Ahad 13 Sep 2015 19:41 WIB

Membaca Ulang Cerita Rakyat

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA--Sebagian besar masyarakat kita tidak mengetahui arti penting dari keberadaan folklore, dan pentingnya sastra lisan yang belakangan ini kian terlupakan. Apalagi, dengan adanya perkembangan signifikan dalam bidang ilmu teknologi dan komunikasi yang menawarkan berbagai kemudahan telah menggiring masyarakat untuk berpikir serbapraktis.

Dalam keadaan seperti inilah masyarakat men jadi terasing dengan apa yang pernah diciptakannya sendiri, salah satunya ialah sastra lisan. Padahal jika kita melongok jauh ke belakang, kelisanan berusia lebih tua dari keberaksaraan. Sastra sebenarnya tak hanya mengacu pada bentuk tulis, tetap harus ada dikotomi antara sastra lisan dan sastra tulis.

Dalam khazanah sastra nusantara, Huto mo (1991) menguraikan bahwa sastra lisan merupakan salah satu bagian dari tradisi lisan yang mencakup ekspresi sastra suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan secara lisan. Cerita rakyat merupakan karya nenek moyang yang diceritakan dari generasi ke generasi dalam masyarakat kolektif yang empunya cerita.

Adapun jenis cerita rakyat di antaranya adalah mitos, legenda, dongeng, dan bentuk-bentuk naratif lainnya. Mitos merupakan prosa naratif yang dalam masyarakat pemiliknya diyakini sebagai kejadian yang benar-benar terjadi pada masa lampau, dianggap memiliki kekuatan untuk menjawab ketidaktahuan atau ketidakpercayaan.

Biasanya dianggap suci, ditokohi oleh manusia suci yang mempunyai kekuatan supranatural atau yang memiliki hubungan dengan dunia atas, yakni kedewaan atau kayangan.

Legenda merupakan jenis prosa rakyat yang paling memiliki nilai sejarah, terutama sebagai sumber penyusunan sejarah lokal desa-desa di indonesia dari masa yang belum begitu lampau.

Namun, untuk menggunakannya sebagai sumber sejarah, legenda harus dibersihkan dari praduga unsur-unsur folklore yang pralogis, serta perlu juga mempelajari penyatuan desa-desa tersebut dan bentuk folklore lain yang ada di masyarakat.

Selanjutnya dongeng, merupakan prosa naratif yang bersifat fiksi, tidak dipercayai sebagai dogma atau sejarah, tidak dianggap serius, da pat terjadi di mana saja dan kapan saja. Biasanya merupakan pengalaman perjalanan bi na tang, peri, atau tokoh manusia; dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun ada juga dongeng yang melukiskan kebenaran, pelajaran (moral) atau bahkan sindiran.

Selama penulis melakukan mini riset: menginventarisasi, mentranskripsikan cerita-cerita rakyat, penulis sampai pada sebuah kesimpulan bahwa cerita-cerita tersebut sudah jarang, bahkan tidak pernah lagi dituturkan kepada generasi muda; ada semacam mata rantai pengetahuan yang terputus di sini. Dengan begitu, hal itu kian mempersulit seseorang yang hendak melakukan riset karena kesulitan mengakses inilah membuat para peneliti dan orang-orang yang ber kepentingan dengan cerita rakyat menjadi tidak bergairah dan enggan.

Hal ini cukup urgen untuk segera disikapi, mengingat cerita rakyat --sebagai wujud ekspresi sastra-- memiliki keunikannya tersendiri. Bila tidak lagi dituturceritakan kepada generasi beri kutnya, berarti cerita yang dulunya hidup di tengah masyarakat yang empunya cerita telah mati tanpa disadari. Karena, cerita rakyat tidak memiliki bukti fisik (artefak) keberadaannya, dan hanya hidup diangan-angan masyarakat kolektifnya.

Stigma yang sering muncul di dalam masyarakat modern adalah pertanyaan seputar re le vansi value atau isi sastra lisan yang berkonotasi kuno-kolot (sub-altern) dan bersifat verbal akan mengalami kesulitan dalam ruang geraknya membidik alam pikiran manusia di era kekinian yang serbateknokratis. Belum lagi persoalan media di mana keberaksaraan (tulis) sudah diakui secara masif sebagai tradisi yang telah mapan, meski tak menutup kemungkinan akan mengalamai dinamika, bertranformasi dalam bentuk yang lebih baru lagi.

Hal ini tentu berpengaruh bagi keberadaan sas tra lisan kita yang semakin mengalami pengasingan akibat menguatnya tradisi tulis. Jarak pemisah yang timbul antara tradisi lisan dan tradisi tulis akan semakin kentara, apabila tidak ada usaha untuk menggali serta merekonstruksi sastra lisan.

Pada dasarnya, secara kontekstual isi yang dikandung dalam cerita rakyat, baik secara eks plisit maupun implisit, tuturan cerita yang disampaikan masihlah sangat relevan de ngan situasi masyarakat sampai saat ini, yaitu kecenderungan mengungkapkan tabiat, persoalan individu ataupun persoalan sosial yang terjadi di masyarakat. Bisa juga sebagai pembuktian yang menyimpan begitu banyak kearifan lokal yang merepresentasikan zaman di mana cerita itu hidup dan berkembang di tengah masyarakat kolektifnya.

Jika saja kearifan lokal yang ada dalam ce rita rakyat itu kita tarik kemudian kita sanding-bandingkan dengan realitas kekinian yang menggejala dalam hidup bermasyarakat, kita akan merasa malu, menjadi generasi yang mengalami krisis identitas dan senantiasa gelisah dalam memosisikan diri. Maka, melalui cerita rakyat diharapkan bisa menjadi semacam filter dari gencarnya invasi budaya asing.

Usaha pemeliharaan sastra lisan perlu diupayakan oleh para guru bahasa dan sastra Indonesia di sekolah, akademisi-dosen sastra, peneliti independen, dan para pemerhati budaya untuk lebih menyeriusi pelestarian sastra lisan yang hidup tertimbun di dalam masyarakat. Hal ini perlu diangkat kembali ke permukaan. Sebab, alienasi sastra lisan di tengah masyarakat pendukungnya, mengakibatkan orang menjadi enggan untuk bersentuhan mempelajarinya.

Jika sudah demikian, tidaklah mustahil apabila peninggalan nenek moyang kita yang adi luhung ini akan punah. Padahal, dari cerita-tutur yang disampaikan itulah, kita bisa mendapat titik terang untuk mengenali tata kelakuan, pan dangan hidup, serta etika pendukungnya, seperti teknologi tradisional, unsur religi, dan hukum adat orang masa lampau. Cerita rakyat menjadi begitu penting untuk dilestarikan sebagai aset identitas kultural. Sebab, bangsa yang tangguh, harus memiliki ketahanan budaya yang senantiasa terjaga keutuhannya.

Oleh: Aditya Ardi N*

*Aditya Ardi N Penyair, lahir di Jombang, 7 Januari 1987.

Bergiat di LISWAS Ngoro Jombang. Beberapa karya puisi dan esai dimuat di media lokal maupun nasional dan beberapa jurnal kebudayaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement