Ahad 03 May 2015 18:02 WIB

Sinkretisme Agama Lokal

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Dalam kerangka Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) pasal 18 yang dimaksud dengan agama lokal, termasuk pula keyakinan menyerupai agama tradisional (agama lokal), bahkan mencakup keyakinan orang untuk tidak bertuhan (atheis), agnostisisme, nontuhan (nontheistic), kebebasan berpikir, dan resionalisme. Jadi, tidak hanya terpada pada agama tradisional.

Secara yuridis kenegaraan, keberadaan mereka terfasilitasi dengan baik oleh konstitusi negara. Pasal 29 ayat ke-2 Un dang-Undang Dasar UUD 1945 menyebutkan negara menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memilih agamanya sendiri dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Tetapi, di sisi lain, bahwa eksistensi agama dan keyakinan lokal itu memunculkan dinamika tersendiri, sekaligus pelik saat berhadapan secara vis a vis dengan upaya purifikasi ajaran Islam. Persentuhan agama lokal dengan Islam itu nyatanya memunculkan sinkretisme yang tidak sederhana.

Sinkretisme sendiri, seperti yang dije laskan John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern ada lah fenomena bercampurnya praktik- praktik dan kepercayaan-kepercayaan dari sebuah agama dengan agama lainnya sehingga menciptakan tradisi yang baru dan berbeda. Derajat identifikasinya sangat beragam, sehingga sulit membedakannya dengan praktik bid'ah yang diperdebatkan.

Pemahaman yang berbeda di kalangan Muslim tentang ajaran normatif tertentu dalam agama memunculkan persoalan pelik dalam menentukan manakah sinkretisme dan mana yang tidak. Kontroversi ini menjadi sumber perdabatan pada abad ke-19 dan ke-20.

Pada zaman modern, beberapa contoh paling dramatis dari gerakan-gerakan sinkretis terbuka ditemukan di Afrika Barat, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan bagian lain di mana umat Muslim bersinggungan secara langsung dengan non- Muslim. Di Ghana, pada abad ke-19, raja penyembah Ashanti bergantung pada para pedagang Muslim untuk menjadi penghubung dalam kafilah dagang dan sebagai ahli pembuat azimat kekuatan.

Di banyak bagian Afrika kala itu, penyebaran sinkretisme memberikan kon s tribusi pada persepsi bahwa Islam sebagai salah satu sumber kekuatan mistis. Dengan memfasilitasi penduduk untuk melakukan ritual-ritual dan adat istiadat Islam, berarti pula sebagai jalan masuk penerimaan mereka terhadap Islam. Praadaptasi sinkretis tampak memainkan peran penting yang serupa dalam perpindahan orang-orang Hindu di Asia Selatan ke dalam Islam.

Seperti halnya di Asia Selatan, perkembangan Islam di Asia Tenggara pada masa modern juga memiliki pengalaman serupa dalam tarik menarik antara konsesi-konsesi kepada khazanah lokal, di satu sisi, dan upaya-upaya para reformis untuk menjaga kemurnian pesan Islam di sisi lain. Tradisi estetika pribumi telah dipengaruhi dengan amat kuat oleh varian Asia Tenggara dari kisah Hindu Ramayana dan Mahabharata.

Sebagaimana di Afrika dan Anak Benua India, sebagian penduduk asli Asia Tenggara, menafsirkan tradisi sinkretis ini sebagai jalan untuk menolak sama sekali hubungan dengan Islam. Pada abad ke-19 di Jawa masih terdapat kantung-kantung pemukiman Buddha yang di dalamnya terdapat ritual dan mitologi setempat berupaya memasukkan pengaruh Islam, tapi menolak perpindahan sepenuhnya ke dalam Islam.

Salah satunya ialah Ajisaka. Pahlawan kebudayaan dalam cerita rakyat Jawa yang amat dicintai. Di banyak wilayah, gerakan sinkretis amat dihargai bukan sebagai sesuatu yang mampu bertahan hidup, tetapi sebagai upaya-upaya baru dan dinamis untuk membentuk kembali tradisi-tradisi lokal dalam berhadapan dengan upaya Muslim pembaru untuk mempersempit rentang kepercayaan yang diperkenankan dengan memperkenalkan kriteria baru dalam lingkup Islam.

Dalam konteks keindonesiaan, memang perlu formula jitu dalam memperlakukan para saudara kita tersebut. Apakah mereka tergolong ke dalam kategori ummat al- ijabah; sama halnya dengan Muslim lain yang telah bersyahadat, meski mereka melakukan ritual yang bukan Islami? Ataukah, mereka termasuk kategori ummat ad-da'wah dengan ketentuan sama seperti non-Muslim? Tentu, perlu kehati- hatian dalam menentukan formula yang tepat. Kehati-hatian inilah yang dilakukan para pendahulu kita, para penyebar Islam di bumi Nusantara. Kearifan mereka berdakwah menghadirkan wajah Islam nusantara damai dan penuh toleran.

Oleh Nashih Nashrullah

[email protected]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement