Ahad 23 Aug 2015 17:43 WIB

Kebangkitan Nasionalisme Indonesia di Tangan Islam

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Hubungan elite pribumi dengan pendidikan Barat di satu sisi dan jaringan ulama MAkkah- Madinah di sisi lain telah membawa dinamika menarik dalam perjalanan nasionalisme di Indonesia. Persinggungan keduanya tak jarang berakhir pada perdebatan serius, tapi juga menjaga kehadiran napas Islam dalam gagasan kebangsaan yang baru.

George McTurner Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia mencatat sejumlah aspek yang menjadi pendorong munculnya nasionalisme di Indonesia. Selain kesatuan teritori, rasa persatuan Indonesia dibentuk oleh agama Islam, bahasa kesatuan, volksraad (majelis rakyat), dan surat kabar. Lebih dari 90 persen penduduk Indonesia menganut Islam, kata Kahin saat itu, jelas merupakan faktor terpenting yang mendukung pertumbuhan suatu nasionalisme yang terpadu.

"Agama Islam bukan hanya suatu ikatan biasa, ini benar-benar merupakan semacam simbol `kelompok dalam' (in group) untuk melawan pengganggu asing dan penindas suatu agama berbeda," tegas Kahin. Sastrawan yang lazim dicap kiri, seperti Pramoedya Ananta Toer pun mengungkapkan hal serupa dalam tetralogi Bumi Manusia.

Hampir senada, Prof WF Wertheim dalam Indonesian Society in Transition: A Study of Social Change menekankan bahwa faktor perubahan ekonomi, perubahan sistem status, urbanisasi, reformasi agama Islam, dinamika kebudayaan yang semuanya terjadi dalam masa kolonial telah memberikan kontribusi perubahan reaksi pasif dari pengaruh Barat kepada reaksi aktif nasionalisme Indonesia.

Secara global, kaum Muslim menyambut antusias gagasan ini lantaran hampir sebagian besar kawasan dunia Islam mengalami penjajahan. Kebangkitan nasionalisme di dunia Islam bersamaan waktunya dengan kemunculan gerakan pembaruan pemikiran Islam. Dalam konteks ini, gerakan pembaruan Islam saling silang terhadap pertumbuhan semangat nasionalisme.

Selain pendidikan Barat, gagasan kemerdekaan telah diperoleh lewat hubungan intensif antara ulama Tanah Air dan ulama Timur Tengah. Jamaluddin al- Afghani dan muridnya, Muhammad Abduh, menerbitkan majalah al-Urwah al-Wutsqa selama masa pengasingan di Prancis. Lewat majalah ini, mereka menyerukan perjuangan umat Islam agar terlepas dari dominasi pejajahan Barat. Gagasan pembaruan itu kian tersebar luas ketika Rasyid Rida menerbitkan majalah al-Manar di Mesir.

Majalah al-Manar inilah yang secara konkret menjabarkan ide-ide al-Afghani dan Muhammad Abduh serta berpengaruh langsung kepada gerakan modernisme Islam di Asia Tenggara. Tokoh-tokoh pembaru ini tampil mengkritisi kelemahan umat Islam.

Eropa dapat menguasai negara- negara Muslim, tidak lain karena umat Islam tenggelam dalam kebodohan dan keterbelakangan. Karena itu, umat Islam harus mencerdaskan diri dan meningkatkan taraf kehidupan. Pengaruh reformisme ini menggugah kesadaran umat Islam di negara-negara Muslim.

Prof Ridwan Lubis dan Muhamad Hisyam dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam menuturkan, kesadaran kebangsaan itu mula-mula tumbuh di Turki. Gencarnya tekanan Eropa terhadap imperium Turki Utsmani yang kian melorot menyebabkan Turki berusaha mempertahankan diri. Sayangnya, negara ini terjebak pada sekularisme dan `turkifikasi', men-Turki- kan segala sesuatu.

Selanjutnya, nasionalisme tumbuh di Mesir pada masa pemerintahan Chediv Ismail pada akhir abad ke-19. Waktu itu, Inggris mulai ikut campur dalam urusan dalam negeri Mesir. Ketika intervensi ini disadari rakyat, muncul paham kebangsaan mereka.

Kesadaran yang tumbuh samar-samar itu mendapatkan gaungnya setelah terendapkan dalam pemikiran Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan kawan-kawan. Prancis turut memperkuat pertumbuhan nasionalisme Mesir dengan mengundang tokoh Mesir untuk datang ke Prancis.

Islam membentuk watak antikolonial sekaligus menjembatani perbedaan etnis dalam pembentukan nasionalisme. "Pergerakan Islam pulalah yang pertama-tama meretas jalan di negeri ini bagi kegiatan politik yang mencita-citakan kemerdekaan yang telah menebarkan benih kesatuan Indonesia," kata M Natsir dalam Indonesisch Nationalism, Pembela Islam No 36 Oktober 1931, sebagaimana dikutip Endang Saifuddin Anshari dalam "Piagam Jakarta 22 Juni 1945."

"Konsep nasionalisme dalam pengertian ikatan persatuan antaretnis untuk pertama kali dipakai dan memperoleh makna persatuan yang sesungguhnya oleh dan dari kalangan Islam," sambung Natsir. Serupa, Deliar Noer dalam The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1990-1942 menambahkan bahwa Islam identik dengan nasionalitas. Dapatlah dikatakan bahwa nasionalisme di Indonesia dimulai dengan nasionalisme Muslim.

Sarekat Islam

Di Tanah Air, catat Ridwan Lubis dan Muhamad Hisyam, Sarekat Islam (SI) merupakan gerakan politik nasional pertama di Indonesia yang tidak saja meletakkan dasar, tetapi sekaligus menegakkan kesadaran nasionalisme modern Indonesia. Meski organisasi Boedi Utomo lebih dulu terlahir, tambah keduanya, organisasi yang berbasis kaum priyayi ini hanya melingkupi Jawa dan Madura. SI lebih demokratis dan egaliter dalam soal keanggotaan.

Dinamika nasionalisme di Indonesia bukannya tanpa perdebatan. Umat Islam tentu tidak bisa melupakan sosok Mohammad Natsir, lengkap beserta perdebatannya soal dasar negara dengan Bung Karno.

Pada abad ke-20 perbedaan antara kaum nasionalis Islam dan nasionalis sekuler berkutat seputar perbedaan pandangan tentang landasan berpijak di atas mana Indonesia akan ditegakkan. Perbedaan pandangan antara kaum nasionalis sekuler dan nasionalis Islam itu diwakili oleh M Natsir dan Sukarno sekitar 1940.

Endang Saifuddin Anshari menyebutkan, Sukarno yang mewakili nasionalis Muslim sekuler menulis seri artikel bertajuk Memuda'kan Pengertian Islam, Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara, dan Apa Sebabnya Turki Memisahkan Agama dari Negara. Sementara, M Natsir menjawab perdebatan itu dengan sembilan artikel berkala berjudul "Persatuan Agama dan Negara". Perdebatan yang berlangsung elegan itu, dikatakan Deliar Noer, mewakili pandangan- pandangan dua kelompok terpenting di Indonesia, yakni para nasionalis Muslim dan nasionalis netral agama.

Perdebatan ini merupakan klimaks perbedaan pendapat antara dua kelompok tersebut selama masa kolonial. Ketegangan kedua golongan ini terus berlanjut dalam perumusan dasar negara, bahkan terwarisi dalam situasi perpolitikan era sekarang. Akan tetapi, yang patut dicatat, perbedaan pandangan ini tidak pernah menyempal dari garis perjuangan untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia.

Yudi Latif dalam bunga rampai 100 Tahun Mohammad Natsir menulis, Natsir tak ragu mengakui Pancasila sebagai dasar negara. Polemik pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tentu tak dapat dilupakan kaum Muslim, akan tetapi dalam pidato di Pakistan Institute of World Affairs 1952, ia membela Pancasila yang dinilainya selaras dengan nilai-nilai Islam. c38, ed: Nashih Nashrullah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement