Kamis 21 Aug 2014 12:00 WIB
islamia

Theosofi: Warisan Penjajahan

Red:

Banyak cara untuk mengecilkan posisi dan peran agama dalam kehidupan masyarakat dan negara. Salah satunya adalah dengan penyebaran ajaran Theosofi. Kelompok lintasagama ini dikenal dengan slogannya: "there is no religion higher that truth". Di Indonesia (dulu: Hindia Belanda) kelompok Theosofi ini awalnya bernama Nederlandsch Indische Theo sofische Vereeniging (Perkumpulan Theosofi Hindia Belanda). Pada 12 November 1912 Pemerintah Kolonial Belanda mengakui Theosofi sebagai rechtspersoon (badan hukum).

Sejak era penjajahan, umat Islam memandang kehadiran Theosofi di Indonesia sebagai tantangan dakwah yang serius. Bahkan, berdirinya Muham ma diyah, salah satunya sebagai respon terhadap perkembangan Theosofi yang sudah masuk ke Indonesia sejak 1768. Theosofi kemudian menyebar di sejumlah kota di Pulau Jawa. Pada 22 No vem ber 1905 sebuah centrum Theo sofi ber diri di Solo, diketuai JB Mes schaert.

Theosofi mengklaim bahwa ia bera da di atas kebenaran semua agama tersebut. Di satu sisi ajaran theosofi berusaha mengembangkan paham kesamaan dari semua agama dan menjalankan persaudaraan dengan mengabaikan perbedaan agama. Theosofi memiliki kesa maan paham dengan paham Pluralisme Agama yang memandang bahwa "setiap agama merupakan jalan yang samasama sah menuju Tuhan." Theosofi juga menganggap ajarannya lebih tinggi dari agama.

Babad Theosofie

Di Jawa Theosofi berusaha merekrut anggotanya dari kalangan terpelajar, bangsawan keraton, orang-orang berpengaruh, dan juga bangsa asing yang ada di Indonesia. Sejumlah buku berbahasa Jawa diterbitkan guna mempublikasikan ajaran Theosofi. Umumnya buku Theosofi di era penjajahan menggunakan carakan Jawa (aksara Jawa), Serat Weddasatmaka (4 jilid), Kitab Makrifat (2 Jilid), dan Babad Theosofie. Serat Weddasatmaka dan Kitab Makri fat banyak berbicara tentang masalah "ketuhanan" dan pencapaian "keutamaan" sejati. Sedangkan Babad Theoso fie me ngisahkan tentang awal mula berdirinya Perhimpunan Theosofie di Amerika Serikat sampai menjadi ajaran yang menyebar ke seluruh penjuru dunia.

Ada juga publikasi Theosofi yang menggunakan Bahasa Melayu, Inggris dan Belanda. Selain berbahasa Jawa, Kitab Makrifat juga diterbitkan dalam Bahasa Melayu. Ada juga majalah "Pe warta Theosofie", Majalah "Theo sofie di Hindia Belanda", dan sebagainya. Di era penjajahan itu, marak pula ma suknya media Theosofi berbahasa asing, seperti Theosofische Maandblad, De Pio ner, The Theosophist, Theoso phia, The Adyar Bulletin, The Herald of Star, dan Zeithchrift fur Parapsychologie. Ketika itu, Theosofi mencoba menarik perhatian sejumlah kalangan, baik warga bumi-putera maupun bangsa asing. (Lihat Majalah "Theosofie di Hindia Belanda". Tahun ke– 32 No. 4/ April 1939. (NITV, Batavia Centrum).

Adapun Babad Theosofie ditulis pada 1815. Buku beraksara Jawa ini diter bitkan dalam rangka peringatan 40 tahun berdirinya Perhimpunan Theo sofi. Buku ini pun memberikan sanjungan pada dua tokoh yang aktif mengembangkan ajaran Theosofi yaitu Kolonel Henry Steel Olcott dan Helena Petrovna Blavatsky (biasa disingkat HPB). Kolonel Henry Steel Olcott (1832-1907) adalah mantan tentara Amerika yang kemudian bekerja sebagai lawyer. Ia adalah presiden pertama Theosofi yang menjabat selama 32 tahun.

Olcott merupakan anggota Freema sonry. Se dangkan Helena Petrovna Blavatsky (1831-1891) adalah wanita berdarah Ya hudi dan aristokrat Rusia yang berkecimpung dalam dunia occultisme sejak masih remaja. Kedua tokoh Theosofi itu ditulis sebagai: "para minulya ingkang darajadipun wonten sanginggiling manungsa" (golongan orang mulia yang derajadnya berada di atas manusia).

Theosofi adalah kelompok yang se ca ra halus menyingkirkan agama, meskipun banyak memanfaatkan dalil dan ritual agama. Namun, pada akhirnya agama dianggap tidak penting untuk menjadi titik pertemuan dalam persaudaraan manusia. Babad Theo sofie, misalnya, menggambarkan proses ini secara nyata dalam proses pendidikan anak sejak dini sesuai dengan salah satu cita-cita Theosofi yaitu ambudi pamredining lare, boten mawi gepokan agami, ... (mengusahakan pendidikan anakanak dengan mengabaikan persentuhan dengan agama).

Agama dalam pandangan ini ditempatkan bukan sebagai kebenaran ab solut sehingga dalam mempelajari aga ma masing-masing, anggota Theosofi diharapkan tidak menganggap ajaran agamanya paling benar. Kebenaran juga ada pada agama lain yang bisa dihayati.

Babad Thesofie mengungkapkan proses ini dilakukan dengan menganjurkan agar warganya bukan sekadar melakukan kajian pendalaman terhadap agama yang dianut oleh masing-masing anggotanya melainkan juga melakukan proses perbandingan dengan agama lain, agar tidak menganggap hanya agamanya sendiri yang benar.

Ajaran baru

Theosofi pun menawarkan "keyakinan baru" kepada anggotanya. Penga nut Islam yang bergabung dalam Perhim punan Theosofi kurang bisa menerima ajaran tentang karma dan reinkarnasi. Secara halus, Theosofi menanggapi keberatan orang Islam, bahwa Theosofi tidak memaksa anggotanya untuk menerima ajaran-ajaran yang Theosofi.

Tetapi, Babad Theosofie juga mengecam secara halus pihak yang menolak ajaran Theosofi. Disebutkan, "... nanging samangke kula pitaken upami boten wonten piwulang, punapa tiyang angraosaken theosofi boten mawi nyangkut bab karma tuwin tumimbal lair, kados boten saged." ("... tetapi sekarang saya bertanya jika tidak ada pelajaran, apakah manusia bisa merasakan Theosofi tanpa melibatkan bab karma dan kelahiran kembali, sepertinya tidak bisa).

Kepercayaan yang diadopsi dari Hindhu dan Budha berupa ajaran ten tang karma dan reinkarnasi memang menjadi salah satu Theosofi yang khas. Kepercayaan terhadap kedua hal ini tidak dapat ditinggalkan oleh penganut ajaran Theosofi. Padahal ajaran tentang karma dan reinkarnasi, jelas tidak se suai dengan ajaran Islam. HP Bla vatsky, penggagas mula-mula Theosofi, juga menyebutkan bahwa terhadap ek sis tensi karma dan reinkarnasi se bagai "jiwa" theosofi. (Lihat selengkapnya karya HP Blavatsky. The Key to Theosophy : Being a Clear Exposition, in the Form of Question and Answer, of the Ethics, Science, and Philosophy for the Study of Which the Theosophical Society has been Founded. (The Theo sophical Publishing Company Limited, London – New York, tth). hal 197-223).

Untuk mengelabui kaum Muslim, di Jawa, Theosofi juga mengambil baju tasawuf. Ini bisa dilihat dalam kitabkitab resmi ajaran Theosofi berbahasa Jawa seperti Serat Weddasatmaka dan Serat Makrifat. Kedua kitab ini berusaha mengetengahkan konsepsi Theosofi dengan meminjam sejumlah terminologi dan sistem yang berasal dari ajaran tasawuf. Hasilnya, jelas bukan tasawuf yang mendasarkan pandangannya ke pada sumber-sumber Islam berupa Al quran dan Sunnah, melainkan bersifat kontradiktif dan tidak jarang antinomis terhadap ajaran Islam itu sendiri.

Serat Weddasatmaka sebagai contoh, mengakui eksistensi tujuh langit sebagaimana dalam konsepsi Islam (QS Al- Baqarah :29). Hanya saja serat ini kemudian mendefinisikan ketujuh la ngit tersebut bukan langit dalam makna yang sesungguhnya (harfiah). Langit ketujuh secara alegoris dimaknai se bagai alam yang ada dalam diri manusia dan wujud halusnya (roh). (Noname. Serat Weddasatmaka utawi Pepakeming Tiyang Agesang. Jilid III. (H. A. Benjamins, Semarang, 1905), hal. 50).

Buku Babad Theosofie mengakui bah wa kaum Theosofi telah melakukan sejumlah upaya untuk mempengaruhi spiritualisme di dunia timur dimana salah satunya dengan memasukkan un sur-unsur ajaran Theosofi dalam kitabkitab primbon. Maka tidak mengherankan bila terdapat kitab-kitab primbon kebatinan di Jawa yang me nge depankan ajaran mistik dan klenik, ternyata kental pula dengan pandangan Theosofi. Con toh primbon yang dimaksud masih dapat dijumpai misalnya da lam buku "Pus ta ka Radja Mantra yoga" yang dikarang oleh "Sang Ha rum djati", yang dimungkinkan sebagai nama samaran.

Tapi, betapa pun, sikap sinis Theo sofi terhadap agama sulit disembunyi kan. Dengan jargon urgensi per sau daraan antarmanusia tanpa memandang agama, ras, jenis kelamin, dan perbedaan yang bersifat manusiawi lain nya, Theo sofi memandang agama seba gai salah satu sumber konflik, bukan hanya konflik antar agama tetapi juga konflik antar umat seagama. Perbedaan ajaran antar agama maupun perbedaan pendapat antar umat seagama seringkali diposisikan sebagai sumber konflik utama.

Babad Theosofie mengungkapkan salah satu tujuan theosofi adalah "Men jaga sejumlah tindakan yang mengkhawatirkan, walaupun satu agama maupun berbeda aga ma, setiap ada konflik de ngan pendapatnya seperti kepercayaan terhadap keajaiban yang berada di luar akal, padahal sudah diperiksa dengan teliti bahwa hal itu keliru.

Tetapi, pada akhirnya, tokoh-tokoh Theosofi sendiri terlibat konflik dan perpecah an. Perebutan kedudukan presiden Theosofi antara Dr Annie W. Besant (1847-1933) dari Inggris dan Wil liam Quan Judge (1851-1896) dari Ame rika telah menimbulkan adanya perseteruan antara keduanya dan merembet pada pengikut masing-masing. Pasca Annie Besant menjadi presiden Theo sofi, loge-loge di Amerika tidak mau tunduk lagi kepada kepemimpinan Besant. Ge rakan "perlawanan" ini dimotori oleh to koh theosofi wanita bernama Ka therine Tingley, pengarang buku "Theo sophy : the Path of Mistic".

Sejarawan MC Ricklefs menggambarkan bahwa gerakan-gerakan intelektual yang bersifat anti Islam yang sempat berkembang di Indonesia pasca tahun 1900 umumnya memiliki kaitan dengan gerakan dan paham theosofi.

Ricklefs menggambarkan bahwa paham Theosofi berusaha mengkombinasikan antara budi dan buda. Budi merepresentasikan sifat intelektual dalam pemikir an ilmiah Barat. Sedangkan Buda meru pakan ajaran yang berkembang sebelum masuknya Islam. (M.C. Rick lefs. Sejarah Modern Indonesia. Cetakan II. Diter jemahkan dari "A History of Modern Indonesia". (Gadjah Mada Uni versity Press, Yogyakarta, 1992), hal. 196).

Secara kelembagaan, Presiden Su kar no telah melarang Theosofi tahun 1961. Tetapi, gagasan lintas agama yang berusaha menyingkirkan peran agama dalam penyelesaian masalah manusia, masih terus dikampanyekan di Indo nesia. Bahkan, terkadang kampanye itu berwajah simpatik, seperti kampanye di televisi: "Mari Kita Wujudkan Indonesia tanpa Diskriminasi".

Kampanye itu jelas keliru. Sebab, kaum Muslim selalu berdoa dalam shalatnya, agar ditunjukkan jalan yang lurus (shiratal mustaqim), dan dijauh kan dari jalan orang yang dimurkai Allah atau jalan orang yang sesat.

Oleh Susiyanto

(Kandidat Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibnu Khaldun-Bogor)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement