Ahad 01 Feb 2015 19:47 WIB

Sastra dan Kekerasan Kita

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,Setiap hari berita-berita kekerasan masih marak di kalangan masyarakat kita.

Ironisnya, para generasi muda pun ikut menambah daftar panjang kekerasan di negara kita.

Pertanyaannya, siapakah yang harus bertanggung jawab? Pendidikan, keluarga, lingkungan, atau pemerintah?

Jika kita renungkan, kita akan temukan bahwa sebenarnya semua tanggung jawab itu berawal dan berakhir dari diri kita sendiri!

Meski sebenarnya, jika mau disurvei di setiap penjuru masyarakat didik kita, pilihan hidup bengis dan tanpa moral sangatlah jauh dari watak asli kemanusiaan, baik dalam dimensi moral atau sosial. Tidak ada manusia yang menghendaki tindakannya melukai sesamanya.

Di tengah kondisi yang serba sulit akibat tekanan sosial-eko nomi seperti saat ini, keadaban yang diajarkan dalam pendidikan tampaknya menjadi barang remeh. Kesantunan hidup tak laku dijual.

Apalagi nalar hukum dan tata aturan kita pun tidak mampu menjadi pembatas tindakan-tindakan bengis diri. Di sinilah puncak kefrustasian tertinggi, hingga tindakan kekerasan pun timbul sebagai produk moral yang sudah abnormal.

Selanjutnya, meski dari waktu ke waktu perubahan kurikulum semakin digalakkan, namun kenyataannya pendidikan formal atau nonformal kita masih banyak yang bersistem konvensional. Penyiapan sumber daya manusia (SDM) hanya diarahkan pada perkembangan hard skills tanpa menekankan pada peserta didik bagaimana mengembangkan imajinasi, berpikir fleksibel, serta menanggapi segala permasalahan yang muncul dan keberagaman dalam berpendapat.

Akibatnya, generasi kita tidak mendapatkan solusi dan harapan masa depan, namun hanya semakin memikul beban pikiran yang signifikan. Lebih parahnya, ketidak teraturan ini semakin memicu kekerasan sebagai bentuk pemuasan.

Menanggapi masalah ini, satu hal yang dibutuhkan adalah perubahan pola pikir dan relaksasi, serta hiburan yang tidak saja memberi kesegaran lahiriah, tetapi juga ke tenangan batiniah. Salah satunya adalah dengan pengajaran sastra karena dilihat dari fungsinya, sastra merupakan alat untuk belajar, menghibur, dan rekreasi pikiran.

Menurut Herfanda (2008: 131), sastra memiliki potensi besar untuk membawa masyarakat menuju perubahan, termasuk perubahan karakter. Selain itu, sastra juga mampu mengembangkan imajinasi serta memberi pelajaran hidup bagi manusia.

Konsep dulce dan utile sebagai mana begitu populer, mengingatkan pentingnya manfaat yang didapat dari keindahan sastra. Segi kemanfaatan muncul karena penciptaan sastra berangkat dari kenyataan yang di bubuhi imajinasi sastrawan sehingga lahirlah suatu paradigma bahwa sastra yang baik, menciptakan kembali rasa kehidupan.

Namun, bagi kebanyakan ilmuan dan praktisi pendidikan kita dewasa ini, sastra --yang berbasis kenyataan dan imajinasi-- dianggap tidak bermanfaat. Beda dengan pengetahuan (knowledge) yang merupakan basis dari sains.

Sastra masih berposisi minor, sedang pendidik yang bergelut dalam bidang sastra masih dianggap "berkelainan". Stigma ini muncul karena sastra dianggap tidak mampu memberi garansi pragmatis, lebih parahnya, sastra diabaikan karena tidak dapat mengenyangkan perut.

Faktanya, sastra memang tidak bisa mengenyangkan perut karena sastra bukanlah makanan lahiriah, tetapi sebenarnya sastra adalah santapan batiniah yang juga tergolong wajib dalam pemenuhannya.

Bila kita mau mengikuti logika Einstein: imagination is more important than knowledge. Maka sia-sialah kita mengejar pengetahuan tanpa adanya imajinasi sebagai sumber energinya.

Karena tambang utama untuk energi tergantikan itu, tidak lain adalah sastra. Imajinasi adalah ruang yang harus dibuka seluas-luasnya dalam menunjang sistem pendidikan kita.

Dalam sistem ini, pengajaran sastra tidak lagi ditempatkan sekadar sebagai sebuah "pengetahuan"

yang berisi hafalan tentang nama sastrawan, bentuk puisi, periode sastra, atau contoh-contohnya. Pengajaran sastra yang utama adalah pengembangan dunia imajinasi seluas-luasnya demi apresiasi dan demi kreasi anak didik.

Sungguh hebatnya jika anak didik tidak hanya pandai dalam hal akademik, namun juga pandai mengolah rasa serta empati, merasakan penderitaan orang lain.

Sehingga pada akhirnya dapat menerbitkan generasi-generasi muda yang tidak mengedepankan kekerasan.

Budayawan kelahiran Jombang, Emha Ainun Najib, pernah berpendapat bahwa sastra merupakan jalan masuk untuk memperkaya jiwa (Terus Mencoba Budaya Tanding,103).

Dari sini dapat dipahami kedudukan sastra bukan hanya sebagai tulisan yang tidak mempunyai arti.

Sebait puisi misalnya, dapat berubah menjadi obat hati dan penenang jiwa bagi pembaca, terlebih penulisnya. Karena itu, sastra dilansir menjadi media terbaik manusia untuk mengada karena sastra memiliki karakteristik yang paling mampu menghadirkan makna dunia yang dilimpahi dan meneguhkan kesadaran.

Seperti LouAnne Johnson yang mengobati gangguan mental sekelompok anak muda putus sekolah dan pecandu narkoba dengan bantuan kumpulan puisinya My Posse Don't Do Homework. Apa yang dilakukan Johnson merupakan perjuangan keras untuk mengenalkan bahwa imajinasi yang tertata dan berestetika akan menggugah rasa sehingga dapat mengubah suasana menjadi lebih santai dan rileks.

Sastra adalah media utama yang mampu menggiring imajinasi ke arah tersebut.

Tindakan Johnson ini mengilhami sutradara kenamaan, John N Smith, asal Kanada untuk menelurkan film berjudul Dangerous Minds pada tahun 1995 yang dibintangi Michelle Pfeiffer sebagai LouAnne Johnson. Film ini merupakan bukti nyata bahwa sastra bukan sekadar untaian kata yang tanpa makna.

Selain puisi, novel sebagai wujud lain karya sastra merupakan produk imajinasi yang paling banyak diminati.

Tidak seperti cerpen maupun roman, novel adalah karya sastra yang dianggap masyarakat paling dominan dalam menampilkan unsur- unsur sosial (Ratna, 2009: 335). Novel merupakan karangan sastra yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.

Jika kita mau menggali sastra lebih dalam lagi, tentunya banyak manfaat yang akan kita dapatkan.

Dan dengan manfaat tersebut, kita mampu menyelamatkan peradaban generasi muda dari kekerasan serta mengajarkan mereka untuk tetap berpegang teguh pada imajinasi dan empati. Kuncinya adalah kemauan kita mengajarkan sastra pada anak didik.

Selain itu, kita juga harus bangga mengajarkan sastra karena secara khusus, Tuhan mengapresiasi pendidik di bidang sastra sebagai sebuah profesi atau pekerjaan yang istimewa, seperti yang terangkum dalam Alquran khususnya surah asy-Syu'ara. Hal ini karena pendidik dalam bidang sastra memiliki kemampuan dalam berkata-kata dengan memesona, sugestif, dan imajinatif. Oleh M Amin Abdulrois*

*) Alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo;

Aktif di Forum Sastra \"SSC\" Ponorogo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement