Ahad 20 Sep 2015 17:24 WIB

Madrasah dan Konservasi Bahasa Jawa

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--"Man (sapane wong) Thalaba (kang nuprih sopo man) al-Ilma ( ing ilmu) Lilma'adi (kerono akherat) faza (mongko bejo) bifadlain (kelawan kautamaan) min ar-Rasyadi (saking pangeran ingkang paring pituduh". (Ta'lim al-Muta'allim).

Bagi murid yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren salaf, tentu saja mereka tidak asing lagi dengan penggalan kalimat di atas. Sebuah logat khas yang biasanya hanya dimiliki oleh madrasah yang berbasis salaf. Orang di luar dunia salaf mungkin jarang atau bahkan tidak pernah mendengar tentang hal tersebut.

Dalam konteks ini, banyak anggapan bagaimana bisa kita familier dengan bahasa dan logat itu? Padahal, ia tak lain adalah sama- sama bahasa daerah kita sendiri. Bahasa Jawa merupakan bahasa budaya masyarakat Jawa, bahasa yang kini mulai terjajah oleh dominasi bahasa yang "tren" di dunia pasaran dalam dewasa ini. Belum lagi, tantangan MEA 2015 yang menuntut kecapakan bahasa asing, entah Inggris, Korea, atau Mandarin. Akankah nasib dan potret bahasa Jawa akan semakin buram?

Bahkan, saat ini, di pelosok desa bahasa Jawa juga mengalami krisis. Dengan kata lain, bahasa Jawa tak lagi sebagai sumber linguistik anak-anak kita. Dengan perkembangan teknologi dan lain sebagainya, kini anak lebih suka mengucapkan yes atau okay ketimbang inggih. Bahkan, mereka sudah terjajah dengan dunia "alay", seperti halnya pada nyanyian yang sedang tren-tren saat ini, ketimbang "Lir- Ilir".

Dalam konteks andhap ashor, sikap rendah hati dan sopan santun yang telah kental dengan nuansa bahasa Ja wa krama inilah yang menjadikan urgensi murid untuk melestarikan bahasa daerah, ter utama ba hasa Jawa ba gi mereka yang tinggal di Pulau Jawa. Ini menyusul eksistensi bahasa ini yang kian tergusur. Upaya ini penting agar bahasa Jawa tetap les tari sebagai ba gian tak terle paskan dari kekayaan bahasa di Tanah Air.

Jangan anggap bahasa daerah, seperti Jawa adalah bahasa kampungan atau murahan. Justru, bahasa tersebut adalah khazanah tak ternilai. Tak heran bila banyak bangsa lain yang tertarik mengkajinya. Sema kin jauhnya generasi saat ini dengan bahasa daerah akan mengancam mereka tercerabut dari akar dan identitas budaya mereka. Ini mestinya menjadi keprihatinan dan tanggung jawab kita bersama.

Ahmad Musta'id

Mahasiswa Semester I UIN Walisongo Semarang

Saatnya Bertransaksi dengan Ilahi

Tak terasa, Dzulhijah telah menghampiri kita. Bulan di mana berkah banyak ditebarkan oleh-Nya. Bagi yang mampu, diberi kesempatan untuk menginjakkan kaki di tanah suci-Nya, Makkah. Dan, bagi yang masih menunggu kesempatan itu, juga diberi kebahagiaan dengan dibukanya pintu kesempatan beramal seluas-luasnya.

Mulai 1-8 Dzulhijah kita dianjurkan memperbanyak puasa dan puncak pada 9 Dzulhijah kita berpuasa Arafah. Jika puasa kita diterima pada hari tersebut, Allah SWT akan mengampuni dosa kita untuk satu tahun yang lewat dan tahun ini. Subhanallah.

Setelah sembilan hari kita banyak disibukkan dengan ibadah puasa, datanglah 10 Dzulhijah. Mulai hari tersebut, saat Idul Adha hingga tiga hari setelahnya atau hari tasyrik, kita dilarang berpuasa. Ini adalah hari kemenangan bagi umat Muslim selain Idul fitri. Pada hari itu pula kita dianjurkan untuk menyembelih hewan kurban. Ibaratnya, kita tengah mengurbankan atau menyembelih, membuang keburukan-keburukan yang ada dalam diri kita.

Ibadah kurban memang tak wajib hukumnya. Apalagi, mengingat untuk membeli hewan kurban butuh biaya yang tak sedikit. Namun, kita harus ingat bahwa pada kesempatan inilah Allah sedang menguji tingkat keimanan kita. Apalagi, jika kondisi ekonomi sedang pas-asan. Yang tebersit dalam benak kita barangkali pasti lebih baik kita saving point untuk kebutuhan tak terduga dan memenuhi kebutuhan ke depan daripada membeli hewan kurban yang tak semua bagiannya kita nikmati.

Kita harus sadar bahwa sesungguhnya berkurban sama dengan kita sedang bertransaksi dengan sang Ilahi. Zat yang maha kuasa atas segala sesuatu dan Ialah satu-satunya yang berhak mengatur jatah rezeki tiap makhluk-Nya.

Yang sering menjadi kekhawatiran kita, yakni bagaimana jika modal dari transaksi itu tak segera membuahkan hasil. Persepsi negatif seperti inilah yang pada akhirnya dapat mengurungkan niat baik kita untuk semakin mendekatkan diri dengan-Nya.

Ingatlah, Rasulullah SAW pernah menegaskan dalam hadis qudsinya bahwa Allah SWT senantiasa berada pada prasangka hamba-Nya. Jadi, berusahalah untuk senantiasi berprasangka baik. Bertransaksi dengan sang Ilahi jauh lebih indah dan lebih banyak memberi manfaat pada kehidupan kita.

Oleh karenanya, mari kita manfaatkan kesempatan untuk bertransaksi dengan sang Ilahi sebaik mungkin. Dapat dipastikan, tak hanya keuntungan secara materiil yang akan kita dapat, tapi keleluasaan hati dan ketentraman jiwa akan berkah-Nya juga akan kita dapat.

Zhivna Afniza

Mahasiswi KEPQ Nurul Hayat Surabaya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement