Kamis 20 Nov 2014 11:00 WIB

Makna Hakiki Pembangunan

Red:

Pada tahun 1932, dalam bu ku nya, Reconstruction of Religious Thought in Islam, (Lahore: Munib Iqbal and Wahid Iqbal, 1977, edisi cetak ulang), filosof dan penyair besar Dr Muhammad Iqbal me nulis: "Citarasa Eropah tidak pernah men jadi perkara yang dihayati dalam ke hidupan Eropah itu sendiri. Aki bat nya, jiwa yang sudah sesat itu men cari makna dirinya melalui demokrasi-de mok rasi yang saling tiada bertolak ansur, yang tugas utamanya hanyalah buat me meras golongan miskin demi kepen ting an golongan kaya. Percayalah, Eropah hari ini adalah penghalang terbesar bagi kemajuan akhlak umat manusia."

Dalam sebuah kesempatan berceramah di Islamic Development Bank (IDB), di Jeddah, di musim haji, tahun 2001, saya menyampaikan imbauan agar dunia Islam secara sungguh-sungguh memikirkan dan menyusun konsep pembangunan yang sedang dijalankan di negara masing-masing. Sebab, saat ini, begitu dominannya konsep-konsep peradaban Barat digunakan dalam memaknai pembangunan. Padahal, peradaban atau tamadun Barat memiliki cara pan dang yang sangat berbeda dengan tama dun Islam, dalam memaknai hakikat pembangunan dan kemajuan manusia.

Kita umat Muslim tidak diajarkan untuk bersikap "anti-Barat" atau "antiperadaban manapun". Selama studi di AS mulai tingkat S-1 dan S-2 di Nort hern Illinois University dan sampai S-3 belajar kepada pemikir besar Prof Fazlur Rahman di Chicago University, saya menjumpai hal-hal baik diamalkan oleh ramai warga masyarakat, seperti sikap menghargai ilmu, waktu, berdisiplin, suka menolong sesama, dan sebagainya.

Tetapi, betapa pun, kita umat Muslim perlu bersikap kritis dalam menerima ilmu, falsafah, sains, dan teknologi dari Barat. Sebab, semua itu tidak bersifat netral, melainkan terkait dengan pandangan alam (worldview) sekular yang mendasari perekaannya. Ilmu, sains, dan teknologi tidak bebas nilai. Sebab, semua itu senantiasa disu sun mengikut cara pandang manusia yang pasti memiliki pandangan alam yang khas.

Pembangunan Kontemporer

Dalam bahasa Arab, istilah yang tepat untuk menjelaskan makna pemba ngunan bukanlah taqaddum (kemajuan) atau taghyir (perubahan), tetapi islah (perbaikan, pengislahan). Karena, kon sep-konsep pembangunan sekuler yang datang dari Barat tidak menjadikan ajaran dan nilai-nilai wahyu sebagai acuan dan pedoman, sehingga kita jum pai adanya tujuan dan cara pelaksanaannya hanya menuju pada konsep kemajuan dan perubahan.

Ringkasnya, yang utama, konsep pem bangunan manusia yang dominan saat ini hanyalah bertujuan dan dinilai berdasarkan kepada pencapaian dan kesenangan di dunia ini—dunia yang di konsepsikan terjadi melalui suatu evo lusi panjang yang bertahap-tahap tanpa Pencipta. Corliss Lamont, dalam buku dia, The Philosophy of Humanism (New York: The Wisdom Library, 1957), meng isytiharkan salah satu prinsip penting humanisme sekuler: "This world is all and enough." Kata dia, dunia ini adalah segala-galanya dan sudah mencukupi.

Berikutnya, mengikut prinsip yang utama tadi, insan dilihat sebagai suatu makhluk hidup yang punya badan dan pi kiran, sebagai diri yang tanpa ruh, sebagai sejenis hewan yang paling maju (most evolved species). Insan dibuat tidak punya tujuan selain hanya untuk hidup berkembang biak dalam suatu per saingan yang amat sengit dengan se gala makhluk lain, termasuklah sesa ma insan. Maka, kadar pertumbuhan ma nusia menjadi satu masalah besar.

Keluar ga di negara-negara kaya mengecilkan bilangan anggota keluarga karena ingin meninggikan pencapaian prestasi kerja dan kesenangan anggota keluarga. Di waktu yang sama, mereka risau, bim bang, melihat pertumbuhan penduduk yang tinggi di negara-negara yang nisbi miskin, yang semakin ramai berpindah ke negara-negara kaya. Hal itu ditakutkan akan mengubah warna dan pandangan lingkungan, suasana politik masyarakat negara kaya.

Akibatnya, bangsa-bangsa yang miskin dipaksa secara mendadak untuk mengurangkan kadar pertumbuhan penduduknya, konon demi meningkatkan pencapaian hidup yang lebih bermutu. Hal ihwal ruhaniah manusia di Hari Akhirat, telah ditolak secara mutlak sebagai pertimbangan pembangunan, dan telah digugurkan daripada sembarang perbincangan dan perencanaan resmi mengenai pembangunan insan dan negara. Sifat dan perjalanan yang hakiki dari ruh dan akal pikiran insan masih merupakan perkara yang sukar diterima oleh kaidah saintifik di masa ini, kecuali mengenai perkara-perkara yang berhu bung dengan indra serta gerak-tindak bio-kimia dan syaraf (bio-chemical and neuro-responses). (Lihat perbincangan tentang perkara ini dalam Mortimer J. Adler, Intellect: Mind over Matter, 1990, khususnya bab 1 dan 2).

Majalah Time, Februari 26, 2001, melaporkan keberhasilan saintis AS dan Inggris yang berjaya memetakan kode genetika manusia, yang kononnya mengukuhkan lagi pegangan evolusi insani dan dasar-dasar kebendaan diri insan. Contohnya, dilaporkan, bahwa 40% gen insan menyerupai gen cacing nematoda; 60% menyamai gen lalat buah; 90% menyerupai gen tikus; dan 99% menye rupai gen simpanse. Bedanya hanyalah, gen insan tidak mempunyai satu jenis gula di permukaan selnya.

Penemuan-penemuan itu dianggap semakin mengecilkan perbedaan antara manusia dengan makhluk-makhluk he wan lainnya. Akan tetapi, bagi kita, umat beragama, hakikat insan dan ke ting gian kedudukannya dalam alam makhluk, bukan bergantung pada unsur jasmani dan genetik, tetapi kepada unsur ruhani dan akhlak. Dari segi jasmani dan genetik, perbedaan antara Qabil dan Habil, antara Nabi Nuh AS dan anaknya yang durhaka, antara Nabi Muhammad SAW dengan paman beliau Abu Jahal, sangatlah sedikit. Tetapi, perbedaan ruhani dan akhlak di antara mereka ibarat langit dan bumi.

Dunia Islam dan umat beragama pa da umumnya, patutlah menyadari, bah wa yang saat ini dibincang dan direncanakan dalam pembangunan, biasanya didominasi pertimbangan jasadi dan kemasyarakatannya, yang dijadikan tujuan penting dalam pembangunan.

Imam Abu Hamid Muhammad al-Gha zali (m.1111 M), di dalam kitab beliau, Kimiya-e-Sa’adat, (Terj. Inggris oleh Claude Field, The Alchemy of Happiness, Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, t.t, seolah-olah sudah memperkirakan akan munculnya manusia-manusia—karena ketidakpahaman tentang hakikat dan sifat-sifat ruh—telah menafikan kehidupan akhirat, bahwa insan akan dihisab, akan menerima balasan pahala sorga dan dosa neraka. Kaum ini, seperti penganut paham evolusi di zaman kita, menganggap diri mereka tak lebih daripada hewan dan tumbuhan yang sama-sama akan musnah, tanpa mas’uliyah (tanggung jawab) di Hari Akhirat.

Yang berikutnya, konsep pembangunan yang dominan saat ini memandang satu-satunya sumber ilmu yang sah lagi bermanfaat bagi pembangunan insan adalah yang bersifat akliah, saintifik, dan yang menguntungkan ekonomi serta politik. (Lihat, Lamont, Philosophy of Hu manism, bab 5 "The Reliance on Reason and Science"). Bidang-bidang ilmu yang berteraskan sumber-sumber dan kaidah agama dianggap tidak akliah. Begitu juga bidang-bidang yang tidak menguntungkan ekonomi dan politik, yang lebih mementingkan kebahagiaan diri manusia, "ditindas" dan diketepikan dalam sistem pendidikan dan penyiaran resmi.

Sebagai akibatnya, perkembangan dan kejayaan teknologi telah menghasilkan banyak makanan dan memanjangkan usia manusia. Tetapi, matlamat (tujuan) kehidupan yang diperpanjangkan itu semakin kabur dan sukar pula dinikmati oleh manusia itu sendiri.

William Leiss, sarjana dari Frankfurt School, menulis, "Berkenaan penguasa an ke atas kedua-duanya manusia dan alam tabi’i, kita sedang memiliki cara dan kaidah yang semakin cakap dan berpengaruh untuk mencapai maksud dan tujuan yang semakin kabur." (Wil liam Leiss, The Domination of Nature. New York: George Braziller, 1972).

Konsep sempurna

Apabila kita mengajukan konsep pembangunan yang lebih sempurna bukan berarti kita menafikan kebaikan dari luar agama dan peradaban kita, dan bukan pula bersikap xenophobia. Fak ta nya, konsep-konsep pembangunan itu sendiri terus berubah-ubah. Contoh nya, semenjak tahun 1970-an, paham pembangunan masih menayangkan pengaruh negara-negara kapitalis yang dianggap maju, dan masih berkisar pada masalah-masalah kemiskinan dan pengangguran di negara-negara bekas jajahan dan seterusnya ke seluruh dunia.

Tahun 1980-an dan seterusnya, pahampaham seperti pembangunan pilihan (alternative development), dan pembangunan lain (another development) dikemukakan. (Lihat, M.P. Cowen dan R.W. Shenton, Doctrines of Development London: Routledge, 1996, Prakata dan bab 1). Kemudian, paham pembangunan berkelanjutan (sustainable development), diutarakan tahun 1987 dengan memperhitungkan kepentingan generasi mendatang dan kemaslahatan alam sekitar. Namun, intipati daripada pa ham-paham baru ini tidak berubah karena jurang kemiskinan antara yang kaya dan miskin tidak banyak berubah; apakah antarnegara atau di dalam satu negara. Kegagalan konsep pembangunan yang lahir dari gagasan Moderenitas telah diterima umum. Kini ramai sarjana Barat sendiri sudah mula memikirkan gagasan Moderenitas Kedua, atau gagasan Moderenitas Alternatif.

Dalam perbincangan di IDB dan berbagai forum internasional, serta saya uraikan dalam buku saya, Pemba ngunan di Malaysia, Ke Arah Satu Kefa haman Baru yang Lebih Sempurna, (ISTAC, 2001), saya mengusulkan, agar dunia Islam mengganti istilah pembangunan (development) dengan pengislahan, yang bermakna: perbaikan dari semua segi, dalam semua jenis kegiatan manusia. Pengislahan dari kata islah, yakni perbuatan kepada manusia atau sesuatu yang membuatnya menjadi baik, betul, teratur, adil, sesuai dengan segala nilai yang tinggi. (Lihat, Ibn Manzur, Lisan al-Arab, 6 jilid. Kaherah: Far al- Ma’arif, tt, 4:2479, s.v. shalaha).

Pengislahan bisa berarti maju ke depan, mundur ke belakang, bisa me nambah atau mengurangi, bisa bergerak atau berdiam, yang intinya adalah mela kukan kebaikan dan perbaikan. Malah, pengislahan juga bisa bermakna ‘meruntuhkan’, seperti meruntuhkan kezalim an, atau bahkan ‘menghapuskan’, seperti menghapuskan kejahilan, yang merupakan intisari pembangunan yang haki ki, yang tidak tercakup dalam jaringan makna istilah ‘pembangunan’. Lawan dari pengislahan adalah fasad, bermakna ke ru sakan, kezaliman, penyelewenang an, kemerosotan, pemubaziran, kekacauan, dan sebagainya dari pelbagai su dut dan jenis kegiatan manusia. (Ibn Manzur, Lisan al-Arab, 2: 2396). Rujukan ayat Alquran, QS 2: 11-12, 220; 7: 56 dan 85.

Pada akhirnya, semua program pengislahan haruslah memiliki matlamat (tujuan) untuk kesejahteraan dan kebahagiaan insan. Bagi umat Islam, tujuan hidup amat jelas, hasanah fid-dunya wa fil-akhirah, sejahtera dan bahagia di dunia dan akhirat. Kita tidak mengikut para filo sof yang memandang dunia dengan pesimistis. Arthur Schopenhaur (m.1860) ahli falsafah bangsa Jerman, menyebar kan paham bahwa dunia ini "sepatutnya tak wujud" (We have not to rejoice, but rat her to mourn at the existence of the world; that its non-existence is preferable to its existence; that is something that ought not to be.") Clarence Darrow, ahli fal safah Inggris, menyebut kehidupan ini sebagai satu "jenaka yang malang" (awful joke). Leo Tolstoy (m.1910), novelis terbesar Rusia, merumuskan bahwa kehidupan ini adalah satu penipuan yang bodoh (stupid fraud). (Lihat, David G. Myers and Ed. Diener, "The Pursuit of Hap piness". Scientific American. Special Issue, vol &, no 1, 1997).

Tepatlah, apa yang dirumuskan pe mikir besar abad ke-20 dan abad ini, Prof Syed Muhammad Naquib al-Attas, bahwa tujuan hakiki dari pembangunan (pengislahan) adalah meraih sa’adah, yakni sejahtera bahagia di dunia dan akhirat. Sa’adah beliau artikan sebagai "sifat dalaman" (internal) manusia atau diri ruhani yang yakin mengenai per kara-perkara terpenting, serta hidup sesuai dengan keyakian tersebut. Di du nia, puncak sa’adah dicapai melalui cin ta akan Allah (mahabbah) dan di akhirat, puncaknya tercapai melalui ru’yatullah.

(Silakan rujuk, berbagai buku Syed Muhammad Naquib al-Attas, seperti Islam and Secularism, Prolegomena to the Metaphysic of Islam, juga Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, dan buku Knowledge, Language, Thought and the Civilization of Islam: Essays in Honour of Syed Muhammad Naquib al-Attas, yang saya edit bersama Prof Muhammad Zainy Uthman).

Dari terbentuknya pribadi yang baik, yang sejahtera, dan bahagia itulah akan terwujud masyarakat yang me raih sa’a dah pula. Itulah yang ditulis, mi salnya, oleh ahli falsafah al-Farabi, da lam buku nya, Fusul al-Madani (hlm 203), bahwa kota-kota harus dimakmurkan; kehidupan rakyatnya diperbaiki, dan bagaimana mereka mesti dibimbing ke arah kesejahteraan dan kebahagiaan (sa’adah).

Sebagai salah satu peradaban agung yang masih diakui eksistensinya (Islamic civilization), dunia Islam sepatutnya berusaha menyusun konsep pembangunannya sendiri, yang khas, berpijak kepada ajaran wahyu Allah, dan menyerap unsur-unsur positif dari berbagai peradaban lainnya. Itulah yang dulu pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW di Madinah dan para pemimpin serta para alim-ulama, cendekiawan, yang saleh, yang alim, dan berakhlak mulia. Dunia menunggu kita semua. Allah Subhanahu wa-Ta’ala senantiasa menolong kita. Amin. ¦

Prof Dr Wan Mohd Nor Wan Daud

Direktur Center for Advanced Studies on Islam, Science and Civilization (Casis)— Universiti Teknologi Malaysia, Kuala Lumpur

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement