Ahad 03 May 2015 18:55 WIB

Pasang Surut Agama Lokal di Nusantara

Red: operator

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Jauh sebelum berdirinya Republik Indonesia, masyarakat di Nusantara memiliki tradisi keberagamaan yang sangat jamak. Tidak hanya agama utama, seperti Islam dan Kristen, tetapi juga kepercayaan lokal dengan sistem ajaran dan tradisi yang telah mengakar di tengah- tengah masyarakat sejak lama.

Kepercayaan lokal yang beragam itu tersebar di sejumlah daerah. Beberapa di antaranya adalah Kejawen di Jawa, Sunda Wiwitan di Jawa Barat dan Banten, dan Parmalim di Sumatra Utara. Selain itu adalah pula Kaharingan yang dianut masyarakat Dayak di Kalimantan, Aluk Todolo di Toraja (Sulawesi Selatan), Marapu di Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan masih banyak lagi.

Ajaran Sunda Wiwitan sampai hari ini masih dianut oleh sebagian kecil masyarakat Sunda di Jawa Barat dan Banten. Beberapa di antaranya, seperti sistem kepercayaan yang dipraktikkan oleh orang-orang Baduy di Desa Kanekes, Banten, dan masyarakat adat Ciptagelar di Sukabumi, Jawa Barat.

Asnawati yang pernah melakukan penelitian terhadap masyarakat Baduy pada 2013 mengungkapkan, masyarakat Baduy menganut ajaran yang disebut Slam Sunda Wiwitan. Dasar religi ajaran tersebut berupa kepercayaan yang bersifat monoteis. Mereka meyakini keberadaan satu kekuasaan yang disebut Sang Hyang Kresa (Yang Mahakuasa) atau juga dikenal dengan nama lain, seperti Batara Tunggal (Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Mahagaib).

Menurut kepercayaan Slam Sunda Wiwitan yang dianut masyarakat Baduy, Sanghyang Keresa bersemayam di Buwana Nyungcung (Buana Atas).

Orientasi, konsep, dan pengamalan keagamaan mereka ditujukan kepada pikukuh (pedoman atau aturan) untuk menyejahterakan kehidupan di jagat mahpar (dunia ramai).

"Di samping menyembah Sanghyang Keresa, orang-orang Baduy juga melakukan pemujaan kepada arwah karuhun (nenek moyang) mereka,"

ungkap Asnawati dalam laporannya, "Agama/Kepercayaan Sunda Wiwitan Suku Baduy di Desa Kanekes Lebak Banten".

Nabi Adam

Asep Kurnia dan Ahmad Sihabuddin dalam buku Saatnya Baduy Bicara me nuturkan, masyarakat Baduy meyakini Nabi Adam sebagai leluhur langsung mereka dan mengklaim diri sebagai komunitas paling tua di dunia. Mereka juga meyakini bahwa desa yang mereka tempati sekarang ini adalah tanah tempat diturunkannya Nabi Adam pertama kali ke muka bumi oleh Sang Pencipta.

Menurut data 2010, orang Baduy yang tinggal di Desa Kanekes berjumlah 11 ribu jiwa lebih. Mereka tersebar di 58 kampung yang terdapat di desa tersebut.

Sampai hari ini, masyarakat Baduy di Kenekes tetap berpegang teguh kepada seluruh ketentuan maupun aturan yang telah ditetapkan oleh tetua adat mereka yang disebut Puun. Kepatuhan terhadap ketentuan maupun aturan tersebut menjadi pegangan mutlak untuk menjalani kehidupan bersama yang harmonis.

"Orang-orang Baduy berpandangan, Slam Sunda Wiwitan adalah ajaran khusus yang diperuntukkan bagi komunitas mereka saja, tidak untuk disebarkan kepada masyarakat luar," tulis Asep dan Sihabuddin.

Selain Baduy, Sunda Wiwitan juga dianut oleh masyarakat adat Ciptagelar di Sukabumi, Jawa Barat. Meskipun dalam praktiknya terdapat perbedaan antara ritual yang diamalkan orang- orang Baduy dan Ciptagelar, dasar religi mereka pada prinsipnya sama, yaitu sama-sama berisi ajaran monoteisme dan penghormatan terhadap ajaran karuhun.

"Masyarakat adat Ciptagelar juga mengakui Sang Hyang Kresa sebagai Tuhan atau sistem kekuasaan tertinggi dalam kepercayaaan mereka. Namun, dalam berbagai ritualnya, orang-orang Ciptagelar lebih dipengaruhi ajaran nenek moyang mereka yang diklaim berasal dari Kerajaan Pajajaran," tulis Nuhrison M Nuh dalam laporan penelitiannya, "Agama/Kepercayaan Kasepuhan Ciptagelar Gunung Halimun di Sukabumi Jawa Barat".

Menurut data 2013, di kampung Ciptagelar terdapat 90 buah rumah yang dihuni oleh 140 kepala keluarga. Jumlah penduduk di kampung tersebut diperkirakan sekitar 330 orang. Sebagian dari mereka sampai hari ini masih mengamalkan ajaran Sunda Wiwitan, di samping Islam.

Kapan awal mulanya Sunda Wiwitan muncul sebagai agama di tanah Sunda tidak dapat dipastikan. Namun, jika merujuk kepada legenda yang berkembang, agama tersebut setidaknya sudah ada sejak zaman Kerajaan Sunda/Pajajaran (669-1579).Sementara, budayawan Don Hasman memperkirakan, ritual Sunda Wiwitan yang dipraktikkan oleh masyarakat Baduy sudah berlangsung sejak dua milenium yang lampau.

"Hari ini, jika Anda mengunjungi masyarakat Baduy, terutama di Kampung Cibeo, Cikeusik, dan Ci kartawana, Anda akan mendapati peradaban di sana mundur 2.000 tahun ke belakang," tutur Don Hasman.

Ajaran kebatinan atau juga disebut dengan Kejawen mungkin dapat disebut sebagai agama lokal paling populer di Nusantara. Ajaran yang dijalankan oleh sebagian masyarakat Jawa tersebut merupakan bentuk sinkretisme dari beberapa praktik keagamaan, seperti animisme, Buddha, Hindu, dan Islam (khususnya sufisme).

Penulis asal Malayasia, Lee Khoon Choy, dalam buku A Fragile Nation: The Indonesian Crisis menggambarkan kebatinan sebagai kombinasi metafisika, mistisisme, dan doktrin-doktrin esoteris dari berbagai agama atau kepercayaan dengan tradisi Jawa.

Meskipun budaya Jawa bersifat to- leran dan terbuka terhadap ke hadiran agama baru, ha nya nilai-nilai yang cocok dengan budaya, karakter, dan kepribadian Jawa yang dapat diterima dalam kebatinan.

"Dalam tradisi Kejawen, para pengikut ajaran ini diharuskan mengontrol hawa nafsu, menghindari kekayaan dan kenyamanan duniawi sehingga memungkinkan mereka untuk mencapai pencerahan harmoni dan melebur dengan semangat alam semesta," ujar Choy.

Menurutnya, Kejawen tidak memiliki nabi, kitab suci, ritual, atau hari-hari raya tertentu. Namun demikian, beberapa gerakan kebatinan ada juga yang memiliki naskah berisi ajaran tertulis dari pendirinya masing-masing.

Kejawen masih terus bertahan sampai hari ini. Meski demikian, tidak ada angka pasti mengenai jumlah penganut ajaran tersebut di Indonesia. Apalagi, seorang praktisi Kejawen kadang kala bisa saja mengidentifikasikan dirinya sebagai pemeluk salah satu dari enam agama yang diakui secara resmi di Indonesia (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu--Red).

Orde Lama

Ketika Republik Indonesia terbentuk pada 1945, konsep Ketuhanan Yang Maha Esa dalam sila pertama Pancasila menjadi salah satu dasar negara. Konsep tersebut menggantikan tujuh kata yang terdapat dalam Piagam Jakarta, yaitu "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam kepada pemeluk-pemeluknya".

Sekilas, konsep Ketuhanan Yang Maha Esa tampak netral bagi keberadaan agama mainstream, seperti Islam maupun Kristen. Namun, sila pertama itu tidak sepenuhnya bisa dikenakan kepada agama-agama lokal dan kepercayaan tradisional lainnya di Nusantara.

Daniel Dhakidae, dalam buku Cendekiawan dan Kekuasaan, menu- turkan, konsep Ketuhanan Yang Maha Esa yang seharusnya menjadi dasar untuk memahami setiap agama di Indonesia dalam praktiknya cenderung bias kepada agama monoteis. "Kata tersebut hanya boleh dikenakan kepada `agama-agama resmi' yang monoteis, bukan agama lainnya," ujar Dhakidae.

Sebagai akibatnya, pada awal kemerdekaan, Hindu dan Buddha tidak secara otomatis dianggap sebagai agama yang diakui negara. Seperti diketahui, Hindu adalah agama politeis sedangkan Buddha adalah agama nonteis. Dengan konsep ketuhanan yang berbeda dari agama monoteis, kedua agama ini baru mendapat pengakuan dari Departemen Agama pada 1958 setelah melakukan `penyesuaian' terhadap keyakinannya sehingga sejalan dengan agama monoteis.

Di antara bentuk penyesuaian tersebut, Hindu menetapkan Sang Hyang Widi-- yang sebelumnya tak terlalu sentral dalam agama ini--sebagai perwujudan Tuhan Yang Maha Esa. Sementara, agama Buddha sepakat untuk menganggap tokoh Adi Buddha (nama yang diambil dari teks Jawa Kuno) sebagai Tuhan Yang Esa.

Situasi diskriminatif semacam itu juga dialami sebagian besar agama lokal dan penganut kepercayaan tradisional di Indonesia--yang sebagian besar sistem ajaran mereka adalah nonteis. "Bedanya, agama lokal ini sampai hari ini harus terus berjuang untuk mendapat pengakuan," tulis Suhanah dalam buku Dinamika Agama Lokal di Indonesia. Oleh Ahmad Islamy Jamil ed: Nashih Nashrullah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement