REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Sudah lazim diketahui, bila ingin berburu manuskrip Islam, datanglah ke perpustakaan-perpustakaan ternama di Eropa. Satu-satunya salinan kitab surat al-Ard al- Khawarizmi tersimpan di Perpustakaan Universitas Strasbourg. Sementara, terjemah an Latinnya tersimpan di Biblioteca Nacional de Espana di Madrid.
Kitab al-Khawarizmi yang lain, Zij al-Sindhind dalam bahasa Latin tersimpan di Bibliotheque publique (Chartres), Bibliotheque Mazarine (Paris), Bibliotheca Nacional (Madrid), dan Bodleian Library (Oxford). Perpustakaan nan jauh di Benua Biru itu adalah surga bagi para peneliti manuskrip Islam. Di sana, manuskrip Islam tersimpan, terjaga, bahkan masih terus dikaji.
Popularitas manuskrip Islam tak lepas dari pasang surut studi filologi. Adam Gacek dari Mc Gill University mencatat, studi filologi mulai mendapat momentum pada abad ke-19. Sejak itu, manuskrip menjadi objek penelitian yang populer. Motif pengkajian manuskrip ini tidak lepas dari kepentingan pemerintah kolonialis.
Selama ekspansi imperialistik abad ke-19, kata Stefanie Brinkmann, budaya dan kegiatan ilmiah menjadi terkait dengan aktivitas politik. Pada 1873-1914, Jerman dengan sukses menaruh beberapa direktur di Khedivial Library, Kairo. Salah satunya, Karl Vollers (1886-1896). Hal itu dilakukan demi kepentingan ilmiah, selain juga untuk mengamankan pengaruh politik.
Sarjana kebangsaan Jerman, Carl Brockelmann (1868-1956), adalah orang yang berjasa besar dalam studi manuskrip Islam lewat karyanya, Geschichte der Arabischen Litteratur (Tarikh al-Adab al Arabi). Karya ini merupakan katalog raksasa yang memuat seluruh khazanah pemikiran Islam-Arab sejak abad ke-8 M hingga abad ke-20. Artinya, naskah ini meliputi manuskrip sejak zaman awal Islam, masa Umayyah, Abbasiyah, Ottoman, hingga era modern. Karya ini masih menjadi pegangan bagi para peneliti manuskrip Islam-Arab.
Para orientalis amat menyadari pentingnya manuskrip Islam. Mereka memiliki ketekunan dalam studi naskah. Dalam kasus manuskrip Islam Indonesia, banyak naskah dikaji oleh orientalis Inggris dan Belanda. Karya Sunan Bonang diteliti oleh BJO Schrieke (1916) dalam Het Boek van Bonang (1916), kemudian diterbitkan ulang oleh GWJ Drewes dalam the Admonitions of Seh Bari (1969). Mistisisme Syamsuddin as- Sumatrani diteliti dalam Samms'l Din van Pasai: Bijdragen tot de kennis der Soematraansche Mystiek oleh CAO Nieuwenhuijze (1945). Ada lagi, P Voorhoeve yang mengkaji ulama Melayu, Nuruddin ar- Raniri, dalam Twee Maleische geschriften van Nuruddin ar Raniri (1955).
Terpelihara
Meski terlihat ironis, nyatanya banyak manuskrip Islam tersebut jauh lebih terpelihara di pusat-pusat studi Barat, melebihi apa yang dilakukan oleh ilmuwan Muslim. Sejak era kolonisasi, perhatian dunia Islam terhadap naskah-naskah Islam kurang.
Hal ini seiring surutnya tradisi pengkajian ilmu pengetahuan dan lemahnya kekuatan politik umat. Karena itu, tidak heran bila justru banyak naskah-naskah Islam yang diangkut ke Barat dan dikaji oleh para akademisi Eropa.
Mereka giat mengkaji manuskrip Islam untuk berbagai keperluan. Pertama, mengembangkan khazanah keilmuan mereka. Atau kedua, untuk mengetahui kondisi masyarakat Muslim demi melanggengkan misi kolonisasi di negara- negara Muslim.
Ketua Institute of Orientalism Rusia, Dr Mikhael Abiyatrovsky, meyakini keberadaan manuskrip Islam di perpustakaan-perpustakaan negaranya amat penting. Barat memiliki kepentingan untuk memahami peradaban Arab dan Islam. "Karena itu, harus ada sekelompok orang yang mengkaji manuskrip hingga semua bisa mengetahui secara sempurna peradaban Arab. Hanya lewat manuskrip, kita memperoleh informasi yang valid karena benda itu rujukan awal," kata Abiyatrovsky.
Superioritas Barat dalam studi manuskrip Islam tidak menafikan pengkajian sarjana- sarjana Muslim. Di kalangan Muslim, upaya pengkajian dan inventarisasi manuskrip juga dilakukan. Seorang bibliografer asal Persia abad ke-10, Ibnu an-Nadim, adalah salah satu tokoh terkemuka di bidang ini.
Ia menulis sebuah karya bibliografi manuskrip Islam berjudul al-Fihrist (938M) yang telah dilengkapi dengan catatan kritis. Kitab ini juga memuat judul, nama pengarang, lokasi penulisan atau penerbitan, jumlah halaman, dan kondisi fisik naskah.
Kitab al-Fihrist dikenal sebagai ensiklopedia kebudayaan Islam Abad Pertengahan. Guru besar Universitas Colorado, Mehdi Nakosteen, menyebut al-Fihrist sebagai salah satu dokumen terpenting dalam sejarah peradaban Islam.
Lewat Ibnu an-Nadim, Muslim pada kemudian hari mengenali karya-karya intelektual Muslim terdahulu. Karya ini menuntun ilmuwan Muslim modern dalam pengkajian karya-karya klasik dunia Islam.
Upaya itu terus berlanjut hingga hari ini. Semakin banyak sarjana Muslim yang menyadari keperluan umat terhadap manuskrip. Namun, studi manuskrip menjadi mimpi di tengah kecamuk perang di berbagai dunia Islam. Konflik dan perang bukan iklim bagi manuskrip yang rapuh dan mudah hancur.
Andris Riedlmayer dari Harvard University dalam From the Ashes: The Past and Future of Bosnia's Cultural Heritage, misalnya, mendokumentasikan pengeboman masjid dan perpustakaan di Bosnia yang telah menghancurkan ribuan khazanah manuskrip Islam. Kondisi serupa terjadi di negara-negara Muslim yang terus bergolak, seperti Suriah, Yaman, Mesir, dan Afghanistan.
Pusat-pusat naskah
Sekalipun pahit, umat Islam harus mengakui peran Barat dalam pemeliharaan naskah-naskah Islam. Di pusat studi Barat, naskah-naskah tersebut diklasifikasikan dalam kategori Islamic manuscript, Arabian manuscript, atau Orientalische Handschriften.
Koleksi manuskrip Islam British Library termasuk yang paling terkenal di dunia. Situs resmi British Library menyebut, koleksi perpustakaan ini salah satu yang terbesar di seluruh Eropa dan Amerika Utara dengan hampir 15 ribu karya dalam 14 ribu volume.
Koleksinya meliputi naskah Alquran, kalam, hadis, fikih, filsafat, tata bahasa Arab, biografi, obat-obatan, hukum, sejarah, sastra, bahkan pelajaran mengenai sihir, memanah, dan tafsir mimpi. Usia naskah merentang dari abad ke-8 sampai ke-19. Dua koleksi terbesar berasal dari British Museum dan India Office Library. Selain itu, lokasi penyimpanan naskah terbesar di Inggris adalah University of Cambridge dan Bodleian Library, Oxford.
Di Belanda, koleksi paling banyak tersimpan di Universitas Leiden dengan jumlah tak kurang dari 4.000 manuskrip. Koleksi tersebut mencakup sejumlah besar karya ulama nusantara. Manuskrip Islam lain tersimpan di Universitas Amsterdam, Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde (KITLV), University of Utrecht, dan University of Groningen.
Perpustakaan Universitas Leipzig, Jerman, menyimpan sekitar 3.200 manuskrip oriental (ketimuran). Sebagian besar manuskrip tertulis dalam bahasa Arab, selain Persia dan Turki.
Meski secara jumlah lebih kecil dibanding Perpustakaan Negara di Munich dan Berlin, Leipzig disebut sebagai salah satu kolektor naskah terbaik di Jerman menurut Geoffrey Roper's World Survey of Islamic Manuscripts.
Universitas ini juga menyimpan koleksi naskah Alquran terbesar dan terlengkap dengan jumlah lebih dari 100 manuskrip. Koleksi Leipzig termasuk pula perpustakaan pribadi milik keluarga ar-Rifa'i dari Damaskus yang dibeli pada abad ke-19.
Pesatnya perkembangan teknologi meram- bah dalam teknik pemeliharaan naskah kuno lewat proyek digitalisasi naskah. Beberapa ta- hun terakhir, Leipzig University tengah mela- ku kan proyek digitalisasi manuskrip Islam asal Arab, Persia, dan Turki. Sejak 2012 hingga awal 2015, tercatat lebih dari 1.300 naskah telah didigitalisasi. Serupa, Universitas Yale dan School of Oriental and African Studies (SOAS) dan University of London juga melakukan digita- lisasi manuskrip Islam dari Arab dan Persia.
Kemudian, Harvard University belum lama ini juga melakukan proyek katalogisasi, konservasi, dan digitalisasi ratusan manuskrip Islam lewat proyek Islamic Heritage Project (IHP). Dilansir dari situs resmi Harvard University, sudah lebih dari 280 naskah, 275 teks cetak, dan 50 peta kuno dengan total lebih dari 156 ribu halaman didigitalkan.
Manuskrip tersebut berasal dari berbagai wilayah, termasuk Arab Saudi, Afrika Utara, Mesir, Suriah, Palestina, Irak, Iran, Turki, Asia Selatan, Asia Tengah, dan Asia Tenggara.
Subjeknya beragam, mulai dari sufisme, fikih, teologi, sampai hukum, sains, retorika, dan tata bahasa. Dengan cara itu, manuskrip-manuskrip tersebut kini dapat diakses secara bebas oleh pengguna internet.
Pusat-pusat keilmuan lain menyimpan naskah dalam jumlah beragam. Di Denmark, naskah tersimpan di the Royal Library, National Library of Denmark, dan Copenhagen University Library. Kemudian, Bibliotheque nationale de France di Paris, Staatsbibliothek zu Berlin di Jerman, Universitatsbibliothek Tubingen di Jerman, McGill University Library di Kanada, Biblioteca Nazionale Centrale di Firenze, dan Vatican Library (Biblioteca Apostolica Vaticana) di Italia. Naskah asal Timbuktu bahkan menempati satu koleksi tersendiri di Library of Congress, Washington DC.
Kesadaran
Kini, sejumlah negara Muslim mulai sadar pentingnya manuskrip-manuskrip islam. Mereka berusaha memperoleh kembali harta kekayaannya. Indonesia, misalnya, berulang kali berusaha mengambil kembali manuskrip yang telah diboyong ke Belanda dan Inggris.
Pada 2012, Sri Sultan Hamengkubuwono X meminta naskah-naskah kuno Kraton Yogyakarta di Inggris dan Belanda dikembali- kan. Perampasan naskah terbanyak di Kraton Yogyakarta terjadi pada masa Sir Stamford Raffles pada 1812.
Lebih dari 7.000 judul naskah dibawa ke Inggris. Padahal, sebagai perbandingan, kini hanya ada sekitar 363 naskah yang tersimpan di Kraton Yogyakarta. Peter Carey dalam Kuasa Ramalan mencatat, pascaperistiwa Geger Sepehi itu, tinggal beberapa buah manuskrip yang tersisa di kraton.
Salah satunya, salinan naskah Alquran yang oleh Raffles saat itu dianggap tidak penting. Kembalinya manuskrip-manuskrip Islam ke tangan Muslim jelas keuntungan besar. Namun, pada saat yang sama, Muslim dihadapkan pada tantangan komitmen perawatan naskah yang tidak murah. c38, ed: Nashih Nashrullah