Ahad 03 May 2015 19:14 WIB

Muharram Marzuki Tak Ada Toleransi dalam Sinkretisme Akidah

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, Sinkretisme agama lokal dengan Islam tak bisa dinafikan. Karena itu, menurut Kepala Pusat Litbang Kementerian Agama Bidang Agama dan Keagamaan Muharram Marzuki Phd, perlu dipahami bahwa tidak boleh dan tidak ada toleransi pencampuran akidah keyakinan lokal dengan Islam karena itu akan merusak iman Islam. "Tapi selama itu sifatnya bukan keyakinan, tapi budaya tidak ada masalah," tuturnya. Berikut ini petikan wawancaranya dengan wartawan Republika, Amri Amrullah:

Agama/keyakinan lokal, lebih dulu eksis di Indonesia sebelum Islam. Bisa dijelaskan?

Memang sebelum Islam datang ke Indonesia itu sudah ada kepercayaan-kepercayaan lokal animisme, dinamisme. Kemudian datanglah Hindu, Buddha, itu semua agama ardhi, agama itu semua masuk setelah berkembangnya kepercayaan lokal. Masalah keyakinan lokal pada prinsipnya merupakan tradisi yang sudah muncul dari masyarakat kita. Di antaranya ada kepercayaan Tengger, Badui, Sunda Wiwitan, dan Kejawen.

Sejauh mana konsistensi suatu masyarakat memegang keyakinan/agama leluhur mereka?

Tingkat konsistensi mereka yang masih memercayai agama leluhur, itu sama seperti agama ardhi, mudah untuk mencampuri ritual dan kepercayaan mereka. Tapi, mereka juga meyakini adanya kekuatan yang lebih besar sebagai Tuhan atau dewa. Dan mereka juga meyakini adanya kehidupan setelah mati dan ada ganjaran dari kehidupan di dunia.

Mereka memiliki keyakinan sama, mereka yang selama hidup memiliki perilaku yang baik maka di kehidupan kemudian juga akan baik, begitu juga sebaliknya.

Tapi, memang konsistensi kepercayaan lokal jauh lebih rendah daripada agama selain agama ardhi (agama samawi), seperti Islam. Ini terlihat ketika Islam masuk ke Indonesia yang prosesnya secara damai, menyesuaikan dengan budaya lokal dan akhirnya diterima dengan mudah oleh masyarakat di nusantara.

Salah satu karakter agama lokal/keyakinan dinamis. Bisa dijelaskan??

Semua agama sebenarnya dinamis. Selama penganutnya bisa menerima agama itu maka kedinamisan agama itu terjadi. Kedinamisan itu juga tergantung perkembangan masyarakat itu sendiri dan juga perkembangan zaman juga.

Keyakinan bagi agama lokal itu meskipun diyakini dari nenek moyang mereka, bisa saja terjadi perubahan atau bahkan mencampurinya.

Karena itu bisa juga agama yang lahir dari budaya itu sangat dinamis. Di sisi lain kalau keyakinan yang bukan berasal dari budaya, bisa tidak dinamis juga selama ia tidak yakin pada kepercayaan ini. Itulah persoalan keyakinan. Jadi agama lokal itu bisa dikatakan dinamis tergantung pada penganutnya.

Apakah itu menjadi faktor diterimanya Islam dengan mudah di Indonesia?

Sebenarnya bukan masalah agama lokalnya itu yang dinamis atau mudah menerima, tapi agama yang masuk ke bumi Nusantara itu yang lebih memberikan pencerahan bagi masyarakat.Jadi bisa diterimanya agama di Nusantara itu karena karakter akulturatitatifnya, termasuk kedatangan agama Islam.

Islam masuk ke Indonesia ini kan bukan karena peperangan, tapi dengan cara akulturatitatif yang dilakukan oleh para wali dan sunan dengan budaya di Nusantara. Tidak langsung serta-merta orang di suruh shalat, zakat dan puasa, tapi diikuti irama kehidupan lokal sampai mereka merasa ada perubahan yang sifatnya evolutif pada kepercayaan mereka.

Sehingga, masyarakat lokal itu tidak merasa ada perubahan kepercayaan dan budaya yang secara drastis. Tapi, setelah mereka masuk ke dalam Islam, mereka baru merasa ternyata perubahan yang terjadi membawa kehidupan yang lebih baik dengan agama yang telah dianutnya.

Tetapi di titik tertentu muncul sinkretisme. Menurut Anda?

Memang ada sisi lain dari proses tersebut, yakni terjadinya sinkretisme agama. Orang yang awalnya beragama Hindu, mereka terbawa dengan adat dan budayanya. Proses Islam masuk, umpamanya, yang mempertimbangkan budaya lokal , masih ada yang memahami aliran- aliran agama lokal itu dibawa pada keimanan dalam Islam atau pada ritual kehidupan.

Karena itu, perlu dipahami bahwa tidak boleh dan tidak ada toleransi pencampuran akidah keyakinan lokal dengan Islam karena itu akan merusak iman Islam. Tapi, selama itu sifatnya bukan keyakinan, tapi budaya, tidak ada masalah. Nah, inilah yang menjadi keistimewaan Islam di nusantara, dibandingkan dengan Islam dari jazirah Arab dan Timur Tengah.

Justru bila budaya Arab dan Timur tengah yang dibawa ke Indonesia malah tidak cocok di masyarakat. Inilah yang terjadi sekarang ketika ada yang ingin memaksakan Islam dengan karakter Arab dan Timur Tengah, tanpa kearifan lokal di Indonesia, banyak terjadi gesekan di masyarakat.

Kita meski bijak bersikap, bahwa Islam, ya, Islam, budaya lokal, ya, budaya lokal. Artinya, budaya lokal bisa menjadi jembatan agar orang bisa memahami Islam yang ramah dan cinta damai dengan karakter di nusantara. Jadi pada intinya Islam bagaimanapun tidak bisa dicampur adukkan secara akidah, tapi secara budaya Islam tidak berhalangan satu sama lain, justru berdampingan. ed: Nashih Nashrullah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement