Ahad 24 Jan 2016 19:35 WIB

Kiai Abbas Abdul Djamil TOKOH PERGERAKAN CIREBON

Red: operator

Kontribusinya dalam mengusir penjajah sangat besar melalui gerilya Laskar Hisbullah.

Kebesaran nama Pesantren Buntet Cirebon dan kontribusi besarnya bagi Indonesia telah tertoreh dalam sejarah emas. Pesantren ini menjadi pusat pergerakan perlawanan terhadap Belanda. Terutama, bagi para santri yang tergabung dalam Laskar Hisbullah. 

Nama Kiai Abbas Abdul Djamil tak bisa dilepaskan dari catatan pergerakan pesantren ini. Bahkan, tokoh kelahiran Pekalangan, Cirebon, Jumat, 24 Zulhijah 1300 H atau 1879 M, ini didaulat sebagai pimpinan laskar pejuang yang konon menjadi embrio bagi militer Indonesia itu.

 Bersama sejumlah tokoh, seperti KH Murtadlo, KH Sholeh, dan KH Mujahid, ia memimpin Laskar Hisbullah melakukan perang gerilya yang berpusat di Legok, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Kuningan, dengan fron di perbukitan Cimaneungteung yang terletak di daerah Walet selatan membentang ke Bukit Cihirup, Kecamatan Ciipancur, Kuningan. 

Daerah tersebut terus dipertahankan sampai Perundingan Renville 1947 ketika kemudian Pemerintah RI beserta semua tentaranya hijrah ke Yogyakarta pada tahun yang sama. Semasa perang kemerdekaan, banyak warga Pesantren Buntet yang gugur dalam pertempuran. 

Di antaranya, KH Mujahid, Kiai Akib, Mawardi, Abdul Jalil, Nawawi, dan lain-lain. Basis-basis kekuatan laskar yang dibangun oleh Kiai Abbas itu menjadi pilar penting bagi tercetusnya Revolusi November di Surabaya pada 1945. 

Ini menyusul Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 yang dikeluarkan oleh KH Hasyim Asy'ari. KH Hasyim menyarankan agar perlawanan rakyat itu tidak dimulai terlebih dahulu sebelum Kiai Abbas dan laskar andalannya datang ke Surabaya.

Atas restu gurunya tersebut, Kiai Abbas terlibat langsung dalam pertempuran Surabaya. Tak hanya itu, ia mengirimkan para pemuda yang tergabung dalam Laskar Hisbullah untuk berjuang di sejumlah daerah, seperti Jakarta, Bekasi, Cianjur, dan lain-lain. 

Pendidikan agama Terlahir dari jalur keluarga Kesultanan Cirebon dari jalur sang ibu, putra sulung dari Kiai Abdul Djamil ini tumbuh di bawah didikan agama yang kuat. Abbas kecil menerima pendidikan agama dari sang ayah langsung. Terutama, terkait akidah dan syariat Islam. 

Menjelang remaja, Kiai Abbas pun memutuskan untuk melakukan pengembaraan ke sejumlah pesantren. Di Cirebon, ia pernah berguru ke Pesantren Sukanasari, Pleret, di bawah asuhan Kiai Nasuha. Tak hanya cukup menimba ilmu di tanah kelahirannya, Cirebon, ia pun keluar daerah hingga ke Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. 

Di Jawa Timur, misalnya, sosok yang pernah belajar Kiai Ubaidah di Jawa Tengah ini berguru ke Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Ia berguru langsung ke pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy'ari. 

Di Pesantren Tebuireng itulah, kematangan kepribadian Kiai Abbas mulai terbentuk. Ia bertemu dengan santri dan kiai yang terpandang, seperti KH Wahab Chasbullah (tokoh dan sekaligus salah seorang arsitek berdirinya NU), KH Abdul Manaf (pendiri Pesantren Lirboyo, Ke diri). 

Kiai Abbas pun masuk dalam daftar santri andalan dan kesayangan Kiai Hasyim. Kehausannya akan ilmu mengantarkan Kiai Abbas berangkat ke tanah suci Makkah. Ia sempat berguru ke sejumlah ulama nusantara, antara lain, KH Mahfudz Termas. Namanya perlahan dikenal oleh komunitas Muslim Indonesia di Makkah. 

Ia didaulat untuk mengajar. Nama KH Cholil Balerante (Palimanan), KH Sulaiman Babakan (Ciwaringin), termasuk deretan santri yang pernah berguru kepadanya. Bekal ilmu agama dan kemampuan mengajar ini pun ia kantongi dan menjadi modal berharga sepulangnya ke Tanah Air. 

Ia didaulat memimpin Pesantren Buntet. Kanuragan Pada 1929, Masjid Buntet, Cirebon, tempat Kiai Abbas mengajar, ramai didatangi oleh santri dari berbagai daerah.

Tidak hanya belajar agama, tetapi mereka berbondong-bondong datang untuk belajar ilmu kanuragan. 

Ilmu tersebut dimanfaatkan untuk mengusir penjajah. Rumah Kiai Abbas pun semarak dari 1929 hingga 1945, terutama bakda Zhuhur dan Ashar. Kebanyakan murid yang belajar ilmu bela diri kepada Kiai Abbas bukan pesilat pemula, melainkan para pendekar yang ingin meningkatkan kemampuan. 

Biasanya, murid yang datang langsung dibawa masuk kedalam kamar pribadinya. Dalam kamar itulah mereka langsung dicoba kemampuannya dengan melakukan duel singkat, tak jarang uji coba itu membuat suasana rumah gaduh.

Setelah uji kemampuan selesai, Kiai Abbas mengijazahkan wirid-wirid Alquran yang diberikan kepada muridnya. Ini sebagai pengontrol agar pemilik kanuragan tidak sombong dan angkuh serta terjaga dari perkataan dan perbuatan yang memancing Allah SWT murka. 

Keahlian bela diri yang dimiliki Kiai Abbas digunakan di jalan kebaikan. Sang guru, Kiai Hasyim Asy'ari, sangat menaruh perhatian terhadapnya. Kiai Abbas kerap diminta bantuan melindung Pesantren Tebuireng dari ulah penjahat yang tak suka dengan kehadiran pesantren itu pada 1900 M. 

Kecintaan Kiai Abbas kepada bangsa dan negara sangatlah kuat hingga akhir ajalnya. Perjanjian Linggarjati pada 1946 yang merugikan Indonesia cukup membuatnya pilu. Ia terpukul dan jatuh sakit hingga akhirnya wafat pada 1 Rabiulawal 1365 atau 1946 M. Makamnya masih ramai dikunjungi peziarah hingga sekarang di Kompleks Pesantren Buntet, Cirebon. c62, ed: Nashih Nashrullah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement