Ahad 14 Feb 2016 18:47 WIB

Jangan Runtuhkan Peradaban

Red: operator

Dalam mukadimahnya, Ibnu Khaldun menegaskan bahwa jika Tuhan berkehendak memberangus peradaban, mereka akan diuji dengan seberapa jauh konsisten dan komitmen memegang nilai dan moralitas tersebut di saat kemaksiatan merebak dimana-mana. "Inilah yang terjadi terhadap runtuhnya peradaban Islam di Andalusia, Spanyol," tulis Ibn Khaldun. 

Apa jadinya bila sebuah peradaban runtuh. Dan, itu semua sangat mungkin. Keruntuhan peradaban itu tak harus memusnahkan eksistensinya secara sekejap. 

Bisa saja perlahan, tapi sedikit demi sedikit sendi-sendi kehidupan yang awalnya kokoh sedikit demi sedikit keropos. Kisah kehancuran yang demikian, ternyata bukan elegi masa lalu atau legenda di era kuno. 

Apa yang membuat Jared Diamond, berani memprediksikan kemungkinan tumbangnya sejumlah peradaban. Dan, Anda mau tahu? Indonesia adalah salah satu negara yang ia sebut berada di tubir kehancuran itu, seperti ia tulis dalam bukunya yang bertajuk Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed. 

Selain negara kita, guru besar Geografi di University of California, Los Angeles, ini mencolek juga nama Kolombia dan Nepal. 

Mungkin, kita agak sedikit beruntung, tetapi tetap perlu mawas dan waspada, negara seperti Somalia, Rwanda, dan Zimbabwe ia sebut sebagai peradaban yang tumbang pada era modern sekarang!

Faktor penghancur peradaban itu sangat beragam dan mungkin kompleks. 

Satu sama lain saling berkaitan. Diamond menyebut, ada lima faktor. Kelima-limanya itu merujuk pengalaman Norse Greenland Eropa yang pernah berjaya dari 984 M hingga akhirnya tumbang pada 1450 M. 

Perilaku yang bermuara pada akhlak ikut bersumbangsih pada keruntuhan Greendland. Seperti tampak dari penggundulan tanah yang dilakukan oleh Viking, menyebabkan erosi dan berdampak fatal bagi kelangsungan hidup mereka.

Menurut Diamond, secara umum, sebuah peradaban runtuh setelah mencapai puncak kejayaannya. Begitulah siklus peradaban. 

Dalam beberapa kasus, ada pula peradaban yang runtuh dengan begitu cepat. Setelah kejayaan berhasil diraih selama beberapa dekade, tetapi dalam tempo yang begitu cepat, peradaban itu tumbang, seperti peradaban Maya Klasik di Yucatan. 

Secara teori, sebetulnya paparan Diamond tak begitu meng angetkan. Ia tidak berangkat dari kesimpulan nol. Teori yang sama tentang siklus peradaban yang melemah akibat merosotnya moralitas pernah disampaikan, antara lain, oleh para cendekiawan Muslim. 

Wajar bila kekhawiran Diamond muncul terkait nasib Indonesia, demikian pula dengan saya dan mungkin saja Anda. 

Perhatikan dengan seksama betapa nihilitas nilai serasa sayup dan kini beranjak terang- terangan, mulai tampak dalam tatanan masyarakat kita. Intrik politik para elite yang sarat ambisi dan oportunisme, korupsi di berbagai lini, inkonsistensi penguasa, kerakusan, eksplorasi alam yang tak bertanggung jawab, dan perilaku barbar di level akar rumput. 

Anak tega membunuh orang tua dan begitu sebaliknya. Oknum guru malah bertindak tabu, menghujat di ranah publik menjadi lumrah, pencari keadilan diasingkan, maling teriak maling, apalagi coba yang kurang. Danb paling anyar, tentu adalah fenomena lesbi, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Lengkap sudah. 

Bila peradaban dianggap pula sebagai tatanan nilai, sejatinya bangunan tersebut telah rapuh. Jika peradaban dinyatakan sebagai batas-batas kesopanan tentulah mulai memudar. Seandainya peradaban itu dipandang sebagai akumulasi sistem, per adaban bangsa kita sekarang tengah melepuh. 

Bagi Diamond, persoalan mendasar yang dihadapi oleh masyarakat global saat ini sebenarnya ada dalam kendali diri. 

Ancaman terbesar adalah ancaman yang dibuat oleh manusia itu sendiri. "Maka itu, berarti penyelesaian masalah ini semua ada dalam kemampuan kita. Khususnya, apa yang dapat kita lakukan?" katanya. 

Peradaban dan akhlak, tak bisa terpisahkan. Keduanya ibarat jasad dan ruh, bila ruh itu sirna, sirna pula jasad yang fana itu. Di sisi lain, keresahan dan keprihatinan muncul dari para sastrawan yang disebut- sebut kerap melihat dunia dengan mata hati mereka, seandainya kita tak segera sadar dan memperbaiki akhlak itu kekhawatiran tersebut bukan sekadar teori dan isapan jempol.

"Selama moralitas masih bertahan pada suatu kaum, ia akan bertahan. Bila sirna, lenyap sudah eksistensi kaum itu. Solusinya adalah kembali ke moralitas. Perkuat jiwa dengan akhlak maka akan kokoh. 

Peradaban tumbang dan runtuh ketika akhlak nihil. Tipu daya, dusta, korupsi, dan kerusakan merajalela," demikian kerasahan Ahmad Syauqi, sastrawan dan budayawan terkemuka Asal Mesir. Anda, saya, dan kita semualah pelestari peradaban itu.

Oleh Nashih Nashrullah  [email protected] 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement