semantis dan historis terhadap makna adab, adil, dan hikmah dalam Pancasila sangatlah penting un tuk mendapatkan makna Pancasila se ba gaimana yang dikehendaki oleh para pendiri bangsa Indonesia. Dengan itu, tidak se tiap orang bisa menafsirkan Pancasila se maunya sendiri. Haji Agus Salim, misal nya, sebagai salah satu perumus Pem bukaan UUD 1945—yang memuat teks Pancasila saat ini dalam BPUPKI tahun 1945—menulis tentang makna Ketuhan an Yang Maha Esa: "… saya ingat betulbetul bahwa di masa itu tidak ada di an tara kita seorang pun yang ragu-ragu, bahwa dengan pokok dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu maksudnya akidah, kepercayaan agama, dengan kekuatan keyakinan, bahwa kemerdekaan bangsa dan Tanah Air suatu hak yang diperoleh daripada rahmat karunia Tuhan Yang Maha Esa …."

Tentang manusia yang berpura-pura mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa tetapi perilakunya justru mengajak ma nu sia membesar-besarkan hawa nafsunya, loba dan tamak terhadap kebendaan, Ha ji Agus Salim pun menyeru, "… hen dak lah kita memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa hidayah petunjuk dan bim bingan taufik-Nya." (Lihat buku Se ratus Tahun Haji Agus Salim, Jakarta: Pus taka Sinar Harapan, 1996, hlm 441- 444).

Itulah makna adab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Memahami dan "meletakkan" dirinya dengan betul, di tempat yang wajar, dalam berhadapan dengan Tu han Yang Maha Esa, Allah SWT. Me yakini dan bersedia diatur oleh Allah SWT adalah adab kepada Sang Pencip ta. Begitu juga tidak menyerikatkan Allah dengan yang lain. Itu akidah Is lam. Itu makna Ketuhanan Yang Maha Esa. Muhammad Hatta, mencatat: "De ngan dasar-dasar ini sebagai pimpinan dan pegangan, pemerintahan negara pada hakikatnya tidak boleh menyimpang dari jalan yang lurus untuk mencapai kebahagiaan rakyat dan keselamatan masyarakat, perdamaian dunia serta persaudaraan bangsa-bangsa" (Lihat, Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila, Jakarta: CV Haji Masagung, 1989, hlm 31-33). Prof Hazairin, guru besar ilmu hukum UI, berpendapat, "Bahwa yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, dengan konsekuensi (akibat mutlak) bahwa ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ berarti pengakuan ‘Kekuasaan Allah’ atau ‘Kedaulatan Allah’ (Prof. Hazairin, Demokrasi Pancasila, hlm 31).

Adab masyarakat

Dalam konsep adab, Prof al-Attas sangat menekankan kemampuan seseorang untuk menempatkan sesuatu pada letaknya yang wajar. Alquran sangat menekankan bahwa orang beriman dan bertakwa berbeda derajatnya dengan orang fasik (jahat); orang berilmu ber beda derajatnya dengan orang bodoh; dan sebagainya. Meskipun sama-sama manusia dan warga negara, penjahat dimasukkan ke dalam penjara, sementara pelajar berprestasi diberikan penghargaan. Adalah tidak beradab meletakkan pezina dan pelaku dosa besar lainnya lebih tinggi martabatnya ketimbang para ulama cendekiawan yang berakhlak mulia.

Termasuk adab yang penting adalah adab kepada penguasa; dengan cara meletakkan kedudukan penguasa pada tempatnya. Jika benar, maka ia di du kung. Jika salah, maka kewajiban rak yat menyampaikan kebenaran. Bahkan, menyampaikan kebenaran kepada penguasa termasuk jihad yang utama (afdhalul jihad).

Sebagian kalangan masih ada yang keliru memaknai "Kemanusiaan yang adil dan beradab" dalam perspektif "hu manisme sekuler". Misalnya, ada yang menyerukan "Indonesia tanpa dis kriminasi". Atas nama pluralisme dan mul tikulturalisme, aliran sesat Ahma diyah diminta agar diperlakukan sama dengan Muhammadiyah. Sebuah buku berjudul Menjadi Indonesia tanpa Disk riminasi (2014) mengecam diskriminasi terhadap kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual, trangender).

"Diskriminasi tersebut umumnya muncul akibat pandangan yang melihat kelompok LGBT sebagai sampah ma sya rakat, melanggar norma susila, adat dan agama." Inilah contoh pemikiran yang tidak adil dan beradab karena membuang pertimbangan agama dalam memandang fenomena sosial. LGBT bukan sampah masyarakat, bukan un tuk dizalimi. Tetapi, perilaku homoseksual dan lesbian jelas bertentangan de ngan ajaran agama. Sesuai konsep adab, laki-laki, perempuan dan waria harus diletakkan di tempatnya yang wajar, sesuai dengan ketentuan Allah SWT; bukan mengikuti hawa nafsu dan kesepakatan semata.

Dalam kaitan adab kemasyarakatan, Prof al-Attas mencontohkan pentingnya me mahami makna "kebebasan" sebagai "ikh tiar" dan bukan "freedom" yang bermakna bebas memilih apa saja, baik me milih yang buruk maupun yang jahat. Dalam konsep ikhtiar (dari kata khair, bermakna baik), seorang hanya bebas memilih yang baik. Pilihan untuk memilih yang jahat atau buruk bukanlah kebebasan yang sebenarnya (not real freedom). "So, it is neither one’s right nor is it freedom to choose something evil, false, wrong, incorrect or imperfect," simpul Dr Wan Azhar, dalam ar tikelnya, "Islam on freedom of Religion" menjabarkan konsep adab al-Attas.

Aplikasi konsep adab yang penting adalah dalam soal keilmuan. Seorang beradab mengakui derajat dan martabat ilmu yang berbeda. Pendidikan yang beradab adalah yang meletakkan ilmuilmu fardhu ain lebih tinggi kedudukannya dibandingkan ilmu fardhu kifayah. Ilmu-ilmu itu harus diletakkan pada tempatnya masing-masing dengan tepat. Simpul Prof al-Attas: "They must be graded according to various levels and priorities. If one classifies the va rious sciences in relation to their priorities and puts each one of them in its proper place, then that is adab towards knowledge."

Apakah Indonesia akan menjadi nega ra yang semakin adil dan beradab atau semakin tidak beradab? Kita lihat saja! Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban kepada kita semua, khu sus nya para pemimpin negara, ulama, dan cendekiawan. Sebab, menurut Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumid din, rakyat rusak gara-gara penguasa rusak; penguasa rusak karena ulama rusak; dan ulama rusak karena cinta harta dan jabatan. Wallahu a’lam bishshawab. ¦

Dr Adian Husaini

Peneliti Tamu di CASIS-Universiti Teknologi Malaysia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement