Rabu 01 Jul 2015 14:34 WIB

Islam Nusantara

Red:

Tanggapan M Ishom Yusqi pada 25 Juni 2015 terhadap opini Ahmad Sastra sekitar "Nusantara Islam" atau "Islam Nusantara" cukup memadai meskipun belum membuat pembaca seperti saya turun berkeringat. Ishom mencoba menanggapi opini Sastra tampak terlalu kontekstual, jika tidak mau dikatakan tradisional.

Pertama, saya tertarik analisis Ishom terhadap potret keberagamaan masyarakat Nusantara yang dihubungkan dengan pola pengembangan dakwah dengan "menghargai tradisi" masyarakat setempat. Kata-kata "menghargai tradisi" dalam perspektif sosial memiliki makna adanya subjek tertentu yang dominan atau superior. Subjek dominan dalam konteks ini adalah Islam.

Dalam paparan selanjutnya, Ishom sama sekali tidak mendapatkan argumen bahwa Islam diterima masyarakat Nusantara tidak melalui penaklukan atau kekerasan. Pandangan tersebut serupa dengan pandangan beberapa ahli sejarah sebelumnya.

Namun, argumen tentang mengapa masyarakat Nusantara menerima Islam masih luput dari pengamatan Ishom maupun opini Satra sebelumnya. Padahal, pengungkapan tentang alasan masyarakat Nusantara menerima Islam barangkali bisa menyadarkan pembaca lebih bijaksana dalam konteks psikologi masyarakat Nusantara.

Apabila mengacu pandangan SN Alatas (1982) alasan mengapa masyarakat Nusantara begitu cepat menerima Islam, dapat sedikit mencerahkan. Bagi Alatas, Islam bisa diterima masyarakat Nusantara dan bahkan melibas Hindu yang sudah lama ada karena pandangan ke bawah, berikut, pertama, ajaran Hindu dalam pandangannya terlalu filosofis sehingga hanya dapat dicerna oleh kalangan tertentu saja, seperti para raja lokal dan para cerdik saat itu. Masyarakat kebanyakan tidak bisa mencerna ajaran terlalu filosofis tersebut.

Kedua, dalam Islam sendiri mengandung aspek-aspek yang lebih berasa sastra dibanding filsafat, seperti tampak pada ungkapan-ungkapan ayat Alquran. Rasa sastra ini pula yang umum menjadi kebudayaan Melayu Nusantara. Perpaduan dua bentuk budaya dengan rasa serupa tampaknya menjadi jembatan emas mulusnya Islam berkembang di Nusantara.

Tasawuf

Aspek lainnya yang berhubungan dengan rasa dalam konteks Islam di Nusantara adalah tasawuf. Aspek tasawuf yang menjadi sisi tertentu corak Islam memiliki nilai rasa serupa dengan kebatinan dan penghayat sebagai keyakinan masyarakat lokal Nusantara. Argumen terakhir inilah yang menyugesti banyak ahli mengatakan bahwa Islam masuk ke tatar Nusantara memiliki kekhasan tersendiri.

Penyebaran Islam di Nusantara memang memiliki karakter tersendiri dibandingkan dengan penyebaran Islam di daerah dekat tempat lahirnya Islam, Timur Tengah. Mengacu pendapat Ira M Lapidus dalam History of Islamic Societies, penyebaran Islam di Nusantara lebih dekat dengan proses serupa ke dataran Afrika (African land) seperti tampak pada praktik dan pemahaman Islam masyarakat.

Praktik dan pemahaman Islam dimaksud cenderung pada tasawuf (mistik) yang memang menjadi karakter penyebaran Islam di Asia dan Afrika. Pandangan demikian banyak dianut juga oleh para sarjana Barat lainnya, seperti AH John, HJ Benda, Drews, MC Rickleft, dan C Geertz.

Praktik tasawuf sebagai bentuk praktik akulturasi dan asimilasi Islam dengan budaya lokal tidak bisa dibantah dengan mempertimbangkan tradisi mistik dan bahkan magic masyarakat di lokasi-lokasi yang didatangi Islam. Tradisi tersebut juga dipeluk oleh penguasa-penguasa lokal, baik sebelum maupun sesudah memeluk Islam.

Penguasa-penguasa lokal (raja-raja lokal), setelah masuk Islam kemudian diganti dengan panggilan sultan (sulthon) yang artinya ‘penguasa’ atau raja. Sultan-sultan tersebut, meskipun sudah mengalami perubahan nama, pada faktanya tetap memiliki peran dan fungsi sebagaimana raja sebelumnya. Sultan adalah jelmaan Tuhan di bumi (khalifat fi al-ard). Suaranya, gagasan, dan perintahnya adalah juga perintah Tuhan yang harus diikuti dan ditaati. Mengabaikan dan melawan sultan berarti melawan Tuhan; suatu sikap yang terlalu sombong dan bahkan dapat menimbulkan malapetaka apabila dilakukan.

Sultan-sultan tersebut di Nusantara sangat banyak dan menjadi karakter tersendiri dalam bangunan sistem sosial, budaya, dan politik masyarakat Nusantara. Sultan-sultan itu sangat jelas dapat memperkuat Islam dan memajukannya menjadi bagian penting dalam sistem sosial dan politik saat itu, bahkan hingga sekarang. Dalam hubungannya dengan Islam kemudian, para sultan juga memberi andil tidak kecil, jika tidak dikatakan dominan, dalam proses Islamisasi Nusantara.

Dominasi sultan-sultan dalam proses Islamisasi tampak kuat dalam fakta-fakta arkeologis, filologis, dan sosio-historis sebagai bentuk tinggalan sultan, yang pada sentra-sentra tertentu masih lestari hingga sekarang dalam bentuk kesultanan Nusantara. Di Jawa ada Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten, dan Kesultanan Surakarta.

Di Madura ada Kesultanan Sumenep yang sebagian besar sultannya sangat mesra berhubungan dengan Belanda. Di Kalimantan ada Kesultanan Banjar dan Inderapura di Sumatra. Masih di Sumatra, juga dikenal Kesultanan Aceh, Malaka, Riau, dan Kesultanan Jambi.

Begitu juga di Sulawesi, Kerajaan Bone dan Ternate menjadi maskot sentra fakta-fakta arkeologis kesultanan di Nusantara. Kesultanan Nusantara merupakan bagian inti dalam mengukur struktur sosial dan budaya di Nusantara. Agama, dalam hal ini Islam, merupakan gagasan dan peradaban yang mengisi sirkulasi peradaban manusia Nusantara. Islam dan kesultanan telah melewati masa-masa kemesraan dan "bersetubuh" hingga melahirkan anak cucu peradaban kesultanan Islam Nusantara yang beragam hingga sekarang.

Islam dan Arab

Tanggapan kedua tentang argumen Ishom atas opini Sastra adalah tentang Islam dan Arab. Ishom membedakan antara Arab dan Islam dengan memosisikan Arab sebagai salah satu simbol Islam dan bukan sebaliknya, Islam adalah simbol Arab. Hubungannya dengan konteks Islam di Nusantara, akan lebih "aman" jika dikatakan merupakan kelanjutan (sustainability) dari Islam di Arab.

Adapun kemudian terdapat perkembangan dan dinamika merupakan konsekuensi dalam setiap proses perubahan dan perkembangan sosial budaya dalam masyarakat Nusantara. Budaya Nusantara terus berkembang, begitu pula Islam, seolah perpaduan itu tidak terpisah sebelumnya.

Setelah terjadinya proses dialektika dan akulturasi budaya, maka jadilah Islam dan budaya Nusantara menjadi sulit dipisahkan atau dalam bahasa singkat disebut "Islam Nusantara". Jika begitu, manakah yang dikatakan "universalnya"? Islam yang universal atau Nusantaranya atau kedua-duanya memiliki aspek keuniversalan?

Sentral pembicaraan tentang topik Islam Nusantara ini sebenarnya adalah yang berada di balik munculnya "Islam" dan Nusantara, yaitu sebagai budaya. Subjek sekaligus pemilik budaya adalah manusia.

Atas statement seperti ini, maka keuniversalan Islam maupun yang berada dalan Nusantara adalah aspek kemanusiaannya. Sisi-sisi humanisme ini, baik yang menempel dalam Islam maupun dalam kultur Nusantara, akan tetap sama atau universal. Terkadang dalam praksisnya "cover Islam" maupun "cover Nusantara" tumpang tindih saling bergantian. Penggunaan kata Islam Nusantara adalah penyederhanaan dan atau pemendekan atas konsep Islam dan Nusantara dalam konteks kemanusiaan universal.

Apabila berpijak pada perspektif sisi kemanusiaan yang lebih ditonjolkan maka kekhawatiran terhadap diskusi Islam Nusantara tidak akan terjebak pada alergi "Arabisasi phobia" maupun "phobia Nusantara". Seorang Muslim Nusantara tidak terlarang menggunakan simbol Arab, tapi juga tidak wajib menggunakan simbol Nusantara, begitu sebaliknya.

Simbol Arab maupun Nusantara dan simbol-simbol lainnya dapat digunakan manusia untuk keselamatan dan kesejahteraannya. Namun, di akhir tulisan ini saya ingin mengonfirmasi bahwa gagasan Nusantara Islam atau Islam Nusantara tepat apabila diposisikan dalam kerangka teknik akademik, seperti juga konsep Islam Barat dan Islam Timur yang biasa dikenal dalam khazanah studi Islam. Wallahu a'lam. 

Acep Aripudin

Dosen UIN SGD Bandung, Kepala Bidang Litbang Khazanah Balitbang Diklat Kemenag RI

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement