Ahad 24 May 2015 19:34 WIB

Muchlis M Hanafi Perlu Waktu untuk Memopulerkan Langgam Nusantara

Red: operator

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Lagu-lagu bacaan Alquran non-Arab, selama tartil, tajwid, dan makhraj hurufnya terpenuhi, menurut Dewan Pakar Pusat Studi Alquran (PSQ) Jakarta, Muchlis M Hanafi, tak akan mereduksi sakralitas Alquran. Persoalannya terletak pada bahwa langgam-langgam Nusantara, misalnya, belum bersifat universal. Berbeda dengan langgam yang sudah populer di dunia lainnya yang bila dibaca oleh Muslim manapun dari seluruh dunia itu akan bisa diresapi. "Butuh waktu untuk menjadi universal," katanya.Berikut perbincangan wartawan Republika, Amri Amrullah, dengan Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran Kementerian Agama ini: 

Dari manakah asal-usul nagham-an Alquran itu muncul? 

Anjuran Rasulullah untuk membaca Alquran dengan suara indah sudah disampaikan kepada para sahabat. Karena itu, banyak para sahabat yang terkenal dengan suara merdunya ketika membaca Alquran, seperti kabilah atau klan Asy'ari, salah satunya Abu Musa al-Asy`ari yang disenangi Nabi karena memiliki suara merdu. Dan banyak sahabat lainnya yang memiliki suara merdu saat membaca Alquran. 

Tapi memang belum diketahui bagaimana nagham, nada, dan iramanya pada saat itu karena tidak ada rekamannya. Jadi kita tidak bisa berkata bahwa bentuk-bentuk nagham yang ada dan umum digunakan saat ini memang sudah dari awal masa Rasul. 

Adapun Nabi menganjurkan umat Islam untuk membaca Alquran dengan suara yang merdu, iya memang benar. Tapi, suara yang merdu, nagham yang indah itu seperti apa? Ya kembali kepada budaya masyarakat. Oleh karena itu, Imam Syafi'i mengatakan, "Hendaknya memperindah dan memperbagus dalam membaca Alquran dalam bentuk (langgam apa pun). 

Munculnya nagham tidak diketahui persis apakah pada zaman Nabi sudah ada seperti sekarang. Tapi, yang jelas sejarah yang bisa kita telusuri pertama kali yang membacakan Alquran dengan nagham seperti sekarang ini adalah Ubaidillah bin Abu Bakrah, putera salah seorang sahabat Nabi yang wafat pada 79 Hijriyah.

Kemudian nagham itu berkembang dan penemuannya itu berkaitan dengan penghayatan masyarakat Muslim pada generasi awal di beberapa wilayah. Ada yang di Persia, Irak, Hijaz, karena itu muncul nama-nama sika yang berasal dari bahasa Persia, nahawand yang merupakan sebuah kota di Iran, Bayati lahir dari sebuah keluarga al-Bayati di Irak, dan hijaz wilayah di Jazirah Arab.

Bagaimanakah lagu pembacaan Alquran pada masa Rasul? Dan apakah lagu tauqifi?

Tidak diketahui bentuk bacaan Nabi dan tidak diketahui persis bagaimana bentuk bacaan para sahabat yang dianggap indah dan merdu oleh Rasulullah pada saat itu. Jadi, transmisi lagu khususnya pada masa awal itu tidak bisa diketahui secara persis, jadi kita tidak bisa berkata langgam atau nagham itu adalah sesuatu yang tauqifi.

Membaca Alquran secara tartil itu tauqifi, sesuai dengan makharijul huruf, oleh karena itu ilmu tajwid menjadi penting bahkan wajib. Nabi menganjurkan untuk menghiasi membaca Alquran dengan suara merdu itu juga harus diikuti. Hanya bagaimana bentuk merdu dan indah tersebut tidak ada penjelasan.

Apakah dibenarkan menggunakan nagham non-Arab? 

Langgam atau nagham (nada dan irama) kembali ke persoalan budaya, bukan agama.Persoalan agama dalam membaca Alquran itu bacalah dengan tartil sesuai tajwid dan makharijul huruf-nya. Bagian dari agama adalah memperindah dan memperbagus bacaan Alquran, tapi bagaimana memperbagus dan memperindahnya itu kembali lagi kepada budaya dan masyarakat dengan penghayatannya masing-masing.

Karena langgam atau nagham yang dipilih itu sesungguhnya merupakan ekspresi dari penghayatan dari makna Alquran. Maka terciptanya tujuh nagham yang populer- walaupun sebenarnya banyak jenisnya, itu sebenarnya bukan sekadar untuk rasa atau karsa tapi juga untuk makna. Jadi dasar penggunaan nagham itu adalah makna. Maka jenis-jenis nagham itu sesungguhnya ekspresi. 

Misalnya seperti orang yang sedang membaca tentang ayat-ayat tentang azab dan kesedihan, menggambarkan suasana rohani dan emosi yang menggelora itu menggunakan nagham atau langgam shaba. Sebaliknya, ketika suasana kenikmatan terkait dengan surga dan sebagainya, nada nahawand yang lebih tepat. Kemudian, tidak ada keterangan untuk tidak menggunakan nagham atau langgam yang lain baik arab dan non-Arab.

Tapi ada hal penting, tiga hal yang harus dijaga tadi, makharijul huruf harus tepat sebab kalau tidak tepat akan mengubah redaksi dan arti. Kemudian, ilmu tajwid termasuk panjang pendeknya dan harus diiringi dengan penghayatan atas makna- makna ayat yang dibaca tersebut.

Selama syarat dan ketetentuan tartil terpenuhi, apakah langgam mereduksi sakralitas Alquran?

Tidak ada sakralitas Alquran yang terkurangi selama syarat-syarat yang saya sebutkan tadi terpenuhi. Jadi ini persoalannya budaya dan kebiasaan, oleh karena itu patut diperhitungkan juga siapa pun yang membaca Alquran. Selain dari penghayatan diri, dari pembacanya juga pendengarnya harus dipertimbangkan. 

Sebab boleh jadi merdu atau indah menurut pembaca dengan menggunakan langgam tertentu--Jawa, misalnya--belum tentu indah atau merdu di telinga orang yang berasal dari daerah lain atau yang tidak biasa mendengar langgam itu, misalnya.

Jadi, ketika membaca Alquran ada baiknya juga memperhatikan suasana kebatinan orang yang mendengar bacaan tersebut.Karena langgam-langgam Nusantara ini belum bersifat universal. Berbeda dengan langgam yang sudah populer di dunia lainnya, yang bila dibaca oleh Muslim mana pun dari seluruh dunia itu akan bisa diresapi. Nah, langgam nusantara ini perlu waktu untuk bisa bersifat universal atau bisa diterima semua pihak. Dan pada akhirnya nanti langgam-langgam itu akan terseleksi secara alami.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement