Kamis 19 Jun 2014 12:00 WIB

Ijtihad Ulama untuk Pemimpin Perempuan Pertama Aceh

Red:

Kerajaan Aceh Darussalam adalah kerajaan terbesar dalam sejarah wilayah di utara Pulau Sumatra ini. Kerjaan ini mewariskan nama seorang raja legendaris, Iskandar Muda. Di bawah kepemimpinannya, Aceh sampai pada puncak peradaban. Ia dikenal sebagai raja yang adil. Sayang sekali, ia tidak meninggalkan anak laki-laki untuk meneruskan kepemimpinannya, seperti adat kebiasaan para raja di Aceh. Sebetulnya, ia sudah menobatkan anak lelakinya, Meurah Pupok. Tapi, karena ia berzina dengan istri salah seorang perwiranya, Iskandar Muda sendiri yang memutuskan agar anaknya ini dirajam sampai mati sesuai dengan hukum Islam yang berlaku di Aceh. Jadilah, ia tidak memiliki putra mahkota.

Untuk menjamin kepemimpinan Aceh terus berjalan, ia menunjuk menantunya yang menikah dengan anak perempuannya Safiatuddin untuk meneruskan takhtanya. Menantunya inilah yang kemudian dikenal sebagai Iskandar Sani. Ia sebelumnya dikenal dengan sebutan Sultan Bungsu. Iskandar Sani naik takhta di usia 25 tahun pada 1636. Sayang, usianya tidak panjang. Ia meninggal dalam usia 30 tahun dan meninggalkan istri tanpa anak, Safia tuddin. Aceh menjadi sedikit kacau de ngan mangkatnya Iskandar Sani. Dalam situasi seperti itu, para ulama, tokoh, dan pemuka kerajaan saat itu harus mengambil keputusan siapa yang harus menggantikan Iskandar Sani.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:IRWANSYAH PUTRA/ANTARAFOTO

Masjid raya Baiturrahman Banda Aceh yang diabadikan dari ketinggian pada Jumat (15/11). Masjid raya Baiturrahman merupakan peninggalan kerajaan aceh pada abad 15 M yang saat ini telah memiliki tujuh kubah itu pernah dibakar oleh Belanda pada 1873 dan dibangun kembali pada 1875.

 

Setelah diperbincangkan cukup lama, nama yang paling serius dipertimbangkan adalah istri Iskandar Sani sendiri yang juga anak dari Iskandar Muda, yaitu Safiatuddin. Selain memiliki ke cakapan dari segi agama dan ilmu pengetahuan untuk mengelola negara, ia adalah anak dan istri raja, sehingga akan sangat memahami bagaimana kerajaan dikelola. Akan tetapi, di kalangan ulama sendiri, berbeda pandangan mengenai statusnya sebagai "perempuan". Dalam sebagian pandangan ulama fikih, perempuan dilarang menjadi pemimpin, apalagi pemimpin kerajaan. Nuruddin Ar-Raniry, ulama yang sangat disegani saat itu, untuk mencegah ke mudharatan yang lebih besar dengan tidak adanya calon pemimpin Kerajaan Aceh yang mumpuni dan legitimated secara politik, akhirnya menyimpulkan untuk meng ambil pendapat yang membolehkan pemimpin perempuan. Itu pun, tentu bukan tanpa syarat. Ia harus me rupakan sosok yang amanah, adil, dan memiliki keluasan ilmu yang me mung kinkannya duduk sebagai ratu. Semua syarat itu ternyata ada dalam diri Safiatuddin.

Kecakapannya ini memang telah terasah sejak kecil. Dalam usia 7 tahun, ia bersama dengan putra dan putri istana lainnya, termasuk Iskandar Sani yang kemudian menjadi suaminya, telah belajar kepada ulama-ulama besar dan sarjana-sarjana terkenal. Di antara guru-guru Safiatuddin, antara lain, Syekh Hamzah Fansury, Syekh Nurud din Ar-Raniry, Syekh Faqih Zainul Abidin Ibnu Daim Mansur, Syekh Kamaluddin, Syekh Alaiddin Ahmad, Syekh Muhyiddin Ali, Syekh Taqiy yudin Hasan, Syekh Saifuddin Abdul kahhar, dan lainnya.

Semangat belajar yang tinggi itu ak hirnya membentuk pribadi dan pengetahuan Safiatuddin yang luar biasa. Ia menguasai banyak bahasa asing, antara lain, Arab, Persia, Spanyol, dan Urdu. Ia juga menguasai ilmu fikih, sejarah, mantik, falsafah, tasawuf, sastra, dan lainnya. Barangkali, yang boleh dikata kan sebagai salah satu kelemahannya adalah tidak menguasai seluk-beluk militer secara detail. Inilah juga yang menyebabkannya tidak terlalu berhasil dari segi militer dan ekspansi kekuasa an. Akan tetapi, kecintaannya pada ilmu pengetahuan telah mengantarkan pres tasi yang cukup baik, yaitu berkembangnya berbagai lembaga pendidikan dan hidupnya ilmu pengetahuan.

Dalam sejarah Aceh, Sultan yang pa ling besar dan mengantarkan Aceh sampai puncak kejayaannya adalah ayah Shafiatuddin, Iskandar Muda. Oleh sebab itu, dibandingkan dengan ayahnya, prestasi Shafiatuddin memang masih berada di bawahnya. Secara poli tik, militer, dan ekonomi, menurun, tetapi kecintaannya pada ilmu pengetahuan dan sastra membuat Shafiatud din akhirnya berfokus untuk menghi dupkan bidang ini. Tidak mengheran kan, perkembangan ilmu pengeta huan, sastra, dan seni-budaya pada zamannya sangat pesat dibandingkan dengan zaman sebelum atau sesudahnya.

Universitas Baiturrahman (Jami’ Baiturrahman) di Banda Aceh bertambah maju. Demikian juga dayah-dayah (pesantren-pesantren) di seluruh daerah wilayah kekuasaan Aceh juga berkembang dengan baik. Perkembangan ini tidak terlepas dari kebijakan Safiatuddin yang sangat mendorong berkembangnya pendidikan. Salah satu contohnya adalah kebijakannya terhadap para ulama yang tidak setuju atas pengangkatannya sebagai ratu. Safiatuddin tidak mengambil sikap represif. Para ulama yang jumlahnya sekitar 300 tersebut dibiarkan untuk pindah dari Banda Aceh untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan. Di antaranya, Syekh Abdul Wahhab dibiarkan hijrah ke Tiro dan mendirikan dayah di sana. Dayah Syekh Abdul Wahhab ini berkembang sangat pesat menjadi salah satu dayah terbesar di Aceh. Safiatuddin sebagai ratu yang peduli terhadap pendidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan tidak mengganggu perkembangan dayah ini walaupun pendirinya berseberangan dengannya.

Kecintaannya pada ilmu pengeta huan ini pun terlihat dari banyaknya karya para ulama yang lahir pada masanya, baik atas permintaannya atau atas inisiatif dari para ulama sendiri.

Syekh Nuruddin Ar-Raniry, salah satu ulama-pengarang yang sangat produktif pada masa Safiatuddin, pernah menulis kitab Hidayatul-Iman bi Fadhlil-Manan dalam bahasa Melayu. Menurut pengakuannya, kitab yang berisi tentang aki dah dan ibadah ini ditulis atas permin taan sang ratu. Pernyataan ini di tulis dalam mukadimah kitabnya. Selain menulis kitab ini, ia juga menulis lebih kurang 27 kitab lain dalam bahasa Melayu dan Arab. Selain Ar-Raniry, ulama lain yang juga didorong oleh ratu untuk menulis kitab adalah Abdurrauf As- Sinkily yang diminta menulis kitab yang kemudian diberi judul Mir’atut-Thullab fi tashili Ma’rifatil-Ahkam selain sembilan kitab lainnya. Ulama lain nya yang juga mengarang kitab atas permintaan Ratu adalah Syekh Daud Ar-Rumy yang menulis Risalah Masailal Muhtadin li Ikhwanil Mubtadi. Kitab-kitab itu kemudian oleh ratu dianjurkan agar dibaca masyarakat umum karena isinya diperuntukkan bagi kalangan awam.

Sebagai ratu perempuan pertama, Safiatuddin juga sangat memperhatikan nasib para wanita. Sebagaimana ayah dan kakeknya terdahulu, ia mene kan kan agar lembaga-lembaga pendidikan dibuka bukan hanya untuk laki-laki, melainkan juga untuk perempuan. Ini berimplikasi pada pembukaan kesempatan bagi kaum perempuan untuk turut ikut ambil bagian dalam berbagai bidang pekerjaan yang memungkinkan mereka melakukannya. Pada masa Safiatuddin, dipertahankan prajurit perempuan pengawal istana yang sudah dibentuk sejak masa ayahnya, Sultan Iskandar Muda. Prajurit pengawal ini diberi nama Dipisi Keumala Cahaya.

Armada Inong Bale (perempuan janda) yang dibentuk pada masa Sultan Riayat Syah juga terus dipertahankan. Bahkan, pada zamannya armada yang dipimpin pertama kali oleh Laksamana Malahayati ini tidak hanya melibatkan janda-janda, melainkan juga perawan yang belum menikah. Pada bidang yang lain, seperti pengajaran, pemerintahan, perdagangan, pertanian, dan lainnya, banyak perempuan yang ambil bagian.

Situasi yang tidak membeda-bedakan gender ini sudah sejak lama hidup di Aceh, sehingga tidak heran bila berabad-abad setelahnya lahir wanita Aceh, seperti Cut Nyak Din yang hidup sezaman dengan Kartini. Oleh sebab itu, nestapa dan nasib perempuan yang tersisih sesungguhnya tidak pernah ada dalam sejarah Indonesia yang sesungguhnya. Kalaupun ada, sangat mungkin ini adalah efek dari kolonialisme yang destruktif terhadap berbagai sendi kehidupan.

Dalam menjalankan kerajaannya, Safiatuddin sebagaimana para penda hulunya tetap berpegang pada Kanun Meukuta Alam atau Kanun Aceh yang merupakan undang-undang dasar kerajaan Aceh. Undang-undang ini sangat dipengaruhi fikih Islam. Ia pun menjalin komunikasi intensif dengan kerajaankerajaan penting di seluruh dunia, terutama dengan Turki Usmani. Sudah ba nyak riset yang mengkaji surat-surat Safiatuddin kepada penguasa Usmani yang menunjukkan kecakapan Sa fiatud din dalam memimpin Aceh.

Bukan hanya berhubungan dengan Usmani, ia pun harus menghadapi VOC Belanda dan kekuatan-kekuatan luar lain yang meng ancam kedaulatan kerajaannya. Semua nya dilalui dengan cukup baik tanpa harus mengorbankan Kerajannya. Al hasil, selama 34 tahun pemerintahannya (1641-1674), Sadiatud din dapat melalui nya dengan cukup gemilang. Ijtihad Ar-Raniry, Abdurrauf As-Sinkily, dan ulama lainnya ternyata tidak terlalu meleset.

Walaupun banyak ulama yang tidak setuju, demi menghindarkan kemudha ratan yang lebih besar, ijtihad yang hatihati untuk menaikkan Safiatuddin ternyata masih berbuah kebaikan untuk Aceh. Wallahu A’lam.

Tiar Anwar Bachtiar

Dosen Sejarah Islam pada STAI Persis Garut

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement